Judul Buku : Delirium (Delirium #1)
Penulis : Lauren Oliver
Penerjemah : Vici Alfanani Purnomo
Penerbit : Mizan Fantasi
Cetakan Pertama : Desember 2011
ISBN : 978-979-433-646-5
Kenapa Orang yang merasakan cinta disebut : jatuh cinta?
Mari saya bantu menjawab. Disebut jatuh, karena merasakan cinta itu berarti merasakan sakit. Dengan kata lain, layak donk kalau cinta disebut sebagai penyakit?
Nah, di buku ini diceritakan pada suatu masa ketika pada usia 18 tahun, orang-orang diwajibkan mendapatkan penawar akan sebuah penyakit bernama amor deliria nervosa, nama lain dari cinta. Jadi bayangkan sebuah kehidupan yang begitu teratur tetapi tanpa cinta di dalamnya! Menyedihkan? Well, bagi mereka yang hidup di masa itu, penawar tersebut adalah sebuah kebutuhan yang selalu diidam-idamkan bagi mereka yang belum mendapatkannya. Termasuk bagi Lena Haloway, yang masih harus menunggu sembilan puluh lima hari lagi untuk dapat ‘disembuhkan’.
Sejarah keluarga Lena tidak begitu menyenangkan untuk diceritakan. Ibunya bunuh diri karena sakit ‘cinta’nya terlalu parah, dan bibinya meninggal karena suaminya dicurigai merupakan seorang Simpatisan, yaitu orang-orang yang masih menganggap cinta itu bukanlah sebuah penyakit yang begitu menakutkan. Inilah yang membuat Lena sedemikian besar berharap bahwa setelah ia lulus evaluasi, disembuhkan dan segera dipasangkan, ia akan dapat hidup normal tanpa harus mendapat pandangan iba dan jijik dari orang-orang. Ia ingin membuktikan bahwa penyakit cinta tersebut bukan hasil keturunan, bahwa ia akan mengembalikan nama baik keluarganya yang sebelumnya telah tercoreng. Pada intinya, ia hanya ingin membebaskan dirinya.
Sayangnya, perkenalan Lena dengan Alex Sheates membuat semuanya berubah. Bersama Alex, Lena melanggar banyak peraturan dan mengetahui apa makna sebenarnya dari kebebasan. Mereka bahkan melewati perbatasan untuk pergi ke ‘Alam Liar’, di mana akhirnya Lena mengetahui bahwa selama ini orang-orang telah dibodohi dan dikekang oleh peraturan-peraturan atas alasan yang tidak tepat. Namun masalahnya, waktu masih mengalir dengan cepat dan Lena masih harus bersiap dengan proses penyembuhannya. Ia harus memilih akankah hidup dengan pilihan ‘kebebasan’ yang diberikan pemerintah, atau ‘kebebasan’ yang ia rasakan ketika ia bersama Alex?
Di awal cerita, saya agak bosan dengan penokohan Lena yang terlalu ‘kelam’ dan alur cerita yang agak lambat. Pertemuan pertamanya dengan Alex juga tidak serta merta membuat cerita ini menjadi menarik. Tetapi semakin lama, penulis semakin terampil dalam menceritakan suasana cinta yang tumbuh di antara mereka berdua. Di latari tempat-tempat romantis dan pertemuan diam-diam demi menghindar dari para Regulator, membuat pembaca turut tegang tapi juga berbunga-bunga.
Di antara semua kisah yang saya baca di buku ini, saya paling suka ketika penulis menceritakan masa kecil Lena yang tumbuh dengan seorang Ibu yang benar-benar mencintainya.
“Aku mencintaimu. Ingat. Mereka Tidak bisa mengambilnya.”
Padahal saat itu tidak ada orangtua lain yang bersikap begitu sayang terhadap anaknya, seperti kasih sayang Ibunya Lena terhadap Lena dan Rachel, kakak Lena. Mereka bernyanyi (padahal musik adalah suatu hal yang diatur ketentuannya oleh undang-undang, jadi tidak boleh sembarang musik bisa didengarkan dengan legal), bermain kejar-kejaran di rumah, pesta piyama, tertawa-tawa, dan semuanya dilakukan secara rahasia, dengan pintu dan sela-sela jendela yang tertutup rapat, agar tidak ada yang tahu apa yang sedang terjadi di rumah mereka.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika seorang anak hidup tanpa diberikan cinta sejak kecil. Itu yang sebenarnya saya suka dari kisah di buku ini. Meski mungkin itu hanya kisah sampingan dari kisah utama yang terjadi dalam diri Lena, saya tersentuh dan menitikkan air mata ketika tahu berkali-kali Ibunya menyatakan betapa ia sangat mencintai Lena. Cinta adalah hal yang sudah pasti akan dirasakan manusia, tidak terbatas terhadap pasangannya, tetapi juga terhadap keluarga dan orang-orang terdekat kita.
Delirium adalah buku pertama dari sebuah Trilogi dengan buku keduanya, Pandemonium, yang dikabarkan terbit di tahun 2012 ini. Dari segi kesehatan, delirium sendiri sebenarnya adalah suatu sindrom dengan gejala pokok adanya gangguan kedasaran yang biasanya tampak dalam bentuk hambatan pada fungsi kognitif, Penderita gangguan mental ini biasanya menunjukan tanda-tanda seperti, rasa mengantuk, pemahaman keliru tentang waktu, ruang dan orang, tidak punya orientasi (sumber : health.detik).
Sayangnyaaaa.. sewaktu membaca buku ini, saya terbayangi cerita
Uglies (2005, Scott Westerfeld) yang dulu pernah saya baca. Tokoh utamanya sama-sama seorang gadis remaja yang menantikan ‘penyembuhan’. Bedanya kalau di Uglies, orang-orang di sana disembuhkan dari buruk rupa, sedangkan di Delirium, orang-orangnya disembuhkan dari penyakit cinta. Si Pria juga berasal dari orang-orang yang ‘tidak disembuhkan’ yang telah kabur ke daerah di luar ‘daerah aman’, dan si Tokoh utama wanitanya memiliki seorang teman (wanita juga) yang mengajak berbuat ‘nekad’ dengan melanggar peraturan yang telah ditetapkan.
Entahlah, apakah sebuah ketidak sengajaan atau bagaimana, tetapi bagi saya baik Delirium ataupun Uglies, keduanya sama-sama mengusung nilai-nilai sosial yang mulai bergeser di masyarakat. Di Uglies, kita disuguhi cerita tentang kecantikan yang sekarang ini menjadi ‘segalanya’. Sedangkan di Delirium, kita disuguhi fakta bahwa urusan pribadi (dalam hal ini, cinta) sudah semakin dibatasi kebebasannya oleh peraturan yang tidak beralasan kuat.
4 bintang untuk Delirium!
Ow, anda bisa berkunjung ke Website penulis di http://www.laurenoliverbooks.com/