Judul Buku : Unforgettable
Penulis : Winna Efendi
Editor : Rayina
Penerbit : Gagaas
Media
Tebal : 176 halaman, paperback
Cetakan kedua : 2012
ISBN : 979-780-541-7
Manis.
Kalau novel ini
boleh saya ungkapkan dalam satu kata, maka kata itu yang keluar.
Unforgettable
bercerita tentang sebuah pertemuan antara wanita dan pria di Muse, sebuah
lounge dengan desain rumah sederhana yang hangat dan menjadi pelampiasan bagi
mereka yang betah sendiri. Seperti dua orang yang tidak saling mengenal itu.
Sang Wanita adalah
adik dari pemilik Lounge, dibalik layar laptopnya yang berkedip kedip, wanita
ini lebih suka menghabiskan malam di sudut ruang Lounge. Mengamati orang-orang
yang singgah, mereka yang berceloteh ria atau sekedar mampir melepas lelah.
Sampai ia mulai sering mengamati Sang Lelaki.
Sang Lelaki ini
adalah seseorang yang membutuhkan tempat untuk berhenti sejenak dari rutinitas
kerja dan hidupnya yang statis. Begitu ia melihat Sang Wanita, ia tahu bahwa ada kesamaan antara mereka.
Berawal dari
perbincangan ringan kemudian berlanjut sampai bertukar rahasia mendalam.
Seperti itulah yang terjadi dengan dua orang yang awalnya sama sekali tidak
mengenal. Dua orang yang buta identitas. Yang mereka miliki adalah penggalan
kenangan-kenangan serta mimpi masa depan yang diceritakan bersama.
Diiringi wangi
wine dan hangatnya Muse, kisah dua orang ini memiliki kekuatannya sendiri. Akankah
mereka bahagia bersama selamanya atau suatu saat yang satu akan meninggalkan
yang lainnya? Sebab mereka tak saling meninggalkan nama untuk dikenali atau
alamat untuk dicari.
Saya sudah dua
kali ini membaca novel dengan ketidak laziman penggunaan tanda baca. Yang
pertama adalah The Road oleh Cormac Mc Carthy dan yang kedua adalah
Unforgettable ini. Keduanya tidak menggunakan tanda petik dalam percakapan,
tetapi di The Road saya masih mampu mengenali yang mana percakapan dan yang
mana yang bukan, sebab ada alinea yang menjorok ke dalam jika kalimat itu
merupakan percakapan. Sedangkan di Unforgettable, saya rasa ada
ketidakkonsistenan bentuk tulisan yang entah disengaja maupun tidak.
Di awal,
percakapan Si Wanita dengan Layla (calon kakak iparnya) ditulis dengan huruf
miring. Percakapan Si Wanita dengan Si Pria pada halaman 22 ditulis demikian
juga, tetapi di halaman 39, perkataan Si Lelaki ditulis tidak dengan huruf
miring, tetapi justru penjelasannya yang ditulis miring. Begitu berlanjut
sampai akhir, sampai kadang saya bingung apakah cerita ini didongengkan oleh
tokoh utama sendiri atau oleh penulis sebagai tuhan dalam cerita?
Belum lagi suasana
yang hadir bukanlah suasana rumah kuno seperti di Indonesia, menurut saya lebih
cenderung terlalu Eropa, mungkin karena pengaruh Wine ya? Ada banyak Wine yang
disebutkan dicerita ini, rasa dan keharumannya yang berbeda memang menggoda.
Tapi bagi saya yang belum pernah sama sekali menghidu (ya, saya menemukan
kosakata baru di buku ini! Horeee) Wine, agak kesulitan bagaimana harum arbei
bercampur vanili atau kayu manis atau sebagainya -__-”.
Lalu klimaks atau
konflik cerita. Hanya terjadi di bagian akhir buku yang membuat saya gemas
kenapa sedikit sekali porsinya? Ending yang pas-pasan membuat saya mengakhiri
buku ini dengan ketidak puasan yang permanen --”.
Tapi yang saya
suka adalah gaya bercerita penulis, oke, lebih tepatnya bahasa yang digunakan
penulis. Puitis romantis melankolis. Hehehh..
Satu hal yang saya
setujui dari Penulis :
Bercerita lepas memang mudah dilakukan di antara dua orang yang sebelumnya belum pernah mengenal. Karena terkadanag Identitas menjadi pembatas bagi sebuah keterbukaan.