Judul Buku : Where She
Went – Setelah Dia Pergi
Penulis : Gayle Forman
Alih Bahasa : Poppy D. Chusfani
Editor : Dini Pandia
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Kedua :
Februari 2012
Tebal : 240
halaman, paperback
ISBN :
978-979-22-7650-3
Suami saya pernah
berkata, bahwa orang-orang yang terlihat garang dari luar, biasanya malah
mencoba menutupi ketidakberdayaan di dalam diri mereka. Hal itu yang saya tangkap juga ada
dalam diri Adam, pacar Mia.. atau lebih tepatnya.. mantan pacar Mia.
Setelah Mia sadar
dari koma, Adam adalah orang yang paling setia menemani Mia menjalani terapi
selama hampir setahun. Sampai suatu hari datang surat penerimaan Mia dari
Juilliard, dan berangkatlah Mia ke sana. Sebentar di sana, Adam sudah merasa
hubungan LDR mereka tidak berjalan lancar sejak Mia mulai menghindari
telepon-telepon dan email yang dikirimkan Adam.
Rasa sayang
Adam terhadap Mia memang sangat besar, sampai ketika ia dicampakkan oleh Mia,
ia mengurung diri di dalam kamar. Memikirkan semua kenangan bersama Mia, rasa
sakit karena pengabaian, dan tentu saja kekhawatiran akan kesembuhan gadis itu.
Syukurlah Adam bukan lelaki yang runtuh dan terpuruk selamanya setelah
ditinggal pacar. Ia mulai menulis lagu-lagu baru untuk bandnya, Shooting Star
yang membuat mereka melejit memuncak di tangga lagu musik.
Singkat
cerita, Adam dan Bandnya menjadi selebritis papan atas, tinggal di L.A
sementara Mia juga melejit di kalangan musikal klasik. Tapi keduanya tidak
pernah berhubungan lagi, berbicara ataupun sekedar pertemuan singkat. Sampai
suatu malam Adam yang sednag berjalan-jalan di jalanan New York mengetahui
kalau Mia ada dalam sebuah konser musik klasik. Tak direncanakan sebelumnya,
Adam membeli karcis pertunjukkan dan masuk menikmati alunan Cello Mia.
Waktu
akhirnya mempertemukan lagi dua orang ini, yang sebelumnya berpisah tanpa kata.
Akankah mereka mampu
menjelaskan bagaimana perasaan mereka satu sama lain, sekarang ini? Apakah
hidup saling mendiamkan itu yang terbaik bagi mereka? Apakah mereka bahagia?
Ah, tentu saja
setelah menamatkan If I Stay, tak lengkap bila saya menunda membaca buku
keduanya. Meskipun banyak yang kurang puas dengan buku kedua, saya putuskan
saya akan bertahan membaca ceritanya (kalau-kalau benar membosankan). Ternyata
buku kedua ini diceritakan dari sudut pandang Adam, kekasih Mia yang seorang
rocker. Alurnya sama cepatnya dengan buku satu, sama maju mundurnya dan
sama-sama membuat frustasi.
Perbedaannya, yang
membuat frustasi bagi saya adalah kelakuan Adam sendiri (siap-siap ditimpuk
Fansnya Adam). Sejak buku pertama saya memang tidak terlalu terkesan dengan
karakter Adam. Memang saya akui Adam sangat menyayangi Mia, dan siapa sih cewek
yang nggak mau dicintai sedemikian besarnya oleh seorang cowok ?
Jelas buat saya
itu adalah kelebihan yang dimiliki Adam, pun meski ia sudah berkali mencoba
wanita lain untuk didekati, tapi tak ada yang mampu menggantikan Mia. Nah, apalagi coba yang kurang? Dia
tampan, dia sayang, dia setia. Perfect.
Harusnya sih
perfect, tapi Si penulis membuat saya gemes banget sama Adam. Sikap rendah
dirinya itu terutama, serta pemikirannya yang nggak jauh-jauh dari perasaan
tertekan dan sakit hati ditinggal Mia. Diceritakan dari sudut pandang Adam
malah membuat saya lelah membayangkannya, yang ada bukannya sedih malah emosinal
pingin teriak teriak ke telinga Adam. Lha kok masih dikenaaang terus. Kalau memang masih berharap Mia memberikan
kejelasan, kenapa juga nggak dateng ke sekolahnya Mia, minta keterangan dan
kalau Mia ngga mau ngasih keterangan, ya udah.. Life must go on. Well,
saya rasa sepertinya cinta terlalu rumit di mata Adam.
Dan ending buku kedua ini.. sudah bisa ditebak. Bahkan sejak
awal cerita di mana saya mulai mencak mencak sama Adam, ternyata semakin
memperjelas ending ceritanya.
-___-“
Jadi.. maafkan saya, tiga bintang saja untuk buku kedua ini..
:)