Cath adalah seorang wanita yang hidupnya sudah mapan, meskipun dia masih single. Dia toh tidak pernah lagi meributkan kencan, sebab bagi Cath, sahabat-sahabat yang ia miliki, (Josh dan Si) sudah cukup membahagiakan hidupnya. Karirnya di periklanan juga berkembang, sampai Lucy, istri Josh, mengusulkan ide yang sebenarnya sudah lama juga direncanakan Cath. Mereka akan membuat sebuah toko buku plus kafe di dalamnya. Sebuah ide brilian, mengingat kota tempat mereka tinggal belum memiliki padanan kesempurnaan toko seperti itu.
Tapi itu berarti Cath harus berhenti dari kemapanan di pekerjaannya sekarang. Dan, sekalipun harus diakui bahwa masakan Lucy selalu enak, berbisnis dengan seorang sahabat tentu saja beresiko tinggi. Tapi memiliki toko buku sendiri sudah menjadi keinginan terpendam Cath dari dulu. Jadi tentu saja ia mau melakukannya!
Kafe di dalam Toko Buku!! |
Sayangnya, pada pesta pembukaan toko buku plus kafe tersebut, seorang sahabat lama yang sudah sepuluh tahun tidak bertemu, Portia, datang memberikan selamat. Itu adalah kehadiran pertama Portia yang ternyata mulai masuk lagi ke kehidupan persahabatan mereka. Portia pernah memiliki kenangan yang tidak mengenakkan dengan Josh, yang membuat Cath dan Si khawatir apakah peristiwa tidak mengenakkan itu akan terjadi lagi kali ini. Portia memang cantik, kaya, dan menarik, tapi ia bisa terlihat dingin, kaku dan superior di antara orang-orang. Padahal Cath bisa dibilang hampir memuja Portia sebagai sahabat wanita terbaiknya.
“Dia seperti saudara perempuan yang tidak pernah kumiliki.”, Hal. 129
Saya selalu menyukai kisah-kisah persahabatan. Seperti mengenang teman-teman terbaik saya yang selalu bisa saya hubungi kapanpun, dimanapun dan dalam keadaan apapun. Dan anehnya saya seperti merasa cerita dalam buku ini mungkin bisa saja terjadi pada banyak orang di sekitar saya. Tapi ijinkan saya mengkritik sedikit buku ini, sebelum saya mengemukakan apa yang saya suka dari buku ini berikutnya.
Di ringkasan cerita yang ditulis di cover belakang, ada kalimat yang menurut saya mengganjal, “ Bersama Lucy, istri sahabatnya dekatnya Josh…”. Lalu di halaman 195, “Josh menjejalkan beberapa potong cokelat lagi ke wajah Max..”, emm apa maksudnya mungkin menjejalkan ke mulut ya, bukan wajah?
Nah itu sedikit krtitik saya buat editorial, dan pada alur cerita, saya kurang puas tentang sisi Cath yang katanya suka pada buku. Sebab tidak banyak hal yang diutarakan tentang Cath yang katanya punya impian memiliki toko buku sendiri. Dan konflik yang terjadi pada tokoh utama, Cath, tidak sedrastis atau semengejutkan konflik yang terjadi pada sahabat-sahabatnya. Ini membuat saya kemudian berpikir, jangan-jangan Cath itu sebenarnya hanya sebagai pencerita, bukan bermain sebagai bintang utama buku ini? Karakter Cath sepertinya masih didominasi oleh kehadiran tokoh lain dalam cerita. Dan endingnya membuat saya tidak puas setelah menutup lembar terakhirnya. Kurang nggreget. Meski memang tidak bisa saya tebak.
Tapi saya akan memberikan tiga bintang untuk buku ini. Sebab saya menemukan kata-kata motivasi dan pencerahan di sela-sela ceritanya. Dan karena ini tentang tokobuku dan kafe, dua tempat yang selalu saya suka. Siapa sih pencinta buku yang nggak mau punya Toko Buku dan Kafenya sendiri?
Judul Buku : Bookends
Penulis : Jane Green
Penerjemah : Utti Setiawati
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Kedua : Februari 2009
Tebal : 504 halaman, paperback
ISBN : 978-979-22-4099-3