Judul Buku : Lost Butterfly – Dilema Cinta
Mantan Pria
Penulis : Yandasadra
Penyunting : Mushadiq Ali, Hasan Albana, Esha
Rachman Yudhi
Penerbit : Tinta Publisher
Cetakan Pertama : Januari 2011
Tebal : 330 halaman, paperback
ISBN : 978-602-97765-0-8
Fenomena LGBT (Lesbi, Gay, Biseksual,
Transgender) merupakan hal yang masih ‘sensitif’ untuk diceritakan dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu ketika beberapa teman mengajak untuk
posting bareng review buku bertema LGBT, saya sempat khawatir bakal susah menemukan
buku yang mengambil tema serupa, tapi ternyata lhah di timbunan saya nyelip
satu buku yang sejak lama belum sempat saya baca, yaitu buku ini, Lost
Butterfly.
Dr. Arman Wiranata adalah seorang dosen muda di
bidang filsafat di sebuah universitas di Jakarta. Suatu hari di bandara Kuala
Lumpur ia bertemu dengan seorang wanita yang menjadikan pertemuan itu membekas
di ingatannya. Seorang wanita yang cantik namun sederhana, namun sayang saat
itu Si Wanita begitu terburu-buru sehingga Arman tidak dapat berbincang-bincang
dengannya. Yah, sampai mereka akhirnya bertemu lagi berkali-kali.
Wanita itu bernama Maria, Fitriyana Maria Lucci
lengkapnya, ia membantu Rektor di kampus Arman untuk mendekorasi ulang rumah
Pak Rektor tersebut. Semenjak itu Arman mulai sering berjumpa dengan Maria,
bahkan sempat mengantarkan tas Maria yang ketinggalan ke rumah kontrakan Maria
dan mengobrol dengan ibu kontrakannya. Anehnya meski Maria seringkali bertemu
Arman, ada kesan kalau wanita itu selalu menghindar dari Arman. Pembicaraan
mereka hanya sebentar-sebentar, pun terkadang hanya sekadar menyapa saja. Arman
tentu saja makin penasaran dengan wanita tersebut, apa hal gerangan yang
membuat Maria seakan menghindarinya?
Di sisi lain juga diceritakan kehidupan Maria
yang ternyata adalah seorang transgender, ia mengidap ambigous genitalia tetapi
kejiwaannya lebih mendekati wanita daripada menjadi pria, karena itu ia memilih
melakukan operasi transgender agar jiwanya lebih tenang. Tapi ternyata keluarga
besar Maria menolak mentah-mentah apa yang menjadi pilihannya, sehingga ia
terusir dari rumah. Orang-orang yang kemudian dekat dengan Maria adalah
orang-orang dari kalangan LGBT yang merasa senasib sepenanggungan dengan Maria.
Sebenarnya Maria ingin sekali memberitahu
Arman, tetapi di lain pihak ia juga merasa takut dikecewakan lelaki yang
ternyata juga disukainya tersebut. Apa jadinya kalau Arman tahu bahwa Maria
adalah seorang transgender? Sanggupkah Maria berterus terang, atau akankah
Arman yang mencari tahu tentang kebenaran kisah Maria?
Membaca novel ini membuka wawasan saya tentang
transgender utamanya dalam hukum Islam, karena Universitas tempat Arman bekerja
sepertinya merupakan universitas dengan basic Islam. Perihal Transgender
dikulik habis di buku ini terutama dari sisi Arman, bagaimana penulis
menyampaikan pendapat-pendapatnya dari sudut pandang Arman sebagai tokoh utama.
Menurut novel ini, seseorang yang menderita
ambigous genitalia dibolehkan untuk melakukan operasi transgender, tentunya
dengan pertimbangan para Ahli baik di bidang psikologis ataupun dari kesehatan.
Dengan demikian mereka yang menentukan pilihannya dengan memilih menjadi pria
atau wanita adalah mereka yang tidak menyalahi sunatullah, karena dengan tegas
memilih salah satunya. Namun mereka yang ‘berpura-pura’ menjadi lawan jenisnya
hanya untuk mencari uang atau pemenuhan nafsu belaka, padahal sebenarnya mereka
memiliki status yang jelas, mereka adalah orang-orang yang baru bisa disebut
menyalahkan kodrat atau sunatullah.
Tokoh Arman di buku ini menurut saya terlalu
super, ia tampan, mapan dan pandangannya jauh luas terbuka, dan sangat
mendominasi dialog-dialog dalam bacaan. Sedangkan tokoh Maria juga diceritakan
dengan karakter yang labil, kadang terkesan kuat tapi juga lemah. Terlebih lagi
bahasa yang digunakan di beberapa bab membuat saya pinginnya skip-skip-skip,
meski bahasannya si Arman ini terkesan jago, tapi saya tidak merasa ia sedang
berbagi cerita, yang saya rasakan malah sedang diajari oleh Pak Dosen beneran
kepada mahasiswanya, padahal tidak semua dialog antara Arman dengan muridnya.
Untuk typo masih cukup bertebaran, salah
penempatan tanda koma atau huruf yang kurang pada kata. Bahasa yang digunakan
kadang masih terlalu mendayu-dayu, majas yang hiperbola, boros kalimat, serta
dialog yang terkesan kaku juga masih sering ditemukan di buku ini.
Tapi toh membaca buku ini memberi saya beberapa
pengetahuan lainnya tentang transgender, seperti kata Farid Gaban seorang
wartawan senior,
“Dengan cara sederhana tapi provokatif, Lost Butterfly mengajukan pertanyaan filosofis : Apakah agama hanya bisa dinikmati oleh manusia normal, dan sebaliknya hanya menjadi siksa bagi mereka yang terlahir berbeda; mereka yang, misalnya, terdorong memiliki jenis kelamin lain? Apakah Tuhan Sang Maha Sutradara membenarkan diskriminasi dan pengucilan atas nama penafsiran agama yang seringkali terlalu terburu-buru dianggap absolut?”