Judul Buku : Persona
Penulis : Fakhrisina Amalia
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 248 halaman, ebook di SCOOP
Cetakan pertama : 2016
ISBN : 978-602-03-2629-0
Kita seharusnya punya satu atau beberapa hal yang seumur hidup pengin kita lakukan, itu bakal menjaga kita tetap waras.
Saya selalu suka dengan novel dengan tokoh utama yang memiliki masalah psikologis. Sayangnya di Indonesia belum banyak novel yang demikian ceritanya. Sehingga ketika saya mendengar dan membaca beberapa review tentang buku ini yang cukup menjanjikan, saya jadi tertarik untuk membacanya. Terima kasih untuk SCOOP, Gramedia.com dan Gramedia Pustaka Utama yang telah memberikan buku ini kepada saya.
Azura memiliki cara yang salah dalam melarikan
diri dari masalah keluarganya. Setiap kali orang tuanya bertengkar, ia akan
menyakiti dirinya sendiri. Baginya, rasa sakit fisik yang ia rasakan dapat
mengalihkan rasa sakit dalam hatinya. Setelah itu, ia akan dapat menghadapi
hari-hari seperti biasanya.
Di sekolah, Ia lebih senang menyendiri,
mungkin itu juga sebabnya ia tak memiliki teman sama sekali. Sampai Altair,
seorang anak lelaki blasteran Jepang, pindah ke kelasnya dan duduk di bangku
kosong persis di belakang kursi Azura. Lama kelamaan, Altair menjadi sahabat
Azura. Mereka banyak menghabiskan waktu bersama-sama baik di sekolah maupun di
luar sekolah. Dan pelan-pelan kebiasaan buruk Azura berhenti.
Sekarang jika orang tuanya bertengkar, Azura
hanya perlu menelepon Altair dan mengobrol dengannya. Altair pun sangat
mengerti keadaan Azura karena ternyata keadaan keluarganya dulu juga sama,
hanya saja sekarang kedua orang tuanya telah bercerai. Persamaan ini membuat
Azura makin dekat dengan Altair, sampai ia sadar bahwa ia jatuh cinta.
Sialnya, di saat keadaan makin baik, Altair
malah menghilang. Azura hanya mampu menelan kekecewaannya sendirian. Hidup pun
mengalir lagi seperti biasa, sampai ia lulus sekolah, melanjutkan kuliah dan
bertemu dengan seorang perempuan bernama Yara. Sosok Yara yang ramah
mengingatkannya dengan Altair, sehingga dengan mudah Azura menjadi dekat
dengannya. Tapi toh hidup ngga pernah selalu penuh kebahagiaan, bukan? Karena
kelak Azura akan bertemu lagi dengan Nara, cinta pertamanya. Serta Altair, yang
muncul kembali begitu saja dalam kehidupannya. Hanya saja kali ini,
kehadirannya mengungkap mengapa ada banyak rahasia dalam hidupnya.
Sejak awal saya cukup bersemangat membaca buku
ini. Ceritanya dark, bikin penasaran, dan temanya ga jauh-jauh sama buku
favorit saya yang tokoh utamanya “sakit”. Sejujurnya sampai konflik berakhir
pun, saya masih menyukai buku ini. Ceritanya dibangun dengan baik, meski saya
tak habis pikir mengapa Azura bisa tergila-gila dengan Altair. Tapi ya tak
apalah, toh genrenya Young Adult, masa di mana cinta membuat hidup dipenuhi
bunga-bunga #plaaak.
Pembangunan konfliknya dibangun bertahap
dengan apik, pembaca masih dapat mengikuti laju cerita meski dikisahkan dengan
alur yang maju mundur. Dan karena tema yang diambil tak hanya melulu tentang
cinta dan keluarga tetapi juga nuansa psikologis, saya rasa cerita di buku ini
cukup kompleks. Tetapi jangan khawatir, karena bahasanya asyik kok. Mudah
dipahami dan diikuti.
Karakter-karakternya cukup kuat dan
berkesan, terutama sosok Azura. Buat saya, Azura bukanlah anak SMA biasa, sebab
ia telah melalui kehidupan yang keras bahkan dalam keluarganya sendiri.
Keterpurukan Azura yang diceritakan dalam buku ini menjadi pesan cerita yang
bagus, bahwa tidak hanya orang dewasa yang bisa tertekan, mereka para remaja
juga dapat merasakan hal yang sama. Pun melakukan hal yang sama gilanya seperti
orang dewasa. Saya sih berharap buku ini membuat orang tak hanya memandang sebelah
mata terhadap mereka yang terlihat bermasalah. Adanya dukungan serta kebaikan
yang senantiasa diberikan serta persahabatan tanpa penghakiman, menurut saya
adalah cara yang tepat saat membangun hubungan dengan mereka.
Oh, satu yang tidak saya suka dari
buku ini. Epilognya. Menurut saya, alangkah baiknya jika epilog itu ditiadakan
saja. Itu jadi mengingatkan saya kepada salah satu buku menyebalkan yang pernah
saya baca. Dan epilog itu menghancurkan bayangan saya tentang betapa bagusnya novel ini.