Slide Show

Tampilkan postingan dengan label Tinta Publisher. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tinta Publisher. Tampilkan semua postingan
Desember 28, 2012

Lost Butterfly – Dilema Cinta Mantan Pria




Judul Buku : Lost Butterfly – Dilema Cinta Mantan Pria
Penulis : Yandasadra
Penyunting : Mushadiq Ali, Hasan Albana, Esha Rachman Yudhi
Penerbit : Tinta Publisher
Cetakan Pertama : Januari 2011
Tebal : 330 halaman, paperback
ISBN : 978-602-97765-0-8

Fenomena LGBT (Lesbi, Gay, Biseksual, Transgender) merupakan hal yang masih ‘sensitif’ untuk diceritakan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu ketika beberapa teman mengajak untuk posting bareng review buku bertema LGBT, saya sempat khawatir bakal susah menemukan buku yang mengambil tema serupa, tapi ternyata lhah di timbunan saya nyelip satu buku yang sejak lama belum sempat saya baca, yaitu buku ini, Lost Butterfly.

Dr. Arman Wiranata adalah seorang dosen muda di bidang filsafat di sebuah universitas di Jakarta. Suatu hari di bandara Kuala Lumpur ia bertemu dengan seorang wanita yang menjadikan pertemuan itu membekas di ingatannya. Seorang wanita yang cantik namun sederhana, namun sayang saat itu Si Wanita begitu terburu-buru sehingga Arman tidak dapat berbincang-bincang dengannya. Yah, sampai mereka akhirnya bertemu lagi berkali-kali.

Wanita itu bernama Maria, Fitriyana Maria Lucci lengkapnya, ia membantu Rektor di kampus Arman untuk mendekorasi ulang rumah Pak Rektor tersebut. Semenjak itu Arman mulai sering berjumpa dengan Maria, bahkan sempat mengantarkan tas Maria yang ketinggalan ke rumah kontrakan Maria dan mengobrol dengan ibu kontrakannya. Anehnya meski Maria seringkali bertemu Arman, ada kesan kalau wanita itu selalu menghindar dari Arman. Pembicaraan mereka hanya sebentar-sebentar, pun terkadang hanya sekadar menyapa saja. Arman tentu saja makin penasaran dengan wanita tersebut, apa hal gerangan yang membuat Maria seakan menghindarinya?

Di sisi lain juga diceritakan kehidupan Maria yang ternyata adalah seorang transgender, ia mengidap ambigous genitalia tetapi kejiwaannya lebih mendekati wanita daripada menjadi pria, karena itu ia memilih melakukan operasi transgender agar jiwanya lebih tenang. Tapi ternyata keluarga besar Maria menolak mentah-mentah apa yang menjadi pilihannya, sehingga ia terusir dari rumah. Orang-orang yang kemudian dekat dengan Maria adalah orang-orang dari kalangan LGBT yang merasa senasib sepenanggungan dengan Maria.

Sebenarnya Maria ingin sekali memberitahu Arman, tetapi di lain pihak ia juga merasa takut dikecewakan lelaki yang ternyata juga disukainya tersebut. Apa jadinya kalau Arman tahu bahwa Maria adalah seorang transgender? Sanggupkah Maria berterus terang, atau akankah Arman yang mencari tahu tentang kebenaran kisah Maria?

Membaca novel ini membuka wawasan saya tentang transgender utamanya dalam hukum Islam, karena Universitas tempat Arman bekerja sepertinya merupakan universitas dengan basic Islam. Perihal Transgender dikulik habis di buku ini terutama dari sisi Arman, bagaimana penulis menyampaikan pendapat-pendapatnya dari sudut pandang Arman sebagai tokoh utama.

Menurut novel ini, seseorang yang menderita ambigous genitalia dibolehkan untuk melakukan operasi transgender, tentunya dengan pertimbangan para Ahli baik di bidang psikologis ataupun dari kesehatan. Dengan demikian mereka yang menentukan pilihannya dengan memilih menjadi pria atau wanita adalah mereka yang tidak menyalahi sunatullah, karena dengan tegas memilih salah satunya. Namun mereka yang ‘berpura-pura’ menjadi lawan jenisnya hanya untuk mencari uang atau pemenuhan nafsu belaka, padahal sebenarnya mereka memiliki status yang jelas, mereka adalah orang-orang yang baru bisa disebut menyalahkan kodrat atau sunatullah.

Tokoh Arman di buku ini menurut saya terlalu super, ia tampan, mapan dan pandangannya jauh luas terbuka, dan sangat mendominasi dialog-dialog dalam bacaan. Sedangkan tokoh Maria juga diceritakan dengan karakter yang labil, kadang terkesan kuat tapi juga lemah. Terlebih lagi bahasa yang digunakan di beberapa bab membuat saya pinginnya skip-skip-skip, meski bahasannya si Arman ini terkesan jago, tapi saya tidak merasa ia sedang berbagi cerita, yang saya rasakan malah sedang diajari oleh Pak Dosen beneran kepada mahasiswanya, padahal tidak semua dialog antara Arman dengan muridnya.

Untuk typo masih cukup bertebaran, salah penempatan tanda koma atau huruf yang kurang pada kata. Bahasa yang digunakan kadang masih terlalu mendayu-dayu, majas yang hiperbola, boros kalimat, serta dialog yang terkesan kaku juga masih sering ditemukan di buku ini.

Tapi toh membaca buku ini memberi saya beberapa pengetahuan lainnya tentang transgender, seperti kata Farid Gaban seorang wartawan senior,


“Dengan cara sederhana tapi provokatif, Lost Butterfly mengajukan pertanyaan filosofis : Apakah agama hanya bisa dinikmati oleh manusia normal, dan sebaliknya hanya menjadi siksa bagi mereka yang terlahir berbeda; mereka yang, misalnya, terdorong memiliki jenis kelamin lain? Apakah Tuhan Sang Maha Sutradara membenarkan diskriminasi dan pengucilan atas nama penafsiran agama yang seringkali terlalu terburu-buru dianggap absolut?”

Salam,

Salam,