Karena sedang musim obral buku, saya rasa berbagi cerita
tentang ‘kalap’ ini bolehlah saya bagi di blog ini. Ceritanya kemarin sewaktu
pulang kuliah, saya duduk di dekat dua ibu-ibu yang sedang bercerita. Dasar
sayanya usil, dan memang percakapan mereka juga cukup jelas terdengar, saya
ikut menyimak deh..
Ibu I : “kenapa ya Bu, tiap ke Pasar itu kadang malah beli
barang-barang yang nggak terlalu penting. Padahal udah bawa daftar, tapi tetep
aja belanja yang lain. Apalagi ada diskon, wah kepinginnya itu beli..beli..dan
beli…”
Ibu II : “Lhah memangnya dibeli buat apa Bu, kalo nggak ada
di daftar?”
Ibu I : “Ya kan
mumpung diskon, mumpung murah. Lumayan buat stock. Atau lumayan bajunya bagus,
saya belum punya sepatunya, atau apalah. Ada
aja pokoknya, Bu.”
Sampai sini saya merasa Si Ibu I itu kok mirip saya ya.. -___-“
Ibu II : “Ya mungkin ibu belum berdoa waktu masuk ke Pasar.”
Ibu I : “Loh, iya ya Bu? Ada doa masuk pasar?”
Ibu II : “Iya Bu.. doanya sederhana kok (lalu Ibu itu membaca
doa masuk pasar)”
Ibu I : “Kalau saya berdoa, apa pasti bisa aman dari kalap
Bu?”
Ibu II : “Ya nggak ada jaminan nggak kalap, Bu. Tapi kalau
Ibu membaca doa itu paling nggak Ibu ingat Allah. Ibu ingat kalau mereka yang
ber-mubadzir itu saudaranya syaithan.”
Dan setelah itu senyum saya hilang seketika.
Saya malu karena setiap masuk ke pusat perbelajaan (bukan
hanya pasar) saya hampir selalu lupa membaca doa. Mungkin itu sebabnya saya
selalu kalap kalau masuk ke Supermarket atau ke toko buku. Sebab itu dana saya
di akhir bulan selalu pas-pasan padahal di awal bulan sudah direncanakan betul
bagaimana pengeluaran itu seharusnya diatur. Bagaimana seharusnya pas tanpa
perlu berhemat-hemat ria di akhir bulan.
Semuanya tidak hanya karena obral,
tapi juga karena buku baru yang tiap bulan selalu muncul. Buku inceran yang
membludak, ngalir terus sedangkan rejeki dana yang masuk pas-pasan. Padahal
buku pinjeman juga setumpuk. Padahal beberapa buku jg sudah dihibahkan kepada
perpustakaan. Tapi tetep saja ada buku yang tertumpuk, tertimbun, yang jika
saya amat-amati, saya malah sedih.
Sedih nggak punya waktu cukup buat ngabisin itu buku (padahal
bukunya selalu nambah, kerjaan selalu banyak), tapi di lain sisi saya puas.
Puas karena saya punya buku inceran saya, dengan harga diskon, menjadi
peng-order pertama (padahal kadang buku yg udah berbulan-bulan dibeli juga
belum tentu dibaca secepatnya). Puas karena saya punya buku itu. Titik.
Salahkah saya? Duh, kalau begini rasanya mungkin saya perlu
mendisiplinkan diri saya sendiri lebih ketat. -___-“
Dan mungkin saran Ibu di perjalanan itu bolehlah dicoba, agar
tidak kalap, agar tidak khilaf.