Slide Show

Juli 02, 2012

Unforgettable


Judul Buku : Unforgettable
Penulis : Winna Efendi
Editor : Rayina
Penerbit  : Gagaas Media
Tebal : 176 halaman, paperback
Cetakan kedua : 2012
ISBN : 979-780-541-7



Manis.

Kalau novel ini boleh saya ungkapkan dalam satu kata, maka kata itu yang keluar.

Unforgettable bercerita tentang sebuah pertemuan antara wanita dan pria di Muse, sebuah lounge dengan desain rumah sederhana yang hangat dan menjadi pelampiasan bagi mereka yang betah sendiri. Seperti dua orang yang tidak saling mengenal itu.

Sang Wanita adalah adik dari pemilik Lounge, dibalik layar laptopnya yang berkedip kedip, wanita ini lebih suka menghabiskan malam di sudut ruang Lounge. Mengamati orang-orang yang singgah, mereka yang berceloteh ria atau sekedar mampir melepas lelah. Sampai ia mulai sering mengamati Sang Lelaki.

Sang Lelaki ini adalah seseorang yang membutuhkan tempat untuk berhenti sejenak dari rutinitas kerja dan hidupnya yang statis. Begitu ia melihat Sang Wanita, ia tahu bahwa ada kesamaan antara mereka.

Berawal dari perbincangan ringan kemudian berlanjut sampai bertukar rahasia mendalam. Seperti itulah yang terjadi dengan dua orang yang awalnya sama sekali tidak mengenal. Dua orang yang buta identitas. Yang mereka miliki adalah penggalan kenangan-kenangan serta mimpi masa depan yang diceritakan bersama.

Diiringi wangi wine dan hangatnya Muse, kisah dua orang ini memiliki kekuatannya sendiri. Akankah mereka bahagia bersama selamanya atau suatu saat yang satu akan meninggalkan yang lainnya? Sebab mereka tak saling meninggalkan nama untuk dikenali atau alamat untuk dicari.

Saya sudah dua kali ini membaca novel dengan ketidak laziman penggunaan tanda baca. Yang pertama adalah The Road oleh Cormac Mc Carthy dan yang kedua adalah Unforgettable ini. Keduanya tidak menggunakan tanda petik dalam percakapan, tetapi di The Road saya masih mampu mengenali yang mana percakapan dan yang mana yang bukan, sebab ada alinea yang menjorok ke dalam jika kalimat itu merupakan percakapan. Sedangkan di Unforgettable, saya rasa ada ketidakkonsistenan bentuk tulisan yang entah disengaja maupun tidak.

Di awal, percakapan Si Wanita dengan Layla (calon kakak iparnya) ditulis dengan huruf miring. Percakapan Si Wanita dengan Si Pria pada halaman 22 ditulis demikian juga, tetapi di halaman 39, perkataan Si Lelaki ditulis tidak dengan huruf miring, tetapi justru penjelasannya yang ditulis miring. Begitu berlanjut sampai akhir, sampai kadang saya bingung apakah cerita ini didongengkan oleh tokoh utama sendiri atau oleh penulis sebagai tuhan dalam cerita?

Belum lagi suasana yang hadir bukanlah suasana rumah kuno seperti di Indonesia, menurut saya lebih cenderung terlalu Eropa, mungkin karena pengaruh Wine ya? Ada banyak Wine yang disebutkan dicerita ini, rasa dan keharumannya yang berbeda memang menggoda. Tapi bagi saya yang belum pernah sama sekali menghidu (ya, saya menemukan kosakata baru di buku ini! Horeee) Wine, agak kesulitan bagaimana harum arbei bercampur vanili atau kayu manis atau sebagainya -__-”.

Lalu klimaks atau konflik cerita. Hanya terjadi di bagian akhir buku yang membuat saya gemas kenapa sedikit sekali porsinya? Ending yang pas-pasan membuat saya mengakhiri buku ini dengan ketidak puasan yang permanen --”.

Tapi yang saya suka adalah gaya bercerita penulis, oke, lebih tepatnya bahasa yang digunakan penulis. Puitis romantis melankolis. Hehehh..

Satu hal yang saya setujui dari Penulis :

Bercerita lepas memang mudah dilakukan di antara dua orang yang sebelumnya belum pernah mengenal. Karena terkadanag Identitas menjadi pembatas bagi sebuah keterbukaan.


Juni 30, 2012

Kalap karena obral?


Karena sedang musim obral buku, saya rasa berbagi cerita tentang ‘kalap’ ini bolehlah saya bagi di blog ini. Ceritanya kemarin sewaktu pulang kuliah, saya duduk di dekat dua ibu-ibu yang sedang bercerita. Dasar sayanya usil, dan memang percakapan mereka juga cukup jelas terdengar, saya ikut menyimak deh..

Ibu I : “kenapa ya Bu, tiap ke Pasar itu kadang malah beli barang-barang yang nggak terlalu penting. Padahal udah bawa daftar, tapi tetep aja belanja yang lain. Apalagi ada diskon, wah kepinginnya itu beli..beli..dan beli…”
Ibu II : “Lhah memangnya dibeli buat apa Bu, kalo nggak ada di daftar?”
Ibu I : “Ya kan mumpung diskon, mumpung murah. Lumayan buat stock. Atau lumayan bajunya bagus, saya belum punya sepatunya, atau apalah. Ada aja pokoknya, Bu.”

Sampai sini saya merasa Si Ibu I itu kok mirip saya ya.. -___-“

Ibu II : “Ya mungkin ibu belum berdoa waktu masuk ke Pasar.”
Ibu I : “Loh, iya ya Bu? Ada doa masuk pasar?”
Ibu II : “Iya Bu.. doanya sederhana kok (lalu Ibu itu membaca doa masuk pasar)”
Ibu I : “Kalau saya berdoa, apa pasti bisa aman dari kalap Bu?”
Ibu II : “Ya nggak ada jaminan nggak kalap, Bu. Tapi kalau Ibu membaca doa itu paling nggak Ibu ingat Allah. Ibu ingat kalau mereka yang ber-mubadzir itu saudaranya syaithan.”

Dan setelah itu senyum saya hilang seketika.

Saya malu karena setiap masuk ke pusat perbelajaan (bukan hanya pasar) saya hampir selalu lupa membaca doa. Mungkin itu sebabnya saya selalu kalap kalau masuk ke Supermarket atau ke toko buku. Sebab itu dana saya di akhir bulan selalu pas-pasan padahal di awal bulan sudah direncanakan betul bagaimana pengeluaran itu seharusnya diatur. Bagaimana seharusnya pas tanpa perlu berhemat-hemat ria di akhir bulan. 

Semuanya tidak hanya karena obral, tapi juga karena buku baru yang tiap bulan selalu muncul. Buku inceran yang membludak, ngalir terus sedangkan rejeki dana yang masuk pas-pasan. Padahal buku pinjeman juga setumpuk. Padahal beberapa buku jg sudah dihibahkan kepada perpustakaan. Tapi tetep saja ada buku yang tertumpuk, tertimbun, yang jika saya amat-amati, saya malah sedih.

Sedih nggak punya waktu cukup buat ngabisin itu buku (padahal bukunya selalu nambah, kerjaan selalu banyak), tapi di lain sisi saya puas. Puas karena saya punya buku inceran saya, dengan harga diskon, menjadi peng-order pertama (padahal kadang buku yg udah berbulan-bulan dibeli juga belum tentu dibaca secepatnya). Puas karena saya punya buku itu. Titik.

Salahkah saya? Duh, kalau begini rasanya mungkin saya perlu mendisiplinkan diri saya sendiri lebih ketat. -___-“

Dan mungkin saran Ibu di perjalanan itu bolehlah dicoba, agar tidak kalap, agar tidak khilaf.
Juni 29, 2012

Bumi Manusia –Terre des Hommes


Judul Buku : Bumi Manusia –Terre des Hommes
Penulis : Antoine De Saint-Exupéry
Penerjemah : Ida Sundari Husen
Editor : Jean-Pascal Elbaz
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Pertama : Desember 2011
Tebal : 224 halaman
ISBN : 978-979-22-7748-7


Sampai saat ini, saya belum pernah naik pesawat terbang. Jadi saya belum pernah merasakan bagaimana rasanya berada di ketinggian yang hampir sejajar dengan awan. Jauh melawan gaya gravitasi bumi dan melayang menikmati langit sejauh mata memandang. Tapi ketika membaca buku ini, saya bahkan bisa merasakan bagaimana rasanya melakukan penerbangan, terutama ketika malam hari saat bintang menjadi latar perjalanan, saat hidup sebenarnya sedang diadu dengan jarak pandangan dan sinar bulan sebagai penerang.

Penulis menceritakan pengalamannya sebagai pilot penerbangan internasional, yang bertugas mengantarkan pos dari Prancis ke Afrika dan Amerika Selatan. Ia memiliki banyak pengalaman dan kenangan yang terjadi sepanjang Gurun Sahara dan melintasi Pegunungan Andes. Menceritakan makna kehidupan dan memanusiakan manusia lewat sepenggal kisah hidupnya yang inspiratif. Melalui pesawat terbang ia dapat mengupas sisi hidup manusia, mengagungkannya dan memaknai bumi sebagaimana indahnya.

Pada tahun 1926, Ia masuk di perusahaan Latécoère sebagai penerbang muda yang melayani jalur Toulouse-Dakar. Semenjak itu karier penerbangannya dimulai, ia berteman dan mengenal para senior di bidang perintisan jalur penerbangan. Dapatkah Anda bayangkan? Di saat teknologi belum semaju sekarang, mereka adalah pembuka jalur antar Negara, menghadapi resiko terdampar di Pegunungan curam dan kelam, ganasnya angin malam dan tak jarang awan hitam yang menutupi pandangan. Penulis juga bercerita tentang beberapa kecelakaan yang pernah terjadi dalam penerbangannya maupun penerbangan teman seperjuangannya. Seperti kisah Jean Mermoz (1901-1936) dan Henri Guillaumet (1902-1940) yang pernah menjadi tawanan Pegunungan Andes namun mereka berhasil survive dari kecelakaan tersebut.

Ia juga bercerita tentang pengalaman kecelakaan pesawat terbangnya sat melintasi Gurun Sahara bersama navigatornya André Prévot, dehidrasi, kelaparan dan suhu yang berubah drastis kala siang dan malam membuat mereka sulit bertahan hidup, terlebih sudah berhari-hari dan bantuan atau regu penolong sama sekali belum kelihatan. Saat membaca kisah ini, saya bersyukur karena tidak tinggal di daerah yang kekeringan, masih bisa menikmati air putih yang bening dan menyegarkan dan tak kesusahan dalam memperolehnya.

Buku yang terdiri dari 9 bab ini membawa kita ke sudut pandang lain manusia dalam melihat Bumi dan alam semesta ciptaan Tuhan. Membuat pembaca merenungkan kembali apa sebenarnya peranan bumi terhadap kita dan bagaimana kita memperlakukan Bumi. Bahasanya yang penuh filosofi dan indah membuat saya ingin menandai setiap halamannya.

Tapi mungkin satu kalimat yang saya suka dan saya anggap mewakili keseluruhan buku ini,
“Memang bagus sekali terbang mengikuti kompas di Spanyol, di atas lautan awan memang anggun sekali, tetapi ingatlah : di bawah lautan itu…. keabadian.”, Halaman 14.

Buku ini telah mendapatkan beberapa macam penghargaan, antara lain Grand Prix du roman de l'Académie française pada tahun 1939, salah satu penghargaan prestisius di bidang literatur Prancis. Memenangkan US National Book Award pada tahun 1940, dan majalah National Geographic Adventure memilih novel ini sebagai No.3 dari 100 buku petualangan-eksplorasi terbaik.
Empat bintang dari saya untuk buku ini .. :)
Sedikit tentang Antoine de Saint- Exupéry

Antoine de Saint- Exupéry lahir di Lyon, Prancis pada 29 Juni 1900. Meskipun ayahnya meninggal pada tahun 1904, ia menjalani masa kecil penuh idealisme bersama saudara laki-laki dan tiga saudara perempuannya. Meski ditentang keluarganya, ia memilih menjadi pilot selama wajib militer dan melakukan penerbangan di Prancis dan Afrika Utara sampai tugasnya usai pada tahun 1923. Merasa tak cocok menjalani kehidupan sipil dan patah hati akibat kegagalan hubungannya dengan wanita, Antoine de Saint- Exupéry kembali ke cinta pertamanya yaitu terbang. Tahun 1926, ia bergabung dengan Latécoère sebagai salah satu penerbang pelopor yang membuka jalur pos menuju koloni-koloni Afrika yang terpencil dan Amerika Selatan menggunakan pesawat primitive dan berbahaya. Setelah pernah diasingkan ke Amerika, ia kembali lagi ke Prancis dan meneruskan kecintaannya lagi dengan dunia penerbangan. Pada 31 Juli 1944 ia terbang ke Borgo di Corsica dan tak pernah kembali. Hampir pasti bahwa ia ditembak jatuh oleh tentara Jerman.



Posting ini saya re-post untuk memeriahkan hari lahir  Antoine de Saint- Exupéryyang jatuh di tanggal ini. 112 tahun yang lalu ia dilahirkan, ia hidup, bercerita dan kisahnya masih abadi sampai sekarang :)

Believe


Judul Buku :  Believe
Penulis : Morra Quatro
Editor : Raylina
Penerbit : Gagasmedia
Cetakan Pertama 2011
Tebal : 212 halaman, paperback
ISBN : 979-780-526-3



Pernah merasa jatuh cinta? Pasti rasanya kaya iklan permen itu, apa namanya?Hmm yang punya tagline berjuta rasanya.
Lalu pernahkah saat jatuh cinta, kamu dipisahkan oleh jarak?
Gimana rasanya? Pasti berat ya kalau harus setia? Atau kamu tipe lainnya, yang selalu setia meski jarak memisahkan?

Tema itu yang diangkat penulis di buku ’Believe’ ini.Tentang Langit yang harus melanjutkan kuliah di Kairo dan harus meninggalkan Layla, kekasihnya di Indonesia. Biru, begitu biasa Langit emanggil gadis itu adalah seorang gadis yang energik, luar biasa setia dan luar biasa pencinta, kalau boleh saya simpulkan. Jarak membuat keduanya harus berusaha benar-benar percaya bahwa kelak hubungan mereka akan lenggang sampe ke jenjang pernikahan, mungkin sampai menjadi aki-aki nini-nini, bahagia. Tapi mampukah bermodalkan ’believe’ cinta mereka dapat awet?

Sebenarnya ada yang saya harapkan lebih ketika menyimak rating buku ini di goodreads. Okelah nggak besar-besar amat, tapi pasti ada ’something’ yang bisa membuat mereka mau memberikan empat atau tiga bintang. Tetapi ternyata saya kecewa. (cieeh..)

Datar.

Itu kesan saya terhadap percintaan Langit dan Biru (dan entah kenapa penulis memilih nama ini, mungkin biar romantis ya?). Okelah mereka berpisah, terus gimana? Bukannya menceritakan kisah mereka, drama percintaan mereka, cinta segitiga atau kalau perlu segiempat kek, lha kok masing masing tokoh utama malah bercerita tentang kisah cinta orang lain?

Saya masih berbaik sangka, bahwa dalam cerita cerita yang diceritakan oleh Langit dan Biru, masing-masing memiliki kekuatan ’believe’ yang jadi judul buku ini. Seperti Egit dan Zie, Wolf dan Rara, Attar dan Rein atau Jendra dan Jasmine, tapi sesungguhnya bagi saya porsi ’believe’ itu pun sedikit. Kebanyakan bercerita tentang pilihan, tentang bagaimana memilih waktu yang tepat, memilih orang yang tepat, dan doa yang tepat untuk kemudian diaminkan dalam bentuk sebuah kepercayaan.

Ada lagi yang lebih parah, tadinya diceritain lewat dua sosok yang bergantian, Langit dan Biru, tapi ternyata di bagian akhir ada kisah cinta Rara yang juga dimasukkan di buku ini. Kesannya dipaksakan, kenapa satu kasus ini tidak diceritakan dari sudut pandang sama dengan cerita cinta lainnya?

Dan endingnya membuat saya menepuk dahi saya sendiri waktu membaca. What? Buku 200an halaman endingnya gini doank? Okelah saya memang tidak bisa menulis novel atau cerpen yang baik, tapi saya sebagai pembaca membutuhkan cerita yang lebih klimaks, yang bikin gregetan waktu dibaca atau yang bikin air mata mengalir tersedu sedu karena kisah cintanya nggak sesuai tebakan saya.

Yang saya suka dari buku ini adalah beberapa kalimat indah yang muncul di beberapa bagian buku, salah satunya :

”Berarti Tuhan kaya. Tidak Pelit. Kita Cuma perlu berusaha.”, Hal. 44

Ya, semoga penulisnya kelak akan menghadirkan satu novel lagi dengan kisah cinta yang lebih baik dan lebih ’dapet’ feelnya daripada ini. :)

Let The Right One In


Judul Buku : Let The Right One In
Penulis : John Ajvide Lindqvist
Alih Bahasa : Tanti Lesmana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Pertama : Januari 2011
Tebal : 684 halaman, paperback
ISBN : 978-979-22-6572-9



Blackeberg adalah sebuah daerah pinggiran biasa yang ketika kejadian di buku ini terjadi, daerah itu telah berusia tiga puluh tahun. Di sebuah apartemen di pinggiran kota, Oskar, anak lelaki berusia 12 tahun tinggal bersama Ibunya. Suatu hari Oskar bertemu dengan anak perempuan yang duduk di tempat bermain di dekat apartemennya. Anak perempuan itu terlihat rapuh tapi juga janggal. Di hawa yang dingin ini, anak perempuan itu hanya mengenakan selembar kaos sweater tipis berwarna merah muda.

Anak perempuan itu bernama Eli dan ia tinggal tepat bersebelahan dengan apartemen Oskar. Karena Oskar adalah anak laki-laki yang sering dijahili oleh teman-temannya, kehadiran Eli terasa pas sebagai seorang teman meski Oskar masih merasa aneh dengan sosok Eli. Seakan-akan Eli terlalu cantik, sikapnya dan sorot matanya tidak pas untuk menjadi seorang anak perempuan biasa. Tapi toh daripada berteman dengan Jimmy, anak lelaki yang selalu menghina dan menganiaya dia, Oskar memilih untuk mulai mengenal Eli.

Sementara itu di Blackeberg sedang terjadi pembunuhan brutal yang terjadi berurutan. Dimulai dari seorang anak kecil yang tergantung di hutan dalam keadaan terbalik, darahnya habis padahal di lokasi kejadian tidak ada genangan darah yang seharusnya ada. Kemudian ada seorang pemabuk yang menghilang selama berhari-hari, teman-temannya mulai mengkhawatirkan Jocke, nama pemabuk itu, tetapi tidak tahu harus mencari ke mana.

Tapi ternyata setinggi-tingginya tupai melompat, suatu waktu ia akan jatuh juga. Si Pembunuh yang telah dicari-cari polisi, akhirnya bisa ditangkap ketika ia gagal melakukan aksinya di sebuah kolam renang umum. Tapi sialnya polisi tidak datang tepat waktu, Si Pembunuh sudah terlebih dahulu menuangkan cairan asam ke wajahnya sehingga proses identifikasi makin sulit. Niatnya mungkin bunuh diri, tetapi bukan itu yang terjadi, lelaki masih hidup bahkan dirawat di rumah sakit karena polisi membutuhkan keterangan tentang pembunuhan-pembunuhan yang telah terjadi.

Hubungan Eli dan Oskar ternyata makin dekat, bahkan Eli makin sering mengunjungi Oskar di apartemennya saat malam.

“Oskar…Boleh aku masuk?”
“Ya-a..”
“Bilang bahwa aku boleh masuk.”
“Kau boleh masuk”. (Hal. 246)

Sampai suatu hari Oskar tahu siapa Eli sebenarnya. Alasan mengapa Eli terlihat begitu rapuh. Alasan mengapa Eli hanya bisa bermain dengannya saat malam tiba dan pergi saat pagi. Seperti Romeo dan Juliet, Eli sering meninggalkan pesan kepada Oskar setelah pagi tiba.

”Aku mesti Pergi dan hidup, atau tetap di sini dan mati. Milikmu, Eli”, - Hal. 277

Vampirekah dia?
Atau hanya seorang manusia yang memiliki penyakit tak lazim?
Lalu apa hubungan antara Eli dan Si Pembunuh berantai yang ada di kota Blackeberg?

Nah, jika kamu penasaran, buku ini menyediakan banyak jalinan rumit sebagai jawabannya.

Terdiri dari empat bagian dengan bab-bab yang merupakan hari di mana peristiwa tersebut terjadi, buku yang telah difilmkan ini memiliki keunikannya sendiri. Selain ide cerita yang tidak biasa, jalan ceritanya juga cukup rumit dan mbulet. Kenapa? Karena ada banyak tokoh yang bermain dalam cerita ini yang sialnya saling berkaitan satu sama lainnya.

Pada awalnya saya sempat kesal karena capek membayangkan siapa si A, siapa Si B, yang mana Steffan yang mana Lacke, tapi kemudian seiring ceirtanya mengalir, tokoh tokoh tersebut tersimpan secara sederhana dalam skema yang bisa diingat. Tadinya sih mau saya buatkan rotasi atau perputaran kejadian dengan peran tokoh dan hubungan antarmereka, tapi nanti jadi spoiler donk ah XD


Meski secara jujur perlu saya ungkapkan juga bahwa buku ini suram dan seram saat dibaca, tapi tak bisa tidak justru hal itu yang membuat saya makin tertarik untuk menyelesaikannya. Eli dan Oskar diceritakan dengan penokohan yang kuat padahal karakteristik mereka berlawanan. Eli yang tampak rapuh sebenarnya memiliki kekuatan yang tak terbayangkan akan dimiliki seorang anak kecil, ia memiliki kendali dalam pengaturan nafsunya, kepolosan yang ia tampilkan menutupi sifat buas yang sebenarnya ada dalam dirinya. Sedangkan Oskar adalah sosok khas anak kecil yang sering menjadi korban bullying teman sekolahnya. Ia memiliki dendam yang jauh tersimpan dalam hatinya namun tak pernah benar-benar berani ia ungkapkan. Perasaan kesal itu hanya ia ceritakan kepada Eli, karena ia menganggap hanya Eli yang mengerti rasanya.

Novel ini pernah difilmkan dua kali, sekali dalam judul yang sama, Let The Right One In, Film Swedia yang diputar tahun 2008 dan mendapat penghargaan Founders Award for Best Narrative Feature dan Best European Fantastic Feature Film. Pada tahun 2010, buku ini difilmkan lagi dalam judul Let Me In, dalam seri Amerika.

Tertarik menonton filmnya? Atau membaca bukunya dulu? Apapun yang membuat Anda tergoda menikmati kisah ini, pesan utamanya adalah..

“Hati-hati mengijinkan seseorang masuk ke dalam rumahmu...”





Salam,

Salam,