Slide Show

Januari 09, 2013

Wishful Wednesday #29

Hai haiii.. ini posting 'andai andai' saya kali kedua di tahun yang baru.

Wishful kedua puluh sembilan ini adalah sebuah buku super sexy yang harganya.. em.. juga sexy. *banting ATM







Peter anak yang gesit, nekat, dan sangat jail---dia juga sangat suka bermain, walaupun permainan-permainannya sering berakhir dengan pertumpahan darah. Sepasang matanya bersinar-sinar keemasan, dan kalau dia tersenyum padamu, kau akan menjadi sahabatnya seumur hidup, tetapi negeri ajaib yang dijanjikannya padamu bukanlah Neverland.

Nick yang berumur empat belas tahun pasti tewas dibunuh para pengedar narkoba yang memangsa keluarganya, andai Peter tidak menyelamatkannya. Sekarang anak liar yang penuh kharisma ini mengajak Nick ke suatu tempat yang penuh petualangan, berselimut sihir, negeri muda abadi. Nick bersedia ikut dengannya, walaupun dia agak curiga dengan celotehan Peter tentang makhluk-makhluk faerie dan monster-monster. Tetapi New York City bukan lagi tempat yang aman baginya. Dia tidak akan rugi apa-apa.

Namun “selalu” ada yang mesti dikorbankan.
Setelah mengikuti Peter ke sebuah pulau kelabu yang tertimpa bencana, yang dulunya adalah surga hijau indah penuh keajaiban, tahu-tahu Nick direkrut untuk ikut dalam peperangan yang telah berlangsung berabad-abad---dia mesti belajar bertarung, atau mati di antara para “Iblis”, kelompok anak-anak yang dulu dicuri Peter dan kini menjadi pasukan setianya.

Di sanalah masa lalu Peter yang kelam terungkap: ditinggalkan di hutan semasa bayi, Peter berpindah-pindah antara dunia manusia dan dunia faerie. Dialah si Pencuri Anak, pimpinan gerombolan anak-anak yang haus darah, teman yang pemberani, dan makhluk yang bersedia melakukan apa pun demi menyelamatkan sisa-sisa sihir di negerinya yang sedang sekarat.


936 halaman, and yeaah.. ceritanya tentang fantasi. huwaaa.. *sok merana saking pinginnya. *pura pura lupa timbunan
 
Seperti biasa, kalau kamu ingin ikutan eventnya Perpus Kecil, begini caranya :


1. Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =) 
2. Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku itu masuk dalam wishlist kalian ya! 
3. Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian. 
4. Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)

Desember 31, 2012

The Time Keeper – Sang Penjaga Waktu




Judul Buku : The Time Keeper – Sang Penjaga Waktu
Penulis : Mitch Albom
Alih Bahasa : Tanti Lesmana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Pertama : Oktober 2012
Tebal : 312 halaman, paperback
ISBN : 978-979-22-8977-0

Rasanya tak berlebihan jika saya mengatakan bahwa banyak orang di dunia ini mempertanyakan tentang waktu. Demikian pula dengan saya sendiri, yang ketika membaca prolog pada buku ini, saya bertanya-tanya dalam hati.. Apakah suara saya juga terdengar oleh dia, Sang Penjaga Waktu, ketika saya selalu menanyakan mengapa waktu terlalu cepat berlalu, mengapa waktu tidak berhenti saja sebentar terutama saat kalender penuh deadline tugas, kerjaan bahkan untuk urusan sepele perihal film yang ditayangkan di televisi.


“Hanya manusia yang mengukur waktu.”-Hal.17


Dahulu kala ketika tak seorangpun mempertanyakan tentang waktu, hidup mengalir begitu saja, tak ada yang terburu-buru tak ada yang merasa dikejar oleh waktu, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Dor. Anak yang cerdas ini tumbuh dewasa dikelilingi dengan pengetahuannya yang makin berkembang tiap harinya. Ia begitu penasaran dengan waktu, meski belumlah kata tersebut dikenal seperti itu. Ia mengukur dan menandai pergantian hari, pergerakan bulan, sampai suatu hari istri tercintanya sakit.

Tunggu, sebelum itu mari saya jelaskan terlebih dahulu. Dor menikah dengan teman sepermainannya waktu kecil, Alli namanya. Seorang gadis yang tumbuh menjadi wanita penyabar, pengertian dan mungkin satu-satunya orang yang mendukung Dor apapun yang ia lakukan. Karena perselisihan Dor dengan Nim, yang dulu juga teman bermain waktu kecil, Dor dan Alli harus meninggalkan kampung halaman dengan menitipkan anak-anak kepada nenek-kakek mereka.

Lalu tibalah hari itu, ketika Dor merasa ia harus menghentikan waktu yang dimiliki para Dewa. Kematian Alli menghancurkan hati Dor sehingga ia berlari menaiki menara yang dibangun Nim dan para budaknya, menara Babel yang katanya mencapai ke kediaman Dewa-Dewa. Dor harus ke sana, menghentikan waktu yang selama ini telah diakrabinya.


menara Babel, ilustrasi dari markmallett.com

Tapi ternyata Dor tidak pernah sampai puncak menara, ketika menara itu hancur, rubuh akibat banyak orang yang berlomba-lomba mendaki tangga menara bersama Dor, ia malah dipindahkan ke sebuah gua yang entah di mana tempatnya. Gua tempat Dor kemudian menjadi seorang yang mendengarkan keluh kesah manusia tentang waktu. Ia yang merupakan manusia pertama penanda waktu kemudian dipilih menjadi seorang penjaga waktu sampai nanti ketika langit dan bumi menyatu.

Sementara itu di masa sekarang ini diceritakan pula kisah seorang lelaki tua bernama Victor dan seorang gadis bernama Sarah. Keduanya adalah sedikit dari banyak suara yang didengar Dor di dalam gua. Tak mengenal satu sama lain, Victor dan Sarah adalah contoh dari orang-orang yang menganiaya waktu mereka sendiri, dan kisah mereka berdualah yang kemudian berhubungan dengan kisah Sang Penjaga Waktu.

Victor seorang pengusaha sukses, orang terkaya nomor empat belas di dunia yang divonis bahwa umurnya paling lama tinggal dua bulan lagi, dan ia terus mencari cara agar ia kelak bisa hidup dalam keabadian. Sedangkan Sarah adalah seorang gadis yang biasa-biasa saja, bahkan cenderung tidak memiliki teman, karena ia sangat pintar tapi penampilannya tidak terlalu cantik. Kehidupannya biasa saja sampai ia bertemu dan jatuh cinta terhadap Ethan seorang kenalannya di tempat ia bekerja sosial di penampungan.

Bagaimana kisah mereka berhubungan satu sama lainnya? Apakah manusia memang perlu mengejar-ngejar waktu yang dianugerahkan pada mereka, ataukah mereka sebenarnya tak mengerti anugerah waktu itu sendiri?

Setelah membaca buku ini, sejujurnya saya seperti mendapat tamparan keras di pipi, karena saya adalah salah satu orang yang sering mengeluh tentang waktu. Mungkin perihal biasa, karena hanya ia satu-satunya alasan yang buat saya ‘layak’ untuk disalahkan jika kerjaan terlalu banyak tenggat terlalu cepat, urusan tak terkendali lagi. Padahal waktu adalah hadiah.

Buku yang terdiri dari 81 bab dalam 12 bagian ini mengantarkan pembacanya dalam pemahaman baru dalam memandang bagaimana waktu berlalu. Bahasa yang filosofis, terjemahan yang manis dan kekuatan kata-kata di dalamnya yang membuat saya menyukai buku ini.  Tiga tokoh utama dalam cerita ini, yaitu Dor, Sarah dan Victor mencerminkan sikap dan watak manusia yang tak berubah meski jaman telah berganti. Semenjak kita mulai bisa menandai waktu, kita selalu merasa kehabisan stok waktu itu sendiri. Tak jarang kita sendiri berharap memiliki waktu yang tak terbatas.


“Ada sebabnya Tuhan membatasi hari-hari kita.”
“Mengapa?”
“Supaya setiap hari itu berharga.”-Hal.288


Kepandaian penulis dalam menyatukan para tokoh utamanya juga diceritakan dalam kisah yang unik, mereka yang tak pernah bertemu bahkan mengenal satu sama lain dan dari masa yang berbeda ternyata memiliki kisah hidup yang saling berkaitan.


“Manusia saling terkait dalam cara-cara yang tidak dipahaminya-bahkan dalam mimpi-mimpi”-Hal.107


Pelajaran yang saya dapatkan setelah lembar akhir buku ini saya tutup adalah, bahwa kita harus lebih menghargai waktu dengan merayakannya bersama orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita. Bahwa waktu meskipun ada banyak yang diberikan untuk kita, tetap tidak akan cukup untuk dihabiskan memenuhi nafsu kita akan segalanya, kekuasaan, pekerjaan, kekayaan, keabadian, tapi waktu yang sedikitpun akan jauh lebih berharga jika ia dihabiskan untuk menikmati cinta, menikmati hidup itu sendiri tanpa harus mengkhawatirkan waktu yang berlalu.

Liburan yang usai, tahun yang berganti, bulan yang baru, tapi sudahkah kau habiskan hari ini untuk menyapa ia yang mencintaimu?


Sedikit tentang Mitch Albom :
Mitchell David Albom lahir pada 23 Mei 1958, seorang penulis, jurnalis, penulis naskah, penyiar radio dan televisi serta seorang musisi. Lima buku telah ia terbitkan, yaitu berjudul Tuesdays with Morrie (1997) , The Five People You Meet in Heaven (2003), For One More Day (2006), Have a Little Faith: A True Story (2009)  dan The Time Keeper (September 2012). Jika ingin lebih banyak mengetahui tentang beliau, kamu bisa mengunjungi websitenya di http://mitchalbom.com/d/



Desember 29, 2012

Ways to Live Forever – Setelah Aku Pergi



Judul Buku : Ways to Live Forever – Setelah Aku Pergi
Penulis : Sally Nicholls
Alih Bahasa : Tanti Lesmana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan keempat : Juni 2009
Tebal : 216 halaman, paperback
ISBN : 978-979-22-3653-8

Saya sedang mencuci piring ketika seorang keponakan menanyakan sebuah buku kepada saya.
”Bun, udah baca Ways to Live forever?”
“Penerbitnya apa?”, saya mencari-cari dalam berkas ingatan dan ternyata tidak pernah mengenal judul buku tersebut.
“Gramedia. Ceritanya tentang anak kecil yang kena Leukimia.”
“Bagus ngga?”
“Aku ngga ada sehari udah kelar bacanya.” (maklum, ponakan yang satu ini ‘picker’ banget dalam urusan buku. Jadi kalau ga ada sehari aja dia udah kelar, pasti dia suka sama buku ini)
“Gih mana, aku pinjem donk.”

Maka di sinilah saya, setelah menutup lembar terakhir buku tersebut dan terbirit-birit ingin segera menulis reviewnya.

Buku ini bercerita tentang kisah Sam, dimulai tanggal 7 Januari dan berakhir tanggal 12 April. Sam adalah seorang anak laki-laki yang menderita leukimia, penyakitnya cukup parah sehingga ia terpaksa menghabiskan waktunya di rumah. Orang tuanya mendatangkan seorang guru agar Sam dan Felix, temannya yang juga terkena kanker, dapat melakukan sesuatu dalam hari-hari mereka, setidkanya agar mereka tidak bosan. Suatu hari, Mrs. Willis, guru itu, memiliki ide agar Sam dan Felix menuliskan sebuah cerita.





Tapi yang paling bersemangat menulis adalah Sam, ia berencana menulis sebuah buku tentang kisahnya atau tentang apa saja yang ingin ia tuliskan. Sam paling senang mencari tahu tentang sesuatu hal, maka ia membuat daftar-daftar pertanyaan yang kemudian ia cari jawabannya dengan bertanya pada banyak orang atau melalui internet. Sam juga menulis daftar-daftar, apa saja keinginannya, hal-hal favoritnya, atau semacam daftar daftar singkat mengenai kematian, pemakaman dan lain-lain.

Sam adalah seorang anak yang memiliki rasa ingin tahu yang besar. Meskipun ia tahu umurnya tak lama lagi, ia masih memiliki keinginan untuk hidup dan melakukan apa saja yang biasanya dilakukan anak seusianya. Dia bahkan berangan-angan agar suatu hari nanti ia bisa sembuh total, lewat jalan yang logis ataupun sekadar mimpi anak belasan tahun. Ia dikelilingi orang-orang yang mencintainya, Ella adik perempuannya, Mum yang sangat sayang dan perhatian, dan Dad yang meskipun sering cuek dan tak pernah mau membahas penyakit Sam tapi Sam tahu bahwa ayahnya itu menyayanginya.

Buku ini terdiri dari banyak bab, tapi ada satu bab di awal cerita yang membuat saya trenyuh membacanya, yang berjudul ”Kenapa Tuhan membuat Anak-anak Jatuh Sakit?”
Yah, kenapa, tanya Sam. Kalau orang-orang tua yang memang sudah banyak menikmati hari, teserah deh mau sakit apa. Tapi mengapa anak-anak juga jatuh sakit?
Di bagian ini ada daftar jawaban yang Sam dan Felix berikan, mungkin ada yang terkesan konyol, tapi ada pula jawaban yang bijak. Jawaban yang sering diberikan kepada banyak orang, bahwa


”Tuhan sangat menyayanginya, sehingga ingin membawanya ke Surga.”


Yah, jawaban itu yang selalu diberikan ke saya ketika saya dulu selalu bertanya, Kenapa Mama meninggal?

5 bintang untuk kisah Sam. Mungkin Sam adalah tokoh fiksi, tapi saya tahu ada banyak orang, banyak anak di luar sana yang mungkin memiliki kisah yang sama dengannya, berjuang bersama penyakitnya.

Book Kaleidoscope 2012 - Top Five Most Favorite Books

Ini postingan kedua saya dalam rangka Book Kaleidoscope 2012.




yaitu Top Five Most Favorite Books




Top Five Favorite Books kali ini rupanya sangat sulit buat saya. Yah, milih 5 buku ternyata cukup sulit mengingat saya banyak membaca buku yang berkesan di tahun ini. Tapi akhirnya toh saya berhasil nyuplik 5 buku yang menurut saya ‘layak’ ada di jajaran Favorite Books.

5. The Invention of Hugo Cabret – Brian Selznick
Yah,yang udah pernah baca buku ini pasti tau kalau buku ini kereen bangeeet kan? Banyak ilustrasi tangan di dalam bukunya, bahkan bisa dibilang yang membuat buku ini menarik adalah karena ada banyak gambar di dalamnya. Dan ya karena itu pula makanya buku ini mendapat banyak sekali penghargaan. 



4. Just So Stories – Rudyard Kipling
Event baca bareng BBI membuat saya mau tak mau membaca buku ini, meski dalam versi e-booknya (maklum, belum punya bukunya). Buku ini termasuk buku favorit saya karena bahasa yang digunakan Kipling dalam buku ini sangat berima, sangat unik, padahal ia sedang bercerita bukan berpuisi. Ilustrasi yang ada di gambar juga membuat saya menyukai buku ini, mungkin juga karena ia bercerita tentang dongeng yang tak lekang waktu. 



Yah, saya adalah salah seorang penyuka dongeng atau cerita semi-fantasi gitu.. jadi buku ini buat saya keren banget, apalagi termasuk dalam buku klasik. Jarang loh ada buku klasik yang ceritanya mudah dibaca dan dipahami. Oh ya, satu lagi, ada puisi-atau lagu gitu di setiap akhir cerita di kumpulan cerpen ini, dan ada yang nyebut Surabaya juga loh.. :D

3. Petualangan Tintin- Kepiting Bercapit Emas
Membaca Tintin merupakan sebuah keasyikan yang amat sangat buat saya. Yah, mungkin karena ada ilustrasinya juga yang menjadikan saya lebih mudah memahami jalan ceritanya oh dan meski ceritanya ditulis puluhan tahun lalu, tapi tetap saja seru untuk diikuti.


Berkisah tentang Tintin yang menemukan misteri dari sebuah kaleng makanan bergambar kepiting, ia terjebak dalam sebuah kapal bersama dua detektif kembar dan bertemu dengan Kapten Haddock untuk pertama kalinya. 
Tintin yang pintar, dua detektif yang konyol dan Sang Kapten yang kadang bikin sebal pembaca, semuanya mengantarkan kita ke dalam jalan cerita yang menegangkan tapi penuh tawa.

2. The Time Keeper- Mitch Albom
Saya menyukai buku ini selain karena keunikan kisahnya, juga karena kepiawaian penulisnya menyusun kata demi kata menjadi sebuah buku yang seakan menyihir saya. Sebenarnya bahasan buku ini sederhana, tapi cakupannya ternyata luas, tentang manusia yang tidak pernah puas dengan waktu yang ia miliki. 



Seorang laki-laki yang pertama kali mengukur waktu, dijadikan sebagai Sang Penjaga Waktu. Ia terpaksa mendengarkan keluh kesah manusia yang tak pernah habis mengenai waktu. Sampai suatu ketika ia diberi perintah untuk membantu dua orang manusia di bumi yang ‘bermasalah’ dengan hidupnya gara-gara waktu.
Selain cover yang cantik, terjemahan yang apik, bahasan yang menarik, buku ini mengingatkan saya bahwa waktu yang kita miliki itulah yang merupakan harta dari Tuhan untuk kita.

1. Room – Emma Donoghue
Buku ini sebenarnya saya baca karena terprovokasi oleh beberapa teman GRI yang waktu itu mengadakan baca bareng. Lha ternyata saya jatuh cinta dengan buku ini, dengan karakternya, jalan ceritanya dan ‘kepolosan’ tokoh utamanya. 



Berkisah tentang penculikan dan penyanderaan seorang gadis sampai kemudian ia melahirkan dan membesarkan anaknya, serta bagaimana perjuangan mereka untuk bertahan hidup dan usaha untuk melarikan diri yang ternyata tidak mudah dihadapi oleh seorang anak kecil.
Diceritakan dari sudut pandang anak 5 tahun, buku ini mengajak kita melihat sebuah kisah tragis dari sudut pandang yang berbeda. Kepolosan Jack berkali-kali membuat saya tersentuh saat membaca kisahnya. Bersama Ma yang tangguh, Nick yang menyeramkan, buku ini saya rasa adalah buku terfavorit saya di tahun ini.



Itu daftar buku pilihan favorit saya. Kalau pendapat kalian beda, kenapa nggak bikin juga terus ikutan deh bareng-bareng kita.. Masterpostnya bisa dilihat di Fanda Classiclit di sini :)
Desember 28, 2012

Lost Butterfly – Dilema Cinta Mantan Pria




Judul Buku : Lost Butterfly – Dilema Cinta Mantan Pria
Penulis : Yandasadra
Penyunting : Mushadiq Ali, Hasan Albana, Esha Rachman Yudhi
Penerbit : Tinta Publisher
Cetakan Pertama : Januari 2011
Tebal : 330 halaman, paperback
ISBN : 978-602-97765-0-8

Fenomena LGBT (Lesbi, Gay, Biseksual, Transgender) merupakan hal yang masih ‘sensitif’ untuk diceritakan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu ketika beberapa teman mengajak untuk posting bareng review buku bertema LGBT, saya sempat khawatir bakal susah menemukan buku yang mengambil tema serupa, tapi ternyata lhah di timbunan saya nyelip satu buku yang sejak lama belum sempat saya baca, yaitu buku ini, Lost Butterfly.

Dr. Arman Wiranata adalah seorang dosen muda di bidang filsafat di sebuah universitas di Jakarta. Suatu hari di bandara Kuala Lumpur ia bertemu dengan seorang wanita yang menjadikan pertemuan itu membekas di ingatannya. Seorang wanita yang cantik namun sederhana, namun sayang saat itu Si Wanita begitu terburu-buru sehingga Arman tidak dapat berbincang-bincang dengannya. Yah, sampai mereka akhirnya bertemu lagi berkali-kali.

Wanita itu bernama Maria, Fitriyana Maria Lucci lengkapnya, ia membantu Rektor di kampus Arman untuk mendekorasi ulang rumah Pak Rektor tersebut. Semenjak itu Arman mulai sering berjumpa dengan Maria, bahkan sempat mengantarkan tas Maria yang ketinggalan ke rumah kontrakan Maria dan mengobrol dengan ibu kontrakannya. Anehnya meski Maria seringkali bertemu Arman, ada kesan kalau wanita itu selalu menghindar dari Arman. Pembicaraan mereka hanya sebentar-sebentar, pun terkadang hanya sekadar menyapa saja. Arman tentu saja makin penasaran dengan wanita tersebut, apa hal gerangan yang membuat Maria seakan menghindarinya?

Di sisi lain juga diceritakan kehidupan Maria yang ternyata adalah seorang transgender, ia mengidap ambigous genitalia tetapi kejiwaannya lebih mendekati wanita daripada menjadi pria, karena itu ia memilih melakukan operasi transgender agar jiwanya lebih tenang. Tapi ternyata keluarga besar Maria menolak mentah-mentah apa yang menjadi pilihannya, sehingga ia terusir dari rumah. Orang-orang yang kemudian dekat dengan Maria adalah orang-orang dari kalangan LGBT yang merasa senasib sepenanggungan dengan Maria.

Sebenarnya Maria ingin sekali memberitahu Arman, tetapi di lain pihak ia juga merasa takut dikecewakan lelaki yang ternyata juga disukainya tersebut. Apa jadinya kalau Arman tahu bahwa Maria adalah seorang transgender? Sanggupkah Maria berterus terang, atau akankah Arman yang mencari tahu tentang kebenaran kisah Maria?

Membaca novel ini membuka wawasan saya tentang transgender utamanya dalam hukum Islam, karena Universitas tempat Arman bekerja sepertinya merupakan universitas dengan basic Islam. Perihal Transgender dikulik habis di buku ini terutama dari sisi Arman, bagaimana penulis menyampaikan pendapat-pendapatnya dari sudut pandang Arman sebagai tokoh utama.

Menurut novel ini, seseorang yang menderita ambigous genitalia dibolehkan untuk melakukan operasi transgender, tentunya dengan pertimbangan para Ahli baik di bidang psikologis ataupun dari kesehatan. Dengan demikian mereka yang menentukan pilihannya dengan memilih menjadi pria atau wanita adalah mereka yang tidak menyalahi sunatullah, karena dengan tegas memilih salah satunya. Namun mereka yang ‘berpura-pura’ menjadi lawan jenisnya hanya untuk mencari uang atau pemenuhan nafsu belaka, padahal sebenarnya mereka memiliki status yang jelas, mereka adalah orang-orang yang baru bisa disebut menyalahkan kodrat atau sunatullah.

Tokoh Arman di buku ini menurut saya terlalu super, ia tampan, mapan dan pandangannya jauh luas terbuka, dan sangat mendominasi dialog-dialog dalam bacaan. Sedangkan tokoh Maria juga diceritakan dengan karakter yang labil, kadang terkesan kuat tapi juga lemah. Terlebih lagi bahasa yang digunakan di beberapa bab membuat saya pinginnya skip-skip-skip, meski bahasannya si Arman ini terkesan jago, tapi saya tidak merasa ia sedang berbagi cerita, yang saya rasakan malah sedang diajari oleh Pak Dosen beneran kepada mahasiswanya, padahal tidak semua dialog antara Arman dengan muridnya.

Untuk typo masih cukup bertebaran, salah penempatan tanda koma atau huruf yang kurang pada kata. Bahasa yang digunakan kadang masih terlalu mendayu-dayu, majas yang hiperbola, boros kalimat, serta dialog yang terkesan kaku juga masih sering ditemukan di buku ini.

Tapi toh membaca buku ini memberi saya beberapa pengetahuan lainnya tentang transgender, seperti kata Farid Gaban seorang wartawan senior,


“Dengan cara sederhana tapi provokatif, Lost Butterfly mengajukan pertanyaan filosofis : Apakah agama hanya bisa dinikmati oleh manusia normal, dan sebaliknya hanya menjadi siksa bagi mereka yang terlahir berbeda; mereka yang, misalnya, terdorong memiliki jenis kelamin lain? Apakah Tuhan Sang Maha Sutradara membenarkan diskriminasi dan pengucilan atas nama penafsiran agama yang seringkali terlalu terburu-buru dianggap absolut?”

Salam,

Salam,