Judul : The Pianist
Penulis : Wladyslaw Szpilman
Penerjemah : Agung Prihantoro
Penerbit : C
Publishing (Bentang Pustaka)
Tebal : 354 halaman, paperback
Cetakan Pertama : Maret 2005
ISBN : 979-3062-46-0
Polandia adalah salah satu Negara yang diserang Jerman dalam
Perang Dunia II. Di Negara ini, tentara Jerman tak hanya menguasai wilayah
Polandia, tetapi juga melakukan diskriminasi terhadap Kaum Yahudi. Szpilman dan
keluarganya adalah salah satu dari korban kezaliman Jerman waktu itu. Semenjak
tentara Jerman datang, Kaum Yahudi ditempatkan dalam ghetto, sebuah daerah yang
khusus menjadi wilayah pemukiman orang-orang Yahudi. Mereka juga diharuskan
mengenakan ban lengan bergambar bintang David, sehingga jika berada di luar
ghetto, mereka amat mudah dikenali.
“Akan tetapi, jalan-jalan di dalam area ghetto berujung di tembok-tembok.”- Hal. 95
Szpilman dan orang-orang Yahudi lainnya merasa bahwa berada
di dalam ghetto jauh lebih buruk daripada berada di dalam penjara. Di ghetto,
mereka memang masih dapat bercengkerama dan hidup bertetangga, tetapi terkadang
tentara Jerman menyiksa mereka dengan memberikan teror, terutama penculikan dan
pembunuhan yang seenaknya.
Szpilman dan keluarganya (ayah, ibu dan kakak adiknya)
merupakan orang-orang yang optimis bahwa tentara Jerman akan segera kalah dalam
perang. Namun suatu hari, rumor beredar tentang Tentara Jerman yang akan
membantai orang-orang Yahudi dalam jumlah besar, mereka dibawa ke suatu tempat
dan ditembak mati. Itulah yang kemudian terjadi pada orang-orang di ghetto
tempat tinggal Szpilman, semua orang dipindahkan ke gudang yang luas (dikenal dengan Umschlagplatz) lalu satu
demi satu dipaksa masuk ke dalam kereta barang. Szpilman lolos dari peristiwa tersebut, ia dapat melarikan diri tetapi
tidak demikian dengan keluarganya.
Segera, ia tahu bahwa
keluarganya telah meninggal, demikian pula dengan orang-orang yang selama ini
ia kenal di lingkungannya. Semenjak itu, Szpilman merasakan teror tentara
Jerman seorang diri. Meski demikian, kebebasan yang ia dapat tidak ia
sia-siakan, Ia bekerja merubuhkan dinding-dinding ghetto yang tak terpakai, bertransaksi
makanan dari luar ke dalam ghetto, berkomunikasi diam-diam dengan para
pemberontak Polandia, bahkan menyelundupkan senjata untuk mereka.
Ia berpindah
tempat persembunyian berkali-kali, kelaparan, dibohongi, terancam mati, tapi
insting dan nasib membuatnya menjadi salah satu korban yang selamat sampai
tentara Jerman pergi dari Warsawa.
Buku ini
mengisahkan pengalaman Szpilman secara personal, bagaimana perasaannya,
ketakutan dan rasa berserahnya selama teror Jerman di Polandia. Tekad yang kuat
untuk hidup, membuat Szpilman lolos dari tentara Jerman berkali-kali. Tetapi
buku ini tak hanya menceritakan tentang kekejaman tentara Jerman kebanyakan, ia
juga menceritakan pertemuannya dengan seorang tentara Jerman yang berwelas
asih, bahkan mengutuk perbuatan kejam yang dilakukan tentara Jerman terhadap
Yahudi, terhadap perang itu sendiri.
Awal membaca saya
khawatir tidak dapat menyelesaikan buku ini sampai tamat, maklum saya bukan
orang yang betah membaca kisah nonfiksi. Tapi di sisi lain saya juga penasaran
bagaimana Szpilman bertahan dalam kondisi yang sangat terbatas tersebut?
Membaca buku ini
membuat saya yakin bahwa dalam setiap kesulitan apapun, jika kita terus
berusaha, maka akan ada jalan keluar yang kita dapatkan melalui cara yang
mungkin tidak disangka-disangka.
Jews loading onto trains at the Umschlagplatz (Sumber) |
Adegan yang paling
membuat saya trenyuh dan memotivasi saya menyelesaikan bacaan saya kali ini
adalah ketika Szpilman tidak sengaja lolos dari barisan orang-orang yang akan
naik kereta untuk dibunuh secara massal. Ketika itu ia berusaha kembali ke
barisan dan bergabung dengan keluarganya, tetapi ketika Ayahnya memandang dia,
segaris senyum dilemparkan kepada anak lelakinya itu.
”Dia berusaha tersenyum sedih dan putus asa, mengangkat dan melambaikan tangannya sebagai salam perpisahan, seakan nyawaku sedang dicabut dan dia, bahkan telah memberi salam dari luar kuburnya.”- Hal. 166
Tidak ada yang
lebih memilukan dari perpisahan dengan keluarga kita sendiri, bukan? Apalagi
mengetahui bahwa rang-orang yang lekat di hati itu akan dieksekusi mati bukan
karena mereka melakukan kesalahan, tetapi karena mereka dianggap tidak
sederajat dengan manusia lainnya. Prinsip Hitler dan pasukannya adalah bahwa
semua manusia tidak setara, terutama Yahudi, sehingga layak diperlakukan secara
tidak manusiawi.
Mengutip sedikit
dari keterangan di akhir buku,
- Buku ini diterbitkan pertama kali pada 1946 di Polandia, tetapi langsung ditarik dari peredaran oleh penguasa Polandia yang merupakan kaki tangan Stalin.
- Dari seluruh tiga setengah juta orang Yahudi yang pernah hidup di Polandia, dua ratus empat puluh ribu bertahan hidup selama kekuasaan Nazi. Sekitar tiga sampai empat ratus ribu orang Polandia berani mengambil risiko untuk melindungi dan menyelamatkan orang-orang Yahudi.
- Hanya sedikit yang tahu bahwa pada saat yang sama tak ada bangsa lain, kecuali Polandia, yang menyembunyikan begitu banyak orang Yahudi dari kejaran Nazi. Padahal apabila Anda di Prancis menyembunyikan seorang Yahudi, Anda akan dipenjara atau dikirim ke kamp konsentrasi, di Jerman Anda akan dihukum mati, tetapi di Polandia seluruh keluarga Anda akan dihukum mati.
Władysław Szpilman
meninggal di Warsawa, pada 6 Juli 2000. Kisah ’The Pianist’ ini telah difilmkan
pada tahun 2002 dan mendapatkan Nominasi untuk berbagai penghargaan, salah
satunya ’Academy Award for Best Picture’. The Pianist juga memenangkan
penghargaan AA untuk kategori Best Actor dan Best Director, yang menjadikan
film ini layak menjadi salah satu film yang masuk ke daftar ’wajib ditonton’.
(Postingan ini
dalam rangka Posting bareng BBI Bulan Februari dengan tema ’Buku-buku yang
diadaptasi ke layar lebar dan masuk nominasi atau menang Oscar’)