Judul Buku : Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 512 halaman, paperback
Cetakan Ketiga : April 2012
ISBN : 978-979-22-7913-9
Kota Pontianak adalah salah satu kota
yang Istimewa di Indonesia, selain karena terdapat tugu katulistiwa, nama kota ini pun bisa dibilang
unik. Kata Pontianak sejatinya adalah nama sejenis hantu yang terkenal di
daerah tersebut. Alkisah karena kemenangan Sultan Alkadrie melawan hantu Ponti
ini, maka peristiwa itu dikenang dengan cara memberikan nama Pontianak
sebagai nama kota
ini. Sayangnya tak banyak buku-buku yang menuliskan cerita berlatar kota Pontianak.
Maka ketika saya tahu bahwa kisah di buku Tere Liye kali ini diceritakan dengan
mengambil latar kota
tersebut, maka semakin besar niat saya membaca buku ini.
Tersebutlah seorang Anak laki-laki bernama Borno. Ketika ia
berumur dua belas tahun, Bapaknya yang seorang nelayan terjatuh ke laut dan
tersengat ubur-ubur. Divonis meninggal secara klinis, Akhirnya jantung milik
Sang Bapak didonorkan ke seorang pasien gagal jantung yang berminggu-minggu
menantikan donor. Borno kecil meraung marah, meratap dan kecewa, Bapak belum
benar-benar meninggal. Mengapa dadanya harus dibelah?
Sepuluh tahun kemudian, berceritalah Sang Penulis tentang
kehidupan Borno muda. Semenjak lulus dari SMA, telah banyak pekerjaan yang ia
lamar, namun tak satu juga yang benar-benar mantap ia jalani. Enam bulan
bekerja di Pabrik karet, ia dan banyak karyawan lainnya dipecat karena
perusahaan saat itu merugi. Berikutnya ia menjadi pemeriksa karcis di dermaga
feri, sayangnya pekerjaan ini membuat Borno dimusuhi oleh Bang Togar dan
sebagian besar pengemudi sepit (semacam perahu sebagai transportasi air di Kalimantan) karena Feri merupakan saingan terbesar dari
sepit. Kemudian ia menjadi petugas SPBU apung sementara, membantu menjaga warung,
mencari sotong, memperbaiki genteng, toilet mampet, dan berbagai pekerjaan
serabutan lainnya.
Orang-orang terdekatnya mulai prihatin, Cik Tulani pemilik
warung makan, Koh Acong pedagang Kelontong, sampai Ibunya sendiri semua
menyarankan Borno untuk menjadi pengemudi sepit. Meski Bapaknya pernah melarang
Borno menjadi pengemudi sepit, tetapi dalam hati Borno berjanji
“Aku akan jadi orang
baik, setidaknya aku tidak akan mencuri, tidak akan berbohong, dan senantiasa
bekerja keras-meski akhirnya hanya jadi pengemudi sepit” –Hal. 54
Pertama-tama tentunya Borno harus belajar mengemudikan sepit,
beruntunglah ia karena ada Pak Tua, seorang pengemudi sepit yang berbaik hati
mau mengajarkan Borno. Sayangnya tidak semudah itu, untuk menjadi anggota
pengemudi sepit di Sungai Kapuas, Borno harus melalui masa perploncoan dari Bang
Togar, ketua PPSKT (Persatuan Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta), terlebih dulu.
Membersihkan jamban umum, mengecat sepit Bang Togar bahkan ketika Borno diberi
kepercayaan Pak Tua untuk membawa penumpang pertama kali, Bang Togar malah
melarang Pak Tua ikut dalam perjalanan tersebut. Meski ketar-ketir, toh akhirnya
Borno sampai dengan selamat membawa seluruh penumpang di sepit yang ia
kendarai.
|
embun-rayya.blogspot.com |
Tanpa ia sadari, saat itu semesta sedang setuju serempak
bersama memperkenalkan Borno pada gadis yang kelak membuatnya jatuh cinta.
Kenangan pertama yang Borno ingat dari gadis itu adalah gadis itu memiliki wajah
yang sendu menawan. Mengapa Borno tertarik dengan gadis ini? Tak lain dan tak
bukan karena Si Gadis telah menjatuhkan sebuah amplop kecil berwarna merah di
sepit yang tadi dikemudikan Borno. Maka dari sinilah awal perkenalan Borno
dengan perasaan yang konon bernama ‘cinta’ itu dimulai.
Borno terus menyimpan amplop merah itu sambil mencari gadis
berwajah sendu yang memilikinya setiap pagi di pangkalan sepit. Sampai suatu
hari ia menemukan gadis itu sedang membagi-bagikan angpau persis seperti amplop
merah yang ia temukan kemarin. Rupanya Si sendu menawan sudah mengetahui nama
Borno, bahkan kemudian Borno menjadi akrab dengan gadis itu.
Setiap pagi Borno berangkat tepat waktu agar bisa mengantarkan
si sendu menawan menyeberang. Apapun caranya, ia akan memilih urutan sepit
nomor tiga belas karena berdasarkan pengalamannya, sepit di urutan itulah yang
akan membawa Si sendu menawan menyeberang.
Seperti yang seterusnya bisa diperkirakan pembaca, Borno dan
Si Sendu Menawan akhirnya berkenalan. Gadis itu bernama Mei, ia sedang kuliah
lapangan mengajar di sebuah SD di Pontianak. Sayangnya Mei harus segera kembali
ke Surabaya,
kembali ke rutinitas kuliahnya dan Borno menghabiskan enam bulan dalam
kerinduan bertemu lagi dengan Mei.
Suatu hari setelah enam bulan menanti, kabar baik mengunjungi
Borno. Pak Tua memutuskan untuk melakukan terapi pengobatan penyakitnya di Surabaya, diajaknyalah Si
Borno ikut serta. Bahagia bukan main meraja, tapi apalah daya, Borno tak tahu
di mana alamat Mei di kota
besar itu. Namun kali ini semesta bekerja sama lagi untuk membuat Borno sedikit
lebih dekat dengan Mei. Mereka bertemu di klinik tempat Pak Tua melakukan
terapi. Berkali-kali bertemu dan menyimpan rasa suka, ternyata tak membuat
hubungan keduanya berjalan mulus seperti kisah cinta biasa. Borno harus
menyimpan beribu tanya ketika Bapak Mei berulangkali menyuruh Borno menjauhi
anaknya. Belum lagi dengan hadirnya seorang gadis cantik lain di kehidupan
Borno, dengan cara yang tidak diduga.
Bagaimana kisah
cinta Borno diakhiri di cerita ini? Akankah ‘hidup bahagia selama-lamanya’
menjadi takdir Si Bujang dengan hati paling
lurus sepanjang tepian Kapuas itu kelak?
Sebuah buku yang
sarat akan cinta. Itu kesan saya ketika menutup lembar terakhirnya. Bagaimana
tidak, selain kisah cinta Borno dengan Mei yang diam-diam menggelitik, pembaca
juga disuguhkan sedikit kisah cinta Bang Togar dengan istrinya, ditambah
kalimat-kalimat cinta Pak Tua yang ‘jleebb’ ketika dibaca. Berikut salah satu
contohnya.
“Boleh jadi ketika orang yang kita sayangi pergi,
maka separuh hati kita seolah tercabik ikut pergi. Tapi kau masih memilik
separuh hati yang tersisa, bukan? Maka jangan ikut merusaknya pula. Itulah yang
kau punya sekarang. Satu-satunya yang
paling berharga.” –Pak Tua. Hal. 479
Sebenarnya saya
sudah sering membaca karya-karya Tere-Liye, tetapi selama ini saya lebih sering
menemukan ia berkisah tentang cinta dalam keluarga. Bukan hal macam percintaan
Borno dan Mei kali ini, dan yang membahagiakan saya ternyata ciri khas cara
penyampaian cerita Tere Liye juga tak hilang. Ia masih menyelipkan beberapa
kalimat-kalimat yang memotivasi dan mencerahkan, meski lebih sering keluar dari
kisah Pak Tua.
Sosok Pak Tua
inilah yang membuat saya sedikit kurang puas dengan buku ini. Pak Tua adalah
lelaki misterius yang seakan-akan ditokohkan ‘super’. Ia punya banyak sekali kata-kata
menarik tentang cinta yang membuat Borno dan Andi, sahabatnya, terkagum-kagum
dengan petuah Pak Tua. Terlebih bahwa ternyata Pak Tua ini memiliki uang yang banyak
tersimpan, cukup untuk membuatnya bebas menikmati hari tua. Pak Tua juga sosok
yang pintar memecah kebekuan suasana, membuat yang tadinya kaku menjadi berbaur
dengan gembira. Mungkin banyak pembaca yang menyukai sosok Pak Tua, namun tidak
demikian dengan saya karena saya merasa Bang Togar adalah sosok yang lebih
‘manusia’.
Bang Togar ini sifatnya keras
dan galaknya minta ampun. Tapi meski demikian, dia selalu menghormati dan
menghargai para anggota perkumpulan PPSKT-nya. Bahkan ia juga menanamkan (meski
kadang dengan ancaman) agar anak buahnya yang sedang bertengkar mau berdamai
lagi. Bang Togar juga tipe lelaki yang menghargai dan benar-benar menghormati
sejarah. Masa lalu baginya suatu pelajaran yang harus diambil hikmahnya, meski
terkadang ia mencoba membalasnya dengan kejam. Bang Togar sebenarnya memiliki
hati yang baik dan murah hati, terbukti dari kisahnya setelah ’tragedi dengan
Kak Unai, istrinya’ yang diceritakan di buku ini. Buat saya Bang Togar memang
hanya manusia biasa yang kadang salah dan alpa, tapi ia juga punya kebaikan
yang tersimpan di hatinya.
Untuk ukuran novel dewasa,
saya suka dengan penceritaan penulis tentang filosofi cinta yang rumit di buku
ini. Seperti lagu yang konon katanya kalau jatuh cinta bisa membuat tidur tak
tenang, makan tak lahap, semuanya habis untuk memikirkan si dia. Tapi seperti
diingatkan, kita dituntun dan dijelaskan bahwa bukan cinta seperti itu yang
sehat. Cinta yang sehat itu adalah cinta yang pantang menyerah, cinta yang
selalu berdoa, bahkan selalu optimis berharap kebaikan selalu terjadi atas
dirinya. Seperti cerita Borno dengan Mei, si Gadis sendu menawan.
Ketidakpuasan saya pada 37 bab
cerita di dalamnya terletak dari endingnya yang terlalu biasa, bahkan saya
merasa dipaksakan untuk diakhiri dengan cara seperti itu. Bukan berarti saya
mengharapkan ceritanya berkelanjutan, tetapi konflik yang terbangun dan
tereksekusi dengan baik dari awal sampai klimaks cerita rasanya terlalu
berbobot untuk ending buku ini. Ini membuat saya bertanya-tanya, apakah memang
penulis sengaja mengakhiri cerita ini dengan begitu sederhana dengan maksud
bahwa kehidupan memang terkadang berakhir dengan kejadian biasa-biasa saja.
Atau memang penulis kehabisan ide untuk mengakhiri cerita ini dengan kejutan?
Tapi toh saya suka sekali
dengan kisah buku ini, cara penulis mengungkapkan detail tempat, detail
suasana, detail perasaan tidak membuat pembaca terganggu menikmatinya.
Peralihan scene yang smooth meski kembali ke puluhan atau bertahun-tahun lalu
mampu diceritakan dengan apik. Cover dan layoutnya juga memuaskan pembaca, ah..
saya rasa memang buku ini memang layak dibaca bagi mereka yang pernah atau
sedang atau sedang bersiap menghadapi datangnya cinta.
Seperti kata Pak Tua :
”Ada
tujuh miliar penduduk bumi saat ini. Jika separuh saja dari
mereka pernah jatuh cinta, maka setidaknya akan ada satu miliar lebih cerita
cinta. Akan ada setidaknya 5 kali dalam setiap detik, 300 kali dalam semenit,
18.000 kali dalam setiap jam, dan nyaris setengah juta sehari-semalam, seseorang
entah di belahan dunia mana, berbinar, harap-harap cemas, gemetar, malu-malu
menyatakan perasaanya.”
Selamat merasakan cinta dengan buku ini.
:)