Judul Buku : Dunsa
Penulis : Vinca Callista
Penyunting : Jia Effendie
Penerbit : Atria
Cetakan Pertama : November 2011
ISBN : 978-979-024-492-4
Dunsa adalah sebuah novel fiksi Fantasi dengan penulis orang Indonesia. Sebenarnya sejak awal, kehebohan novel ini terus muncul di antara review teman-teman. Bahkan bintangnya pun cukup tinggi di Goodreads. Alhasil, saya sebagai konsumen novel fantasi ikut mencoba rasa fantasi dalam buku ini.
Dunsa bercerita tentang seorang gadis bernama Merphilia Dunsa. Seperti yang sudah ditulis di covernya, gadis ini harus membunuh Ibu kandungnya yang bernama Ratu Veruna. Alkisah, ketika Phi, panggilan akrab Merphilia, berulang tahun yang ketujuh belas, ia dan Bibinya didatangi oleh seorang Zauberei. Sebuah berita kemudian diterimanya, Phi harus membunuh Ibu kandungnya yang sangat Jahat. Ratu Merah atau Ratu Veruna, atau Mergogo Dunsa adalah seorang wanita yang pernah mencintai Claresta Ardelazam, maharaja yang memimpin negeri Naraniscala. Kecintaan itu sayangnya tidak berjalan dengan baik, karena perbedaan status mereka membuat Mergogo Dunsa ditolak mentah-mentah oleh Ibu dari Claresta. Akhirnya Mergogo tersingkirkan, Claresta terpaksa menikahi Danella, wanita pilihan Ibunya.
Batas antara cinta dan benci itu sangat tipis, karena kemudian Mergogo memberontak terhadap Istana. Claresta bahkan mati ditangannya saat mencoba membujuk wanita yang dicintainya itu untuk tidak membelot terhadap Istana. Perang kemudian terjadi, sampai Mergogo yang kemudian dikenal sebagai Ratu Merah berhasil dibunuh. Sialnya, Jiwa Ratu Merah berhasil disimpan oleh orang kepercayaannya dan kemudian dibangkitkan lagi.
Perang yang terjadi saat Ratu Merah berkuasa disebut Masa Merah, kali ini Naraniscala tidak ingin peristiwa itu terjadi lagi. Ratu Merah harus dimusnahkan, dan menurut penafsiran Zauberei atas kitab Kahrama, hanya dapat dilakukan oleh Merphilia Dunsa.
Phi yang merasa tidak pernah mengenal ibunya, mengiyakan perintah Ratu Alanisador untuk mencari Ratu Merah dan membunuhnya. Tapi cerita Phi tidak hanya tentang membunuh ibunya. Di buku ini juga diceritakan bagaimana kisah cintanya dengan Pangeran Skandar Ardelazam, kakak tirinya. Serta cinta segitiga yang terjadi antara Phi, Skandar dan Putra Mahkota Naraniscala.
Buat pembaca yang suka akan makhluk magis, di buku ini ada banyak makhluk baru yang bisa anda temui, seperti Wyattenakai, Ororoku, Fata dan lainnya. Anda bisa membayangkannya berbekal glosarium yang ada di bagian akhir buku. Masing-masing makhluk dijelaskan dengan rinci. Di bagian awal buku, kita dapat membaca peta dan silsilah Istana Naraniscala. Sayangnya, huruf yang dipakai agak “keriting” dan ukuran yang mungil membuat saya agak susah membacanya.
Kelemahan buku ini juga terlalu banyak judul buku yang disisipkan di dalamnya. Okelah kalau Phi dan Skandar suka membaca, tapi masa iya perlu sedetail itu sampai menulis judul-judul buku yang panjang itu? Kejanggalan lainnya saya rasakan di awal cerita, ketika Bruzila membereskan kamar Phi dan kasurnya yang basah karena hujan menghancurkan langit-langit kamar. Bruzila membereskannya dengan cepat. Padahal kalaupun memanggil tim “bedah rumah”, saya rasa juga tidak akan secepat itu beresnya. Dan anehnya, Phi terima begitu saja, bahkan kecurigaan Phi kalo Bibinya pakai sihir juga terkesan hanya main-main.
Lalu kurangnya peran kerajaan Ciracindiga di dalam cerita, Padahal ketiga negeri lainnya mampu dilibatkan ke dalam jalannya cerita. Kejanggalan lainnya ketika Phi harus masuk ke Lukisan. Awalnya dia tidak mampu menyentuh lukisan tersebut tanpa berhalusinasi bahkan sampai kejang-kejang, tapi kenapa dia bisa masuk tanpa kejang-kejang lagi? Apakah karena pengaruh Wyattenakai, atau karena sudah dijampi jampi dulu begitu? Mungkin penulis bisa lebih mengembangkan bagian ini. Serta saat di mana Phi dirasuki dua jiwa selain jiwanya sendiri. 3 jiwa dalam satu tubuh? Wow, bagi saya terlampau berat untuk dibayangkan.
Tapi selain itu, saya suka adegan perangnya, ketegangan yang ditimbulkan saat membaca dan akhir percintaan Phi yang… emmm.. baca sendiri aja ya… XD
Secara keseluruhan, 3 bintang untuk buku ini. Dua jempol untuk penulisnya, yang mampu membangkitkan kembali fiksi fantasi dalam negeri. :)