Slide Show

Tampilkan postingan dengan label Ufuk Publishing. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ufuk Publishing. Tampilkan semua postingan
Januari 20, 2013

Hex Hall



Judul Buku :  Hex Hall
Penulis : Rachel Hawkins
Penerjemah : Dina Begum
Cetakan Pertama : Oktober 2011
Penerbit : Ufuk Publishing House
ISBN : 978-602-9346-10-7
Tebal : 420 halaman, paperback

Siapa sangka bahwa di masa modern sekarang ini, masih banyak makhluk-makhluk ajaib yang sebenarnya ada di sekitar kita. Dari luar mereka nampak seperti manusia biasa, tapi sebenarnya bisa jadi dia seorang penyihir, atau peri, atau shapeshifter, atau werewolf, bahkan vampir.


Seperti Sophie Mercer, yang sekilas nampak seperti anak belasan tahun lainnya, kecuali fakta bahwa dia seorang penyihir. Sayangnya, Sophie belum mampu mengendalikan kekuatannya sampai suatu hari ia meramalkan mantra cinta dengan ‘kelewat baik’ hingga mencelakakan beberapa orang. Karena kejadian itu, ia dikirim ke Hecate Hall atau yang biasa disingkat Hex Hall, sebuah sekolah khusus prodigium. Tempat itu berada di sebuah pulau terpencil, yang tujuannya mendidik para prodigium untuk mampu bertindak ‘dengan bijaksana’ atas kemampuan mereka.

Sophie tak lantas bisa membaur dengan anak-anak di sekolah tersebut, meski ia cukup dekat dengan teman sekamarnya, Jenna, yang seorang vampir. Ternyata teman sekamar Jenna sebelumnya juga seorang penyihir bernama Holly, yang ditemukan meninggal karena kehabisan darah di kamar mandi dengan dua luka di lehernya. Semenjak itu Jenna hampir tidak punya teman lagi karena ia dituduh membunuh temannya sendiri. Penyelidikan pernah dilakukan tapi tak temu titik terang, sehingga Sekolah tidak memiliki alasan untuk mencegah vampire melanjutkan studi mereka di Hex Hall.

Tapi kemudian peristiwa itu terus menerus terjadi, satu demi satu penyihir ditemukan terluka persis  seperti Holly dan sekolah tidak tinggal diam. Sophie yang merasa tahu betul bagaimana pribadi Jenna tidak mungkin melakukan hal tersebut memutuskan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sekolah itu.

Ternyata misteri tersebut melibatkan jauh dari apa yang sebenarnya ingin Sophie ketahui, karena ternyata ada banyak pihak yang ingin menghabisi semua prodigium, dan mungkin saja misteri itu berhubungan dengan diri Sophie sendiri.

Awal membaca novel ini mau tak mau mengingatkan saya tentang Harry Potter, yah tidak semua tentunya, hanya sebagian kecil saja, dan Sophie jelas berbeda dengan Harry Potter. Sophie adalah gadis yang biasa diabaikan di sekolah, tapi begitu masuk Hex Hall dia seakan membuat satu sekolah mengenal dirinya dengan kecerobohannya yang sering dilakukan. Banyak tokoh utama cerita fantasi yang saya baca dan jarang membuat saya terpikat, terutama pada peran wanita, tapi Sophie lain. Sophie tampak jauh lebih ‘manusia’ daripada menjadi seorang penyihir, mungkin karena dia masih awal dalam menggunakan kemampuannya, tapi dia juga bukan penyihir yang hebat.

Terjemahan yang asyik dengan ukuran huruf yang memuaskan pembacanya, membuat saya tak perlu waktu lama menikmati buku ini. Drama ala pelajar wanita, kisah cinta diam-diam, misteri serta sihir yang ada menambah warna di cerita ini.


Selesai membaca buku ini, saya jadi berpikir ulang, ternyata sihir tak selalu butuh tongkat, atau sapu terbang, atau kata kata ajaib. Sihir Cuma butuh bakat, latihan dan yah.. sedikit gen keturunan, sepertinya.

Oh satu lagi, saya rasa butuh sedikit magic untuk membuat Demonglass segera muncul di meja saya saat ini, sebab saya tak sabar membaca kisah  Sophie selanjutnya.



Posting ini dibuat untuk ikutan di Fantasy Reading Challenge 2013 Bulan Januari :)


 
Juli 31, 2012

City of Thieves – Kota Para Pencuri


Mengisi Liburan Dengan Membaca Bersama Bukukita.com dan Ufuk Publishing House”


Judul Buku : City of Thieves – Kota Para Pencuri
Penulis : David Benioff
Penerjemah : Meda Satrio
Penyunting : Helena Theresia
Penerbit : Ufuk Publishing House
Cetakan Pertama : Agustus 2010
ISBN : 978-602-8801-32-4


Pelajaran Sejarah adalah salah satu pelajaran yang sebenarnya saya suka, baik saat SMP maupun SMA, terutama tentang sejarah dunia. Mengikuti pelajaran sejarah itu seperti naik mesin waktu lalu pergi ke masa lalu. Jauh di mana peradaban manusia tidak semodern sekarang, dimana kisah yang diceritakan sebagian besar adalah revolusi, perebutan kekuasaan dan perperangan. Sayangnya tak banyak guru yang bisa menceritakan kisah masa lalu ini dengan tepat, selain nama tokoh yang cenderung sulit dihafalkan, kurangnya pembangunan suasana juga menjadi faktor lainnya yang mempersulit penangkapan murid terhadap sejarah. Cara lain untuk menikmati sejarah adalah dengan membaca buku, seperti buku yang satu ini.

Nama anak laki-laki itu adalah Lev atau lengkapnya, Lev Abramovich Beniov. Suatu malam ia dan teman-temannya tertangkap basah oleh pasukan Rusia ketika sedang menjarah mayat seorang tentara Jerman. Teman-temannya lolos, sayangnya tidak demikian dengan Lev, ia tertangkap dan dibawa ke Penjara Kresty. Di sana ia ditempatkan satu sel bersama seorang tentara yang dituduh sebagai desertir (orang yg lari meninggalkan dinas ketentaraan atau membelot kpd musuh) bernama Kolya, lengkapnya Nikolai Alexandrovich Vlasov.

Hukuman mati mereka berdua ternyata ditunda, bahkan akan dibebaskan jika mereka dapat melakukan tugas yang amat penting dari Kolonel Grechko, yaitu mencari satu lusin telur yang akan digunakan dalam membuat keik di pernikahan anak perempuannya. Sebenernya ini bisa dibilang permintaan yang gila saat itu, bayangkan saja di tahun itu Perang yang berlangsung antara Jerman dan Rusia telah membuat banyak warga kelaparan. Jangankan makanan enak, yang layak dimakan saja hampir bisa dibilang tidak ada lagi. 

Lalu ke mana dua orang ini bisa menemukan telur-telur sebagai syarat pembebasan itu? Apalagi Sang Kolonel mengambil kartu ransom mereka sebagai jaminan bahwa mereka akan kembali lagi membawa telur-telur tersebut. Saat itu kartu ransom adalah barang yang sangat penting, tanpa kartu ransum bisa dipastikan kamu akan mati kelaparan terlebih saat itu musim dingin sedang melingkupi Rusia.

Perjalanan mereka kemudian dimulai, berdua mereka mengunjungi Haymarket, pasar gelap tempat berbagai transaksi jual beli dilakukan. Di pasar ini mereka mendapat info bahwa ada seorang petani di dekat Gerbang Narva memelihara ayam-ayam yang menghasilkan telur.

Akankah Lev dan Kolya mendapatkan telur sesuai permintaan Kolonel?


Ah, membaca buku ini benar-benar membawa saya ke pandangan sebuah cerita sejarah yang diceritakan secara berbeda. Biasanya saya mendapati kisah sejarah hanya berisi kesedihan dan kemuraman tokoh utamanya, ditambah suasana duka sebagai latar belakangnya. Benar-benar menghabiskan tenaga saat membacanya, apalagi kalau kalimat-kalimatnya panjang dan berdiksi ‘berat’.

Tapi buku City of Thieves ini berbeda, meski mengusung tema Historical Fiction, kehadiran dua tokoh utama yang unik membuat buku ini lebih ‘hidup’ dan berwarna. 

Lev, sebagai sudut pandang orang pertama yang menceritakan kisah di buku ini memiliki karakter yang cenderung lembut untuk laki-laki. Mungkin karena usianya juga masih belasan tahun, ia memang memiliki semangat tinggi untuk membela Negara, tetapi terkadang ketika ia berhadapan langsung dengan peperangan atau pembunuhan, tak banyak yang bisa ia lakukan selain bersembunyi dan ketakutan.
Singkat kata, ia memang bukan jagoan.
Tapi Lev adalah sosok yang setia kawan, terlihat saat mereka menghadapi sepasang suami istri kanibal, Lev tidak mau meninggalkan Kolya sendirian meski sebenarnya Lev bisa melarikan diri dengan mudah. 

Sedangkan Kolya bisa dibilang kebalikannya Lev, ia tipe pemberani, cuek, seenaknya sendiri dan tipe penyerang. Ia tidak segan-segan melontarkan kalimat-kalimat sarkatis bahkan terkadang terkesan menghina, meski sebenarnya ia hanya bercanda. Kolya adalah seorang pencinta sastra, ia terbiasa mengutip syair-syair para pujangga atau sekadar membicarakan tokoh dari buku yang pernah ia baca.

Perbedaan keduanya ini yang membuat saya tertawa, sedih atau terkadang merasa sesak karena lega ataupun duka saat mereka bersama-sama. Percakapan yang unik, saling menyidir bahkan terkadang hampir berantem beneran, berulangkali menyelamatkan saya dari kebosanan yang mungkin muncul  karena detail. Ya, detail lokasi dan peristiwa yang ada di buku ini memang cukup ‘berlimpah’, tapi detail malah membuat saya mampu membayangkan dengan jelas kejadian saat itu. Lalu ide cerita yang keren. Sungguh, kalau saja ide mencari telur bisa dibilang biasa, tapi penulis mampu memilih latar waktu dan peristiwa yang membuat pencarian telur ini menjadi istimewa.

Konflik-konflik selingan juga memiliki kekuatannya sendiri, seperti ketika mereka bertemu wanita-wanita cantik di sebuah rumah di tengah hutan, atau ketika menyelinap di antara tawanan tentara Jerman. Kisah persahabatn yang unik antara Lev dan Kolya membuat saya menitikkan air mata di akhir cerita. Entah karena bahagia atau sedih, yang pasti saya tahu saya lega karena demikianlah akhirnya.

 Satu kutipan yang saya suka
"Ada suatu bagian dalam diri kita, tempat rasa lapar, keletihan, dan waktu sepenuhnya tak lagi berjalan dan penderitaan tubuh tampaknya bukan lagi milik kita sepenuhnya."-Hal. 450
Penasaran?
Silakan membaca buku ini lalu bertualanglah di Rusia demi dua belas telur untuk pesta pernikahan. :)

Fakta terkait sejarah di buku ini.

Leningrad, daerah tempat tinggal Lev benar-benar merupakan lokasi terjadinya peperangan antara Rusia dan Jerman, terutama pada saat perang dunia kedua meletus. Pada tahun 1991, daerah ini diubah namanya menjadi St. Petersburg, daerah yang mungkin lebih kita kenal sekarang. Pengepungan Jerman terhadap Leningrad terjadi selama 871 hari, yaitu antara 8 September 1941 – 27 January 1944 dengan Jerman yang akhirnya bisa dipukul mundur.



Agustus 01, 2011

City of Ashes, The Mortal Instrumen #2


Penulis : Cassandra Clare

Penerbit : Ufuk PressTebal : 610 halaman, soft cover

Cetakan Kedua : Agustus 2010

ISBN : 978-602-8801-30-0


Maryse dan Robert Lightwood kembali pulang ke Institut setelah terjadi kekacauan di Kunci, pada buku 1. Mereka mengharapkan Jace untuk tidak tinggal lagi di Institut untuk sementara, terutama ketika Sang Inkuisitor melakukan penyelidikan terhadap semua orang yang pernah dekat dengan Valentine. Menanyai semua anggota Lingkaran setelah pemberontakan dan memastikan bahwa Hukum tidak dilanggar oleh Nephilim.


Valentine yang telah berusaha mendapatkan Piala Mortal, kali ini berusaha mendapatkan Mortal Instrumen kedua, Pedang Mortal dengan membangkitkan Agramon, Iblis yang mampu menampilkan rasa takutmu menjadi kenyataan. Valentine ingin mengubah Pedang Malaikat itu menjadi Pedang Iblis, dengan menggunakan persembahan darah dari bocah-bocah Penghuni Dunia Bawah.


Sementara sesuatu terjadi pada Simon, ia …

Eits, baca sendiri aja kali ya.. Hubungan cinta yang rumit makin menjadi di seri City of Ashes ini, sementara Kunci belum turun tangan Valentine masih terus menyebarkan ketakutan..


Sama seperti seri kedua, masih ada beberapa typo dan mungkin pengartian ke bahasa Indonesia yang sedikit tidak cocok. Misalnya kalimat “berpusing di terowongan” mungkin lebih tepat jadi “berputar di terowongan”. Tapi untuk keseluruhan, Clare mampu menceritakan Novel ini dengan alur yang cepat, menarik dan tidak membosankan meski dengan jenis tokoh yang sudah sering muncul seperti Vampir, Werewolf, Peri, Malaikat.


Jadi nggak sabar baca buku ketiganya :D

Juli 06, 2011

City of Bones (The Mortal Instruments #1)


Penulis : Cassandra Clare

Cetakan I : Februari 2010

ISBN : 978-602-8224-80-2

Penerbit : Ufuk Press

Tebal : 649 halaman

Awal baca buku ini agak khawatir kebawa-bawa sama pengaruh unsur buku-buku lainnya. Maklum, yang dibahas di buku ini semacam vampir, werewolf, warlock dan sebagainya. Takutnya nanti jadi ngebanding-bandingin sama Vampire Academy, Serialnya Nicholas Flamel ato Twilightnya Stephanie Meyer. Tapi ternyata nggak begitu.

Kisah ini menceritakan Clarissa Fray, seorang fana (manusia biasa) yang tiba-tiba bisa melihat makhluk yang bukan jenisnya.


“Apa yang akan Kau lakukan kalau melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain?”


Ketika sedang berada di klab malam bersama Simon sahabatnya, ia pertama kali bertemu dengan Jace, Izzy dan Alec. Ketiga orang ini adalah Pemburu Bayangan, Kaum Nephilim (manusia tapi keturunan malaikat) yang melindungi manusia dari Makhluk-Makhluk Dunia Bawah yang berbahaya. Sebuah kejadian menyeret Clary ke dalam Dunia Bayangan, Ibunya hilang sedang rumahnya diobrak-abrik oleh Yang Terabaikan.


Valentine, Sang pemimpin Lingkaran telah kembali, ia adalah Pemburu Bayangan yang ingin membersihkan dunia dari semua Makhluk Dunia Bawah. Sebuah hal yang tidak disetujui oleh Peraturan Para Pemburu Bayangan, karena yang mereka buru seharusnya hanya mereka-mereka yang melakukan kejahatan terhadap manusia. Valentine menculik Jocelyn, Ibunya Clary. Dari sinilah Clary mulai mencari tahu keberadaan Ibunya dan menemukan rahasia yang dikunci rapat dalam ingatannya.


'‘Kalau aku membuat kesalahan terkecil pun dalam menguraikannya, pikirannya bisa rusak selamanya”


Sampai setengah buku nggak begitu seru, tapi begitu dapat setengah dari Bab 2, Alurnya mulai cepat, bikin penasaran soalnya. Sayangnya typo di buku ini banyak banget, jadi cukup terganggu, lagi seru-seru baca tiba-tiba Typo lagi typo lagi..


Contohnya,

Hal 230, “ Lampur perpustakaan dimatikan. Hanya ada penerangan dari pendaran seperti susu yang membungkus dari jendela tinggi.”


Hal 456, “banyak psikolog setuju bahwa permusahan hanyalah ketertarikan seksual yang diperhalus”


Hal 507, “ Jarinya berhenti bergerang di globe. Clary yakin dia sednag menyentuh lokasi Idris.“


Hal 638, “ Clary minggir saat Jeremiah berjalan melewatinya ke koridor. Clay memperhatikannya menjauh, bercampur dengan keramaian.” (cat : nggga ada tokoh Clay di cerita ini)


Dan jangan khawatir nggak dapet cerita cinta di buku ini, :D

Cerita cintanya unik dan complicated, meski endingnya bisa ditebak tapi sejujurnya.. saya sedikit kecewa sih. Nggak sehappy ending yang aku kira. Tapi mungkin masih bisa berubah di buku keduanya. Heheh.. Selamat membaca J

Salam,

Salam,