Slide Show

Tampilkan postingan dengan label C Publishing. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label C Publishing. Tampilkan semua postingan
Februari 28, 2013

The Pianist




Judul : The Pianist
Penulis : Wladyslaw Szpilman
Penerjemah : Agung Prihantoro
Penerbit :  C Publishing (Bentang Pustaka)
Tebal : 354 halaman, paperback
Cetakan Pertama : Maret 2005
ISBN : 979-3062-46-0

Polandia adalah salah satu Negara yang diserang Jerman dalam Perang Dunia II. Di Negara ini, tentara Jerman tak hanya menguasai wilayah Polandia, tetapi juga melakukan diskriminasi terhadap Kaum Yahudi. Szpilman dan keluarganya adalah salah satu dari korban kezaliman Jerman waktu itu. Semenjak tentara Jerman datang, Kaum Yahudi ditempatkan dalam ghetto, sebuah daerah yang khusus menjadi wilayah pemukiman orang-orang Yahudi. Mereka juga diharuskan mengenakan ban lengan bergambar bintang David, sehingga jika berada di luar ghetto, mereka amat mudah dikenali.


“Akan tetapi, jalan-jalan di dalam area ghetto berujung di tembok-tembok.”- Hal. 95


Szpilman dan orang-orang Yahudi lainnya merasa bahwa berada di dalam ghetto jauh lebih buruk daripada berada di dalam penjara. Di ghetto, mereka memang masih dapat bercengkerama dan hidup bertetangga, tetapi terkadang tentara Jerman menyiksa mereka dengan memberikan teror, terutama penculikan dan pembunuhan yang seenaknya.

Szpilman dan keluarganya (ayah, ibu dan kakak adiknya) merupakan orang-orang yang optimis bahwa tentara Jerman akan segera kalah dalam perang. Namun suatu hari, rumor beredar tentang Tentara Jerman yang akan membantai orang-orang Yahudi dalam jumlah besar, mereka dibawa ke suatu tempat dan ditembak mati. Itulah yang kemudian terjadi pada orang-orang di ghetto tempat tinggal Szpilman, semua orang dipindahkan ke gudang yang luas (dikenal dengan Umschlagplatz) lalu satu demi satu dipaksa masuk ke dalam kereta barang. Szpilman lolos dari peristiwa tersebut, ia dapat melarikan diri tetapi tidak demikian dengan keluarganya.



Segera, ia tahu bahwa keluarganya telah meninggal, demikian pula dengan orang-orang yang selama ini ia kenal di lingkungannya. Semenjak itu, Szpilman merasakan teror tentara Jerman seorang diri. Meski demikian, kebebasan yang ia dapat tidak ia sia-siakan, Ia bekerja merubuhkan dinding-dinding ghetto yang tak terpakai, bertransaksi makanan dari luar ke dalam ghetto, berkomunikasi diam-diam dengan para pemberontak Polandia, bahkan menyelundupkan senjata untuk mereka.

Ia berpindah tempat persembunyian berkali-kali, kelaparan, dibohongi, terancam mati, tapi insting dan nasib membuatnya menjadi salah satu korban yang selamat sampai tentara Jerman pergi dari Warsawa.

Buku ini mengisahkan pengalaman Szpilman secara personal, bagaimana perasaannya, ketakutan dan rasa berserahnya selama teror Jerman di Polandia. Tekad yang kuat untuk hidup, membuat Szpilman lolos dari tentara Jerman berkali-kali. Tetapi buku ini tak hanya menceritakan tentang kekejaman tentara Jerman kebanyakan, ia juga menceritakan pertemuannya dengan seorang tentara Jerman yang berwelas asih, bahkan mengutuk perbuatan kejam yang dilakukan tentara Jerman terhadap Yahudi, terhadap perang itu sendiri.

Awal membaca saya khawatir tidak dapat menyelesaikan buku ini sampai tamat, maklum saya bukan orang yang betah membaca kisah nonfiksi. Tapi di sisi lain saya juga penasaran bagaimana Szpilman bertahan dalam kondisi yang sangat terbatas tersebut?

Membaca buku ini membuat saya yakin bahwa dalam setiap kesulitan apapun, jika kita terus berusaha, maka akan ada jalan keluar yang kita dapatkan melalui cara yang mungkin tidak disangka-disangka.

Jews loading onto trains at the Umschlagplatz (Sumber)
Adegan yang paling membuat saya trenyuh dan memotivasi saya menyelesaikan bacaan saya kali ini adalah ketika Szpilman tidak sengaja lolos dari barisan orang-orang yang akan naik kereta untuk dibunuh secara massal. Ketika itu ia berusaha kembali ke barisan dan bergabung dengan keluarganya, tetapi ketika Ayahnya memandang dia, segaris senyum dilemparkan kepada anak lelakinya itu. 


”Dia berusaha tersenyum sedih dan putus asa, mengangkat dan melambaikan tangannya sebagai salam perpisahan, seakan nyawaku sedang dicabut dan dia, bahkan telah memberi salam dari luar kuburnya.”- Hal. 166




Tidak ada yang lebih memilukan dari perpisahan dengan keluarga kita sendiri, bukan? Apalagi mengetahui bahwa rang-orang yang lekat di hati itu akan dieksekusi mati bukan karena mereka melakukan kesalahan, tetapi karena mereka dianggap tidak sederajat dengan manusia lainnya. Prinsip Hitler dan pasukannya adalah bahwa semua manusia tidak setara, terutama Yahudi, sehingga layak diperlakukan secara tidak manusiawi.

Mengutip sedikit dari keterangan di akhir buku, 


  • Buku ini diterbitkan pertama kali pada 1946 di Polandia, tetapi langsung ditarik dari peredaran oleh penguasa Polandia yang merupakan kaki tangan Stalin. 
  • Dari seluruh tiga setengah juta orang Yahudi yang pernah hidup di Polandia, dua ratus empat puluh ribu bertahan hidup selama kekuasaan Nazi. Sekitar tiga sampai empat ratus ribu orang Polandia berani mengambil risiko untuk melindungi dan menyelamatkan orang-orang Yahudi.
  • Hanya sedikit yang tahu bahwa pada saat yang sama tak ada bangsa lain, kecuali Polandia, yang menyembunyikan begitu banyak orang Yahudi dari kejaran Nazi. Padahal apabila Anda di Prancis menyembunyikan seorang Yahudi, Anda akan dipenjara atau dikirim ke kamp konsentrasi, di Jerman Anda akan dihukum mati, tetapi di Polandia seluruh keluarga Anda akan dihukum mati.


WÅ‚adysÅ‚aw Szpilman meninggal di Warsawa, pada 6 Juli 2000. Kisah ’The Pianist’ ini telah difilmkan pada tahun 2002 dan mendapatkan Nominasi untuk berbagai penghargaan, salah satunya ’Academy Award for Best Picture’. The Pianist juga memenangkan penghargaan AA untuk kategori Best Actor dan Best Director, yang menjadikan film ini layak menjadi salah satu film yang masuk ke daftar ’wajib ditonton’.

(Postingan ini dalam rangka Posting bareng BBI Bulan Februari dengan tema ’Buku-buku yang diadaptasi ke layar lebar dan masuk nominasi atau menang Oscar’)

Salam,

Salam,