Slide Show

Maret 06, 2016

We Have Always Lived in The Castle







Judul Buku :  We Have Always Lived in The Castle
Penulis : Shirley Jackson
ISBN : 978 1101 530 658
Penguin Classic Deluxe Edition, 160 pages

Keluarga Blackwood meninggal dunia akibat keracunan, menyisakan tiga anggota keluarga yang kini tinggal di kastel mereka di tepi desa. Merricat, Constance dan Uncle Julian tinggal bersama dalam rumah yang megah namun terisolasi dari masyarakat sekitar. Setiap dua minggu sekali, Merricat pergi ke desa untuk berbelanja kebutuhan rumah tangga serta terkadang meminjam buku-buku.

Orang-orang sejak dulu tak pernah suka dengan keluarga Blackwood, demikian pula terhadap anggota keluarga mereka yang tersisa. Bagi mereka, kastel Balckwood menyimpan misteri sama seperti penghuninya, juga misteri tentang kematian keluarga besar Blackwood yang dicurigai memang sengaja diberi racun.

Anak anak kecil di desa bahkan memiliki nyanyian tentang keluarga Blackwood yang tersisa.
Merricat, said Connie, would you like a cup of tea?
Oh, no, said Merricat, you’ll poison me.
Merricat, said Connie, would you like to go to sleep?
Down in the boneyard ten feet deep!

Suatu hari, sepupu mereka yang bernama Charles datang ke kastel. Lelaki yang berusia tak berbeda jauh dengan Constance itu mencari-cari harta milik keluarga Blackwood yang tersimpan. Dia bahkan menempati kamar milik ayah Merricat dan Constance, menggunakan pipa tembakaunya, membuka kotak perhiasan dan berbagai kelakuan lainnya yang membuat Merricat geram. Charles juga membuat perhatian Constance teralihkan. Jika biasanya Constance selalu mengiyakan kemauan Merricat, kali ini ia mulai menolak kemauan adik perempuannya tersebut dan lebih memilih mengutamakan Charles.

Maret 03, 2016

Les Masques





Judul Buku : Les Masques
Penulis : Indah Hanaco
Penerbit : Grasindo
Cetakan pertama : Maret 2014
Tebal : 240 halaman
ISBN : 9786022514657


Fleur merasa ada yang janggal dengan dirinya, bagaimana bisa ia terpilih menjadi finalis cover girl sebuah majalah remaja ternama tapi sama sekali tak mengingat audisinya? Di rumah pun baik  neneknya maupun bude Nana bersikap seakan akan mereka tahu bahwa Fleur memang sudah mengikuti audisi tersebut. Koper berisi pakaian juga sudah disiapkan di kamarnya, tapi Fleur masih tak ingat kapan ia menyiapkan semuanya. Ia hanya ingat ia kehilangan ingatan setiap kali ia merasa sakit kepala yang sangat. Dan Fleur terlalu takut mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.

Elektra bertekad untuk menyelamatkan Fleur dari masa lalunya yang kelam. Menurutnya, Fleur terlalu lugu untuk membela dirinya sendiri. Perlakuan kasar neneknya yang amat membenci Fleur, membuat Elektra menyimpan bara dendam yang setiap saat bisa meledak.

Tatum mengenal Elektra dan Fleur sejak kecil, tapi ia lebih akrab dengan Elektra padahal keduanya amat jauh berbeda. Kalau Elektra cenderung ekspresif dan blak blakan, Tatum adalah sosok yang menutup diri dan memendam kesedihannya. Dia menekan ingatan masa lalu yang pahit milik Fleur agar Fleur tak mengingat-ingatnya lagi. 

Jika tak ada satupun orang di luar sana yang bersedia membela dan melindungi Fleur, membalaskan perlakuan jahat yang ia terima, maka jiwanya sendirilah yang membelah dan melindungi dirinya sendiri.

Sejujurnya, di awal saya sampai melihat ke cover berkali-kali untuk memastikan novel ini karya Indah Hanaco. Oke, mungkin kelakuan saya lebay, tapi saya benar-benar baru tahu kalau Indah menulis novel thriller. Psychology thriller, malahan! FYI, saya pribadi sedang gandrung dengan tema ini, jadi ketika ada penulis lokal yang mengangkat tema ini, tentu saya penasaran donk. Dan ini buku ketiga Indah yang saya baca setelah dua buku sebelumnya tidak berkesan bahkan cenderung datar bagi saya, dan dua-duanya memang bergenre romance.

Novel Les Masques ini memiliki alur yang cepat, pembaca juga diberikan kunci masa lalu Fleur sedikit demi sedikit sehingga menimbulkan rasa penasaran yang terbangun dengan apik sampai akhir cerita. Bumbu romance tetap ada meski hanya sebagai pelengkap, dan mungkin menjadi pemicu meledaknya konflik yang selama ini dipendam oleh masing-masing kepribadian. 

Saya benar-benar berharap Indah akan menulis lagi novel thriller seperti ini, apalagi kalau lebih gelap, dan lebih kompleks kepribadiannya XD

Februari 25, 2016

Paperweight





Judul Buku : Paperweight
Penulis : Meg Haston
Penerbit : Harper Teen

Stevie menderita bulimia, sehingga orang tuanya mengirimnya ke tempat rehabilitasi khusus bagi remaja remaja yang memiliki eating disorder. Ada beberapa villa di tempat ini, Stevie ditempatkan di villa tiga dan sekamar bersama Ashley, seorang gadis periang yang juga mengalami eating disorder. Kasus stevie cukup parah, sehingga ia mengenakan gelang penanda warna merah, sedangkan Ashley sudah memasuki tahap recovery dan gelangnya berwarna kuning. Ini salah satunya yang membuat Stevie merasa tak ada yang bisa memahami perasaannya terkait kebiasaannya terhadap makanan tersebut.

Di asrama ini masing-masing remaja didukung oleh seorang pendamping, Stevie memiliki Anna. Sikap tertutup Stevie tak lantas menjadikan Anna menyerah, wanita itu terus mendukung Stevie agar mencoba untuk lebih terbuka tentang perasaannya. Konseling secara pribadi maupun pertemuan pertemuan secara grup, makanan-makanan berkalori tinggi yang disediakan, serta suplemen dan pengawasan ketat terhadap berat badan merupakan beberapa contoh penanganan yang dilakukan di tempat rehabilitasi tersebut.

Beberapa orang memang menunjukkan tanda-tanda positif menuju kesembuhan meski memang sulit untuk dilakukan. Tapi yang tidak diketahui teman-teman Stevie satu grup atau bahkan Anna adalah rencana Stevie untuk bunuh diri di hari peringatan kematian setahun kakak lekakinya, Josh. Tak ada yang tau kalau ialah yang mengakibatkan kematian Josh..

Jujur saja, saya agak bosan membaca buku ini, karena alurnya lambat banget. Mungkin saya juga yang terlalu berharap ketinggian, sehingga mendapatkan kisah di buku ini jadi biasa-biasa saja. Sosok Stevie benar-benar digambarkan sebagai seorang remaja yang egois (menurut saya), sekaligus rapuh dan emosional. Ha! Seperti ciri khas remaja pada umumnya kan?
Buku ini menceritakan apa sih yang ada di pikiran mereka yang terkena ED. Bagaimana cara pandang mereka terhadap makanan, serta pandangan mereka atas diri mereka sendiri itu kayak gimana. Apa sih tujuan dan alasan-alasan mereka sampai terkena ED? Apakah murni ego ingin menjadi yang terbaik, atau malah rasa rendah diri yang membuat mereka terpuruk dan merasa buruk?

Eating disorder adalah masalah umum yang sering disebut sebut di novel YA. Mungkin hal ini sudah menjadi masalah umum kalik ya di luar negeri sana, makanya banyak penulis yang menyisipkan perihal ED. Sebut saja Wintergirls nya Anderson atau Just Listennya Sarah Dessen. Tentu saja karena saya sudah lama penasaran dan semenjak selesai baca buku ini, saya mencoba mencari tahu tentang ED, dan inilah informasi yang saya dapatkan.

Eating Disorder memiliki angka kematian tertinggi dari penyakit kejiwaan lainnya. Berdasarkan penelitian, pada tahun 2011 sebanyak hampir 30 juta orang menderita ED di US. 95% penderita Eating Disorder berada di rentang usia 12-25 tahun. Lelaki yang menderita ED amat sedikit yang mencari pengobatan karena pada umumnya, eating disorder lebih dikenal sebagai “woman’s disease”. Duh dan banyak fakta lainnya bisa kamu lihat di sini.

Tapi saya jadi bertanya-tanya, adakah novel yang menceritakan ED dengan tokoh utama laki-laki ya?
Februari 24, 2016

Burial Rites – Ritus-Ritus Pemakaman




Judul Buku : Burial Rites – Ritus-Ritus Pemakaman
Penulis : Hannah Kent
Alih Bahasa : Tanti Lesmana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Pertama : November 2014
Tebal : 416 halaman, paperback
ISBN : 9786020309064


“Kau masih beruntung aku tidak melaporkan insiden ini.”
“Aku bukan pencuri,” kataku.
“Bukan, kau pembunuh.”


Agnes Magnusdottir divonis bersalah atas pembunuhan Natan Ketilsson dan Petur Jonsson.  Menjelang hukuman matinya, Agnes dipindahkan ke Kornsà, ke rumah keluarga Jón yang seorang petugas wilayah dan istrinya Margrét. Keluarga itu pada awalnya menolak penempatan Agnes dengan keras. Bagaimana bisa mereka tinggal dengan seorang pembunuh? Apalagi ada dua anak gadis dan para pembantu, siapa yang akan menjamin keselamatan mereka?

Di awal kedatangan Agnes, suasana rumah terasa tegang. Margret sebagai nyonya rumah menyuruh Agnes untuk membantu apapun yang bisa dilakukan Agnes sebagai imbalan telah menampungnya di sana. Ternyata Agnes adalah seorang yang patuh dan pendiam. Ia amat jarang berbicara dan jika diajak berbicara, biasanya tak banyak yang terucap dari bibirnya. Satu satunya orang yang bisa membuat Agnes bercerita banyak adalah Toti, pendeta yang ditugaskan mendampingi Agnes dalam mempersiapkan hari kematiannya.

Tetapi meskipun Agnes pendiam, ia merupakan wanita yang terampil. Ia bisa melakukan banyak hal, mulai dari menyabit rumput hingga membuat sosis. Karena itu Margret benar benar terbantu oleh kehadiran Agnes apalagi kesehatan Margret memang sedang tidak bagus, batuknya parah dan berdarah, terlebih kedua anak Margret, Lauga dan Steina, belum sepatuh dan secekatan Agnes. 
Februari 10, 2016

Amy and Roger’s Epic Detour – Perjalanan Panjang





Judul Buku : Amy and Roger’s Epic Detour – Perjalanan Panjang
Penulis : Morgan Matson
Alih Bahasa : Nina Andriana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan pertama : Juni 2014
Tebal : 480 halaman, paperback
ISBN : 9786020304


Kalian tak perlu pergi jauh untuk tahu di mana rumah kalian


Sejak ayahnya meninggal, Amy tak pernah mau menyetir mobil lagi, padahal ia harus menyusul ibunya pindah ke Connecticut dan membawa mobil satu-satunya yang ada di rumah mereka yang lama, di California. Tak kehabisan akal, ibunya merancang sebuah perjalanan selama 4 hari untuk Amy sepanjang ribuan kilometer bersama Roger, teman lama Amy. Kebetulan Roger akan menghabiskan liburannya di Philadelphia, tak jauh dari Connecticut. 

Tiba tiba ide yang cukup menantang terlintas di pikiran Amy. Bagaimana kalau mereka mengubah rute perjalanan? Nah, ternyata si Roger ini setuju aja melakukan pengubahan rute tersebut. Iya sih, ibunya Amy sudah memesankan hotel di daerah-daerah tertentu sebagai tempat istirahat Amy dan Roger. Tapi kapan lagi ia bisa menjadi Amy yang “nakal”? Apalagi Amy juga tidak mau segera tiba di Connecticut. Tak masalah rute mana yang mereka ambil, asalkan lama perjalanannya tak berubah, tentu ibunya tak perlu cemas, ya kan?

Salam,

Salam,