Judul Buku : The Lost
Java
Penulis : Kun Geia
Editor : Baharuddin dan Ika Yuliana K.
Penerbit : IG Press
Tebal : 366 halaman, paperback
Cetakan Pertama : Juni 2012
ISBN : 978-602-18409-0-0
Semenjak munculnya The Inconvenient Truth yang dibawakan Al
Gore ke tengah tengah penduduk dunia, kita dihadapkan pada satu fakta yang tak
terelakkan lagi, kalau suhu Bumi memang mulai memanas, istilah kerennya global warming. Melelehnya
gletser-gletser di kutup pun di pegunungan bersalju, termasuk di Jaya Wijaya,
negeri kita sendiri, adalah salah satu buktinya, yang juga menyebabkan kenaikan
permukaan air laut beberapa tahun terakhir ini. Well, kalau film sih sudah
banyak yang mengambil latar fenomena ini, tapi rasanya tidak demikian dengan
novel.
Sampai suatu hari seorang teman mempromosikan buku ini kepada
saya. Cocok sih, karena saya sangat suka hal-hal yang berhubungan dengan fiksi
ilmiah, baik Film maupun Novel. Nah, berhubung di buku ini tidak dituliskan
sinopsisnya, ad abaiknya saya mengawali review ini dengan sedikit bocoran
kisahnya.
Kisah berawal dari 29 tahun ke belakang, tanpa waktu yang
jelas (karena di novel ini hanya diberikan tanggal dan bulan tanpa tahunnya) seorang
anak laki-laki lahir dan sayangnya mengalami kelainan jantung. Di usianya yang
kesembilan bulan kemudian, ia diberi bantuan jantung buatan yang setelah
sepuluh tahun kemudian bisa dilepas karena jantung aslinya diharapkan sudah
mengalami perbaikan.
Dr. Gia Ihza, M.Sc, 29 tahun kemudian anak lelaki itu telah
menjadi seorang ilmuwan di bidang kimia. Mewakili Indonesia, ia berbicara singkat di
depan panel ilmiah iklim internasional tentang bahayanya global warming.
Setelah acara selesai, ia diberi kabar dari Indonesia untuk segera pulang, ada
hal yang jauh mendesak untuk dipenuhi.
Lelaki ini ternyata tergabung dalam kelompok Ilmuwan Garuda
Putih Lab, sebagai general manager lab, di mana kelompok ini sedang meneliti
dan mencoba menyelamatkan dunia dari dampak pemanasan global. Dipimpin tiga
orang ilmuwan yang bertempat tinggal di tiga lokasi yang berbeda, mereka
memiliki misi untuk menciptakan hujan salju di kutub sampai bisa menurunkan
suhu sehingga gas metana yang tersimpan di dalamnya tidak keluar. Metana adalah
salah satu gas rumah kasa yang memiliki dampak 25 kali lebih parah daripada
CO2, sehingga benar diperlukan penanganan khusus terhadap ratusan ribu kubik
lebih gas tersebut yang terpendam dalam es kutub.
Tapi ada kelompok Dark Star Night milik zionis yang berupaya
menggagalkan rencana para ilmuwan ini. Tanpa disadari, ada mata-mata yang membocorkan
info-info penting dari GarPu Lab ke Dark Star Night. Untuk itu Gia dan
teman-teman ilmuwannya harus segera pergi ke Antartika meledakkan peluru peluru
nuklir yang juga berisi perak iodide ke awan-awan tertentu agar mampu
menurunkan salju di tempat itu.
Berhasilkah Gia dan teman-temannya? Sedangkan kaum Zionis
semakin mengancam keselamatan manusia di seluruh dunia..
Saya pertama kali membaca science fiction milik penulis Indonesia
kayaknya waktu masih duduk di bangku SMP. Judul bukunya Area-X, semenjak itu
saya jatuh cinta terhadap buku ataupun film bertemakan science fiction. Buku
itu adalah salah satu karya anak negeri yang sanggup membuat saya bertahan
membacanya dari awal sampai akhir dan sampai susah berhenti bacanya XD
Tadinya saya berharap novel tentang global warming ini juga
begitu, berhubung salah satu film yang sangat berkesan tentang global warming
ini adalah The Day After Tomorrow jadi saya benar-benar mengharap lebih untuk
novel dalam negeri. (Berharap kan
boleh aja yah). Well, ternyata saya salah memberikan penilaian awal dan
ekspektasi awal. Ditambah sinopsis yang biasa aja, (bahkan lebih banyak
endorsmentnya daripada sinopsis di buku ini) dan banyaknya keterangan membuat
jalan ceritanya kaku.
Sebuah buku science fiction memiliki sinyal kelemahannya
sendiri, terutama dalam menyajikan data-data ilmiah yang diharapkan bisa luwes
masuk ke dalam cerita. Di buku ini memang ada banyak fakta ilmiah global
warming yang dimasukkan, termasuk data-data Negara dan di bagian akhir bahkan
disertakan jenis tanaman apa yang bisa mengurangi polusi udara. Yah, semuanya
dalam bentuk tabel. Adalagi beberapa catatan kaki yang berkelimpahan di buku
ini, bahkan beberapa hal yang dijelaskan menurut saya adalah suatu hal yang
umum, seperti keterangan apa itu UNESCO, Eskimo, dan NASA.
-____-“
Selain itu detail yang terasa tak perlu juga dijelaskan di
buku ini, seperti seperti apa bentuk Pesawat Jet Cessna 525C, Mobil phantom
Couple, identifikasi scanner retina, dan ah.. beberapa hal lainnya.
Lalu kalimat-kalimat
yang digunakan, saya cukup.. kecewa. Boros. Saya tahu menulis novel itu
suasahnya bukan main, apalagi kalau jumlah halamannya dirasa kurang banyak.
Tapi untuk pemborosan kata, saya rasa nggak perlu deh. Mendingan tipis tapi
nyaman dibaca daripada kepanjangan tapi intinya gitu doank. Saya ambil contoh
ya :
”Tidak tampak retakan sedikitpun di setiap jengkalnya. Semua molekul cat berpigmen hijau berikatan satu sama lain untuk menutup rapat seluruh permukaan dinding kamar.”-Hal. 9”Semua pelayanan pasca melahirkan tetap tidak dapat memberikan pengaruh besar manakala hati yang gundah tak jua mereda, manakala pikiran yang kalut tak lagi memberi ketenangan rasa.”- Hal.11
Dan..
Ah, dua aja cukup
ya, daripada kepanjangan. XD
Saya paham kalau
penulis merasa perlu menambahi kisah cinta yang Islami di buku ini, tetapi
sampai harus ada option menikah lagi? Poligami? What The... aduh, nggak banget
deh. Nggak perlu begituan deh menurut saya, nambah kegaringan aja. -___-
Sebenarnya saya
suka dengan ide utama cerita, penyelamatan bumi dari ancaman global warming.
Misi yang terencana (meski eksekusinya kurang mantaap), konflik yang memuncak,
serta unsur-unsur Islami di buku ini, semuanya membuat saya gemes, kecewa
karena sayang banget buku ini masih belum memuaskan saya.
Lalu Ending.
Aaaaa... Endingnya bikin saya gegoleran di kasur buat ndinginin kepala. Masa
iya gitu doank sih endingnya? Nggak selese dengan lengkap. That’s it. Gitu aja.
Dan saya secara
jujur kurang suka dengan tokoh Gia di sini. Gentle sih, tapi nggak spesial.
Well,
saran saya yang utama untuk buku ini kalau-kalau dicetak ulang, singkirkan itu
sebagian besar endorsment. Sisakan sedikit saja. Beri ruang untuk sinopsis,
karena sebuah buku tanpa sinopsis akan jarang dilirik pencinta buku yang sedang
memilih-milih buku di toko dengan ekstra hati-hati karena budgetnya sedikit,
contohnya saya.
Oh, satu lagi. kenapa mbangun lab tersembunyinya di Pulau Jawa? Kenapa ngga di Kalimantan, di sana kan lebih aman secara geologis. Sedang Pulau Jawa kan rawan gempa dan longsor dsb.