Penulis : Ramadhan K. H
Cetakan Pertama : Maret 2011
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal : 432 halaman, Soft cover
ISBN : 978-602-8811-32-3
Ini adalah sejarah, kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno, kisah perjuangan saat masa penjajahan Belanda, ketika penjajahan Jepang, perjuangan Bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.
Sejujurnya, ketika mendengar nama istri Bung Karno, maka yang terlintas di benak saya hanya Ibu Fatmawati, wanita yang menjahit bendera kebangsaan kita untuk dikibarkan pada saat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 silam. Buku ini memberitahu saya, bahwa tersebutlah Ibu Inggit Garnasih, Istri Bung Karno yang menjadi Ibu, kekasih, dan kawan seperjuangan Bung Karno.
Cerita ini diawali ketika Ibu Inggit dan suaminya, Sanusi, menerima Kusno untuk tinggal di rumah mereka di Bandung. Kusno adalah seorang studen, mahasiswa ITB, yang dititipkan oleh H.O.S Tjokroaminoto untuk belajar di Bandung, sedangkan tempat tinggalnya menumpang pada rumah Ibu Inggit dan suami.
Rumah Ibu Inggit di Bandung, sekarang di Jl. Inggit Ganarsih No. 8
Kusno yang demikian dekat dengan Ibu Inggit, akhirnya menyatakan cinta kepada nyonya rumah itu. Cinta itu disambut juga oleh Ibu Inggit, meski saat itu ia masih berstatus sebagai istri dari Sanusi. Suatu ketika, Kang Uci yang telah berbicara dengan Kusno, menyetujui perceraian antara ia dengan Ibu Inggit, dengan ketentuan Ibu Inggit harus jadi menikah dengan Kusno, segera.
“Akang rido. Kalau Eulis menerima lamaran Kusno itu dan kalian berdua nikah.” – Hal. 38
Maka setelah idah, menikahlah Ibu Inggit dengan Sukarno tak peduli dengan perbedaan umur dimana Ibu Inggit jauh lebih tua. Rumah tangga mereka diliputi kehangatan dan saling menolong. Kusno yang masih studi, menjadikan Ibu Inggit tidak bisa menjadikan Kusno sebagai tulang punggung keluarga. Meskipun begitu, Ibu Inggit ikhlas memenuhi kebutuhan rumah tangga dari usahanya sendiri. Yang ada di pikirannya saat itu hanyalah satu : Kusno harus cepat menyelesaikan sekolahnya. Mesti jadi Insinyur!!
”Aku memberikan cinta, kehangatan, hormat, ketulusan. Aku tenggelamkan diriku pribadi, Aku hilangkan kepentinganku sendiri. ” – Hal. 46
Surat nikah Bung Karno dan Ibu Inggit
Jelas Ibu Inggit mencintai Kusno, mendorong dan memujanya. Ibu Inggit benar menjadi kawan yang menguatkan Kusno, menemani dan mendorongnya dalam politik, dan selalu mengingatkannya untuk benar studi dan menyelesaikan kuliahnya dengan segera.
Suatu hari, Ibu Inggit dan Kusno merawat bayi kemenakan Ibu Inggit. Orang tua bayi itu setuju, dan Kusno terlihat senang sekali. Bayi itu diberi nama Ratna Djuami oleh Kusno, dengan panggilan kesayangan Omi.
Sebagai seorang penggerak politik, Kusno tentu tak lepas dari jeratan bui. Ketika mengadakan perjalanan ke Yogyakarta, ia ditahan bersama beberapa orang lainnya oleh tentara Belanda, lalu dikirim ke penjara di Bandung, di bui Banceuy. Ibu Inggit setiap hari selalu mengunjungi penjara, mencari tahu keadaan suaminya, membawakan makanan kesukaannya, membawakan koran, dan menguatkan diri untuk bertahan hidup di tengah kondisi pelik seperti itu. Sebulan lamanya Ibu Inggit terus berusaha dan akhirnya diberi kesempatan untuk bertatap langsung dengan suaminya yang masih berstatus tahanan itu. Keputusan peradilan yang belum juga dijatuhkan, jauhnya dari kehidupan sehari-hari yang biasanya penuh dengan diskusi, orasi di sana- sini dan keadaan penjara yang tak nyaman membuat Kusno mulai kecil hati. Saat itulah, Ibu Inggit terus menguatkan Kusno, kesayangannya, untuk terus berjuang, pantang luntur semangat.
29 Desember 1931, akhirnya Bung Karno dibebaskan. Setelah proses peradilan yang tak adil, kurungan 2 tahun di bui, dipindahkan ke penjara Sukamiskin yang lebih jauh dari kota, akhirnya Ibu Inggit bisa bernapas sedikit lega karena bisa bersatu lagi dengan kekasihnya.
Hari-hari berikutnya diisi dengan perbincangan politik, rapat di sana-sini dan seringnya Ibu Inggit dan Omi juga ikut menemani Kusno ke mana-mana. Hingga suatu hari, Kusno dijebloskan lagi ke dalam bui. Pemerintah Belanda telah memutuskan bahwa Soekarno akan dibuang ke Ende, Flores.
Rumah Tahanan Bung Karno di Jl. Perwira, Ende.
”Jangankan ke pembuangan, sekalipun ke dasar lautan aku pasti ikut. Kus jangan waswas mengenai itu. Jangan ragu akan kesetiaanku” – Hal. 265
Maka ikutlah Ibu Inggit dan Omi menemani Bapaknya ke Ende, pulau kecil yang terasing dan jauh dari Pulau Jawa. Di sana mereka mengangkat seorang anak lagi yang bernama Kartika. Utamanya sebagai teman main Omi yang jauh dari teman-teman sebayanya. Pemerintah setelah beberap lamanya akhirnya memutuskan pembuangan Bung Karno ke Bengkulu. Maka ikut sertalah mereka semua pindah ke Bengkulu. Kelak di Bengkulu ini perseturuan rumah tangga Ibu Inggit dan Kusno dimulai, dengan hadirnya wanita baru dalam hidup mereka, Fatmah atau yang biasa kita kenal dengan Fatmawati.
Rumah Tahanan Bung Karno di Bengkulu, sekarang di Jl. Soekarno Hatta, Bengkulu
Kesetiaan Ibu Inggit mendampingi Bung Karno di masa awal perjuangannya menjadikan saya salut akan keteguhan dan kesetiaannya. Seorang wanita yang mampu berperan menjadi Ibu, Kekasih dan Kawan di saat kapanpun dibutuhkan. Terlebih ia mandiri secara ekonomi, tidak bergantung kepada pemberian suami. Sebuah buku yang menggugah dan memperingatkan saya sebagai wanita, sebagai suami dan sebagai seorang Ibu...