Judul Buku : Sunset Bersama Rosie
Penulis : Tere-Liye
Editor : Andriyati
Penerbit : Mahaka
Cetakan Pertama : November 2011
ISBN : 978-602-9888-36-2
Tragedi Bom Bali
di Jimbaran, Bali tujuh tahun silam masih terasa menyesakkan jika dikenang.
Banyak yang menjadi korban dari peristiwa tersebut, sampai-sampai beberapa
negara sempat kehilangan kepercayaan terhadap negara Indonesia. Ada banyak
nyawa yang hilang, mereka yang luka dan lebih banyak lagi yang kehilangan.
Keluarga, saudara, tetangga, rekan kerja, sahabat, mereka yang sebagian besar
kisahnya tak tercecap media massa, mereka yang memiliki lebih banyak luka.
Salah satunya
adalah keluarga Nathan dan Rosie.
Sore itu, mereka
dan keempat anak perempuannya menghabiskan waktu di sebuah kafe pinggir pantai
di Jimbaran dalam rangka merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke-13
tahun. Sebuah tele-conference sedang dilakukan bersama seorang teman keluarga,
Tegar, nama lelaki itu. Paman, Om, Uncle, adalah sebutan yang diberikan dari
tiga anak Nathan dan Rosie kepada Tegar. Lelaki itu telah menjadi paman yang
sangat dekat dan akrab dengan keluarga mereka, oleh karena itu Tegar dirasa
perlu ikut merayakan pesta pernikahan meski melalui streaming.
Sesaat
sebelum matahari terbenam, koneksi sinyal video streaming terputus. Tegar yang bingung,
khawatir dan kalap langsung naik penerbangan selanjutnya ke Bali, di saat dunia
belum tahu sesuatu telah terjadi di Bali, Tegar lebih dulu mengetahuinya.
Sesampai di Bali, suasana di sekitar Jimbaran sangat kacau, untungnya Tegar
memiliki kenalan yang membantu mencari tahu kondisi keluarga Nathan saat itu.
Setiba di rumah sakit, syukurlah keadaan tiga anak Nathan baik-baik saja, meski
tangan tangan kiri Sakura, anak kedua mereka, remuk dan ia masih belum sadarkan
diri. Tapi tidak demikian dengan Nathan, Sang kepala keluarga itu meninggal
dunia.
Inilah
awal yang menyebabkan keluarga Nathan tak sama lagi seperti dulu. Ayah
meninggal, Ibu yang depresi akut membuat keempat anak Nathan dan Rosie terancam
kehilangan pijakan. Sekembalinya mereka ke Gili Trawangan, Tegar memutuskan
untuk terus menemani mereka sampai Rosie sembuh. Awalnya memang anak-anak berat
melepas Ibu mereka rehabilitasi di salah satu tempat di Bali, tapi Rosie makin
mengancam keselamatan anak-anak, sehingga keputusan ini harus dibuat.
Tegar
sendiri memiliki kehidupan yang mapan di Jakarta, karirnya sedang gemilang
bahkan ia berencana tunangan dengan Sekar, seorang gadis cantik yang amat setia
mencintai Tegar. Dengan adanya tragedi di keluarga Rosie, Tegar memilih untuk
melepaskan pekerjaannya sementara ia mengurusi anak-anak Rosie. Ia berusaha untuk menjadi paman mereka
yang super, memang tak bisa menggantikan posisi Rosie dan Nathan. Tapi semoga
anak-anak tetap bisa melanjutkan kehidupannya tanpa perlu dibebani perasaan
kehilangan yang menyakitkan.
Apakah Rosie kelak
akan sembuh dari depresinya dan kembali kepada anak-anak? Lalu bagaimana dengan
Sekar, akankah ia setia menunggu Tegar?
Saya hanya perlu
menghabiskan waktu 4 jam membaca buku ini dari awal sampai akhir. Alur
ceritanya cepat dan kisah tentang anak-anak itu membuat saya tak rela jika
harus berhenti menikmatinya. Selain itu, penulis juga dengan cakap menceritakan
kisah ini dari PoV Tegar, yang kadang membuat saya bersimpati tapi kadang juga
sebel dengan sikapnya yang plin-plan terutama pada Sekar.
Satu kalimat yang
sering diulang Tegar, yang saya suka :
”Hanya waktu yang selalu berbaik hati mengobati kesedihan.”
Untuk tokoh
anak-anak, ah.. tidak bisa tidak, saya jatuh cinta dengan karakter mereka.
Anggrek yang kalem, Sakura yang meledak-ledak, Jasmine yang jauh lebih dewasa
daripada seusianya dan Lili, gadis paling kecil yang polos, imut dan
bener-bener love-able. Hanya saja
terkadang dialog dan sikap yang ditunjukkan mereka amat dewasa, padahal umur
mereka masih kecil. Mungkin penulis beranggapan setelah mengalami suatu
guncangan psikologis, hal itu dapat seketika mempengaruhi psikologis mereka.
Tetapi sebenarnya saya berharap kalau mereka tumbuh menjadi anak yang
biasa-biasa saja. Tidak harus spesial, tidak harus super bijak, hanya tumbuh
menjadi anak kecil yang normal. Tapi toh saya tak tahu perihal psikologi, jadi mungkin
saja hal yang terjadi pada mereka memang bisa terjadi.
Adegan yang paling
saya suka adalah ketika Jasmine memberikan bunga mawar biru kepada pelaku
pemboman, saat sidang. Momen inilah yang membuat saya mengerti apa sebenarnya
isi dari keseluruhan cerita dalam buku ini. Penerimaan, pengikhlasan,
memaafkan, semuanya terangkum dalam kejadian itu. Tidak bisa tidak, saya sempat
meneteskan air mata haru akan besarnya rasa hormat Jasmine kepada Tegar
sampai-sampai ia bersedia memaafkan pelaku pemboman yang menjadi penyebab
kematian Ayah mereka, lalu ibu mereka yang delusional. Ah, saya harus belajar
lebih banyak dari peristiwa ini.
Jadi saya rasa
empat bintang layak bersanding dengan Senja bersama Rosie. :)