Slide Show

Tampilkan postingan dengan label Traveling. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Traveling. Tampilkan semua postingan
Mei 05, 2015

Titik Nol





Judul Buku : Titik Nol
Penulis : Agustinus Wibowo
Editor  : Hetih Rusli
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 556 halaman, paperback
Cetakan Pertama : Februari 2012
ISBN : 978-979-22-9271-8


Justru kita perlu bermimpi. Karena mimpi itu yang menentukan perjalanan. Mimpi itu yang mengubah manusia.


Saya ingat ada pepatah yang mengatakan begini, kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan. Rasa rasanya pepatah tersebut bener banget deh.. Apalagi setelah membaca kisah Agustinus di buku ini.

Berbeda dengan dua buku sebelumnya, Selimut debu dan Garis Batas, kali ini ada dua cerita yang secara bergantian diceritakan. Yang pertama adalah kisah ketika Agustinus menjelajahi beberapa negara dalam perjalanannya, yang kedua adalah kisah sekarang saat mamanya sakit tergolek lemah di ranjang menunggu kesembuhan ataupun ajal yang datang. Sambil mendampingi Sang Mama itulah, Agustinus menceritakan perjalanannya, mengembara dari satu gunung ke gunung lainnya, dari satu kota ke kota berikutnya, dan pembaca dibuat luluh oleh ceritanya.


Justru karena masih ada mimpi, kita jadi punya alasan untuk terus hidup, terus maju, terus berjalan, terus mengejar.


Perjalanan kita dimulai dari Kailash di Tibet, gunung yang menjulang sendiri ini menjadi pusat peribadatan tertinggi bagi banyak orang. Mereka mendaki gunung tidak hanya berjalan kaki tetapi sampai berposisi melata di atas tanah. Makin menderita maka mereka merasa ibadahnya akan makin diterima. Tak cukup Kailash, Agustinus masih mencoba lagi keberuntungannya dengan gunung, Himalaya. Yah, mengingat perjalanan sebelumnya cukup membuat Agustinus merana, kali ini ia sadar diri sehingga tidak sampai muluk muluk ke puncaknya.
April 30, 2014

Selimut Debu






Judul Buku  : Selimut Debu
Penulis : Agustinus Wibowo
Editor : Hetih Rusli
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan ketiga : November 2011
Tebal : 468 halaman, paperback

Apa yang pertama kali terlintas di pikiran Anda ketika mendengar kata Afganistan? Kalau saya langsung membayangkan debu dan padang gersang. Secara keseluruhan memang itu hal yg paling banyak bisa kita temukan di sana, selain teror dan orang orang miskin yang mendiami negara tersebut.

Agustinus mengajak kita menjelajahi Afganistan bukan hanya lewat penggambaran detailnya tentang tempat dan keadaan, tetapi ia juga mengajak kita seakan ikut berada di sebelahnya, berinteraksi dengan berbagai macam suku yang ada di Afganistan.
Juli 30, 2012

The Journeys 2 – Cerita dari Tanah Air Beta



Judul Buku : The Journeys 2 – Cerita dari Tanah Air Beta
Penulis : Alanda Kariza, Fajar Nugros, dkk
Editor : Resita Wahyu Febriatri
Penerbit : Gagas Media
Cetakan Pertama : 2012
ISBN : 978-780-550-6
Tebal : 256 halaman, paperback



Indonesia adalah negara yang luar biasa besar, bayangkan saja, dengan lebih dari 17 ribu pulaunya (yang semoga sampai sekarang bener-bener masih ada segitu) tak heran jika banyak objek wisata yang luput dari ekspose dunia luar. Pantai, pegunungan, hutan, dan ada begitu banyak kota di Indonesia dengan keistimewaannya masing-masing membuat kita sebenarnya memiliki kekayaan budaya yang luar biasa dibandingkan negara kepulauan lain. Jadi benar bisa ditebak bahwa trend buku perjalanan akan selalu ada dan beredar di Indonesia, seperti salah satunya buku The Journeys 2 ini yang ditulis oleh 12 orang dengan perjalanannya ke berbagai daerah di Indonesia.

Cerita favorit saya dari Windy Ariestanty yang niatnya akan berlibur bersama 5 orang teman-teman kuliahnya di Pulau Sempu, tak jauh dari Kota Malang. Pulau Sempu adalah pulau yang masih eksotik, masih sepi dan pantainya sungguh cantik. Setidaknya itu dan semangat lima temannya yang membuat Windy bertahan mengiyakan ajakan berlibur tersebut meski sebenarnya ia punya pengalaman buruk dengan Pantai. Nah, di Pulau Sempu mereka harus bertahan hidup sampai kapal yang akan menjemput mereka datang esok sore, masalahnya adalah stok bahan makanan dan air minum malah ketinggalan di dermaga pemberangkatan. Hihi, jadi bisa kebayang donk, enam orang mahasiswa yang niatnya liburan malah harus survival di tengah pantai terpencil.

Untuk kisah-kisah lainnya, masih ada cerita Trinzi yang travelling ke Lombok bersama Mamanya, berdua saja (ini seru banget deh pasti. Jadi punya ide buat kapan-kapan nyoba travelling berdua dengan anak saya.XD). Ada kisah Jflow di Maluku dengan orang-orangnya yang super easy going. Ve Handojo yang berburu batik ke Trusmin, Cirebon dan masih banyak lagi.

Nah, lalu apa yang membuat saya memberikan nilai dua bintang doank untuk buku ini?

  1. Ceritanya kurang... renyah. Bahkan cenderung ada kisah yang membosankan seperti di Boven Digoel, atau cerita di Salatiga yang nggak yakin sebenernya mau nyeritain apanya Salatiga.
  2. Pengulangan kota. Indonesia kan memiliki banyak sekali kota, lalu kenapa ada dua kali cerita tentang Bali dan dua kali cerita tentang Lombok? Kenapa nggak cari cerita di Kota Lain, suatu tempat di Kalimantan atau Sumatera misalnya?
  3. Kalaupun terpaksa dilakukan pengulangan, ada baiknya (menurut saya) kalau cerita Lombok, Saya dan Mama diletakkan lebih awal daripada kisah Alanda Kariza yang juga membahas tentang Lombok. Apa hal? Karena dijelaskan bahwa saat Trinzi dan Mamanya mendarat di Bandara Selaparang, Lombok dan Bandara Praya masih dalam tahap pembangunan. Sedangkan di cerita Alanda menjelaskan bahwa ia mendarat di Bandara Praya yang sudah mulai beroperasi dan Bandara Selaparang sudah tidak lagi. Yah, ini hanya masalah pendapat saja sih sebenarnya.
  4. Cover buku ini kurang ngejreng dan typonya masih bertebaran. Butuh proofreader baru kah? *nyengir kalem. Oh tapi saya suka layout dan foto berwarna yang bertebaran di dalam buku.
  5. Ada baiknya kalau The Journeys bukan hanya menceritakan perjalanan, tapi juga keistimewaan tempat itu sendiri. Bukan hanya cerita yang berlatar kota itu tapi sebenarnya membahas hal-hal lain yang ngga penting.
  6. Satu cerita milik Travel Junkie Indonesia yang secara pribadi saya rasa nggak tepat masuk ke buku ini. Halloooo.. Ini kan buku yang nggak masang aturan baku umur, temanya juga tentang Indonesia. Jadi ngapain cerita tentang hal-hal naturist segala? Meski mereka ada di Negara kita, tapi kan ada banyak hal yang lebih bisa dieksplore tentang kekayaan budaya Indonesia daripada mbahas begituan? Mbak Editor, bagai mana ini kok bisa lolos?
  7. Oh ada lagi, Filosofi Koper ini mengingatkan saya akan filosofi serupa yang saya temui di buku Windy –Live Traveler. Kok sama ya? Ah, mungkin karena memang koper mengingatkan kita semua tentang proses pemilihan.. *barangkali..

Jadi ya.. begitulah.. saya lebih suka cerita di buku pertama daripada buku kedua ini. Sebagai pembaca, tentunya saya berharap kalaupun ada seri ketiganya, saya akan lebih puas membaca kisah-kisahnya. :)
Mei 07, 2012

The Naked Traveler 2



Judul Buku :  The Naked Traveler 2
Penulis : Trinity
Penyunting : Imam Risdiyanto
Penerbit : B-First
Cetakan Ketujuh : Mei 2011
ISBN : 978-979-24-3870-3
Tebal : 352 halaman, paperback


Saya sudah lama berniat membaca buku The Naked Traveler, meski ternyata harus puas membaca langsung ke buku 2. Soalnya nyari buku NT yang pertama minta ampun susahnya. Bagi saya buku yang menceritakan perjalanan seperti obat yang memuaskan sejenak keinginan saya untuk traveling.

Buku yang terdiri dari delapan bab ini berisi pengalaman-pengalaman Trinity ketika ia berjalan-jalan di suatu negara atau kota. Republik Palau di Micronesia, Dubai, New Zealand bahkan saat ia bersekolah di Filipina pun juga diceritakan di buku ini. Pembawaan kisah yang ceplas ceplos dengan bahasa yang campur aduk dan kadang dibumbui adegan konyol ini membuat saya cukup puas membacanya.

Ada banyak cerita, ada banyak pengalaman dan ada banyak kesempatan yang bisa diceritakan dari sebuah perjalanan. Dan Trinity, kalau saya simpulkan, menukilkan pengalaman sosialnya daripada bercerita tentang perjalannya itu sendiri. Sebut saja contoh bagaimana ia berkali-kali diajak menikah oleh cowok ketika bertraveling, atau bagaimana perbandingan nonton film di bioskop luar negeri dan di dalam negeri.

Buku-buku perjalanan yang sudah pernah saya baca, biasanya memang bercerita tentang perjalanan, dan tentunya urut. Maksudnya, bila sedang bercerita di Kamboja, maka seluruh bab itu berisi tentang kejadian-kejadian di Kamboja atau cara naik angkutan di sana, penginapan bahkan sampai beberapa referensi makanan. Yang tidak boleh ketinggalan adalah tempat-tempat mana saja yang menjadi daya tarik kota atau negara tersebut, sehingga masuk ke daftar kita saat berkunjung ke sana.

Maka ketika saya membaca NT, sejujurnya saya sedikit shock, karena saya disodorkan cerita dalam bab-bab yang entah disusun berdasarkan apa. Kalau berdasarkan kesamaan kok ya ada yang nggak nyambung, kalau berdasarkan urutan abjad kok ya nggak. Kalau dibilang berdasarkan letak negara atau kota yang dituju, lebih-lebih nggak banget. Saya seperti main Yoyo, dilempar ke sana balik ke sini, ke sana lagi sampai akhirnya saya malah bingung. Buku ini memang buku tentang perjalanan, tapi bukan seperti kamus perjalanan Lonely Planet atau buku-buku traveling lokal lainnya. Trinity menyuguhkan cerita atau pengalaman-pengalaman pribadinya sendiri yang mungkin bisa berguna bagi ornag lain yang bernasib atau ada pada saat yang sama seperti dia di suatu tempat saat traveling.

Lalu apa yang saya dapatkan dari buku ini? Ada beberapa hal baru kok yang saya dapatkan, seperti penyimpanan uang saat jalan-jalan, cabe yang dahsyat pedesnya dari Lombok, berenang bersama whaleshark, atau apa yang bisa kita lakukan jika saat traveling itu kita memiliki banyak waktu luang. Toh saya juga berhasil dibuat cekikikan sendiri saat membaca beberapa episode cerita Trinity yang konyol. Keunggulan buku ini menurut saya karena Trinity sepertinya sudah mengunjungi banyak tempat di Dunia, pengalamannya sudah banyak jadi dia bisa mudah menceritakan dan menggabungkan satu dengan lainnya.

Tiga bintang untuk Buku ini



----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

// Lomba Estafet Review Buku //

Buku ini dapat kamu peroleh di Toko Buku Online Bookoopedia.com | FB bookoopedia | Twitter @bookoopedia
 
http://www.bookoopedia.com/id/book/id-30277/the-naked-traveler-2.html
So, selanjutnya aku menyerahkan tongkat estafet ini kepada temanku, di blognya:
Ayo tulis review di blogmu, siapa tau ntar kamu yang menang lho! http://www.bookoopedia.com/id/berita/id-88/lomba-estafet-review-buku.html
Februari 19, 2012

Life Traveler


Adalah seorang Windy yang berbagi pengalamannya dalam perjalanan kehidupan lewat buku ini. Tentu saja semua orang pernah melakukan perjalanan, pergi ke kantor, ke sekolah, ke kampus, bahkan ke pasar pun tentunya sudah termasuk ke kategori ‘perjalanan’. Tapi tak semua orang mampu bercerita pengalaman perjalanan seperti yang Windy ceritakan di buku ini. Ia berbagi, mengajari, dan menyadarkan pembaca tentang makna lain yang bisa kita dapatkan dalam sebuah perjalanan.

Sebelum melakukan perjalanan, Windy membantu kita berkemas terlebih dahulu. Sambil mempersiapkan daftar dan tips-tips barang ataupun peralatan yang harus kita bawa, ia menyelipkan satu pikiran yang berkesan bagi saya (lihat, padahal ini baru di awal cerita!).

“Proses berkemas selalu menarik. Kita harus memilih mana yang penting dan mana yang kurang penting. Kita belajar memutuskan.” – Hal.8

Windy mengajak kita bercengkerama di Vietnam, Kamboja, Praha, Czech Republik, bahkan berburu Louis Vitton di Paris. Dengan bahasanya yang bersahabat dan cara bertutur yang apik, ia mampu membuat pembaca ikut hadir dalam tempat yang sedang ia ceritakan. Ini seperti duduk di sebelahnya sambil menikmati pagi, turut mencium manisnya buah saat ia berbelanja di Swiss, atau duduk melamun sambil mengamati keindahan alam yang bergantian tampil di jendela bus.

Di dalam buku ini juga diselipkan cerita tentang cinta yang ditemui Windy dalam berbagai rupa di perjalanannya.
“Jatuh cinta membuat siapa saja menjadi penuh. Dan buncah karena bahagia.” – Hal.107
Cinta itu ia temui dalam dua orang yang duduk diam di taman, dalam mahasiswa yang saling suap di kedai makan Ha Noi, dan sedikit kisah cinta Windy sendiri dengan pasangan perjalanannya di North Carolina.

Tapi buat saya, perjalanan Windy yang paling berkesan di buku ini ada di Frankfurt, Jerman!! Cara penulisan yang berbeda mungkin menjadikan cerita ini lebih menarik. Mungkin juga karena saya sendiri punya impian untuk dapat menapaki Negara ini, entah kapan atau bagaimana caranya. Tapi sungguh, setiap cerita yang membawa oleh-oleh tentang kehidupan Jerman selalu memesona saya, seakan mereka melambaikan tangan mengajak saya secepatnya datang ke sana. XD

Tak hanya perjalanan, tapi Windy mengenalkan pembaca kepada satu sosok wanita pemandu perjalanan, Marjolein, yang sangat suka memandu orang-orang Indonesia yang melakukan perjalanan di Perancis, karena membuatnya lebih dekat dengan Indonesia. (Ingat, bahwa Mer sendiri bukan orang Indonesia).

“Saya belajar banyak dan lebih dalam tentang hubungan dengan manusia dari orang Indonesia.”- Hal.313

Terkadang memang butuh orang lain untuk menunjukkan betapa sebenarnya kita sedang menggenggam sebuah harta yang amat berharga, Negara kita, Indonesia.

Setelah berlika-liku dalam perjalanan, mari kita membahas sedikit tentang pulang, tentang rumah yang diceritakan Windy melalui kisah 24 jamnya di Bandara Chicago. Dalam sosok wanita tua di sebuah kedai di bandara, terseliplah pertanyaan yang menyadarkan Windy bahwa Wanita tersebut adalah sebuah pelajaran, sebuah hidup itu sendiri.
“Going back or Going Home?”-Hal.351
Dihadirkan bersama foto-foto dan ilustrasi yang sederhana namun indah, Life Traveler membuat saya enggan barang sejenak melepaskan mata menikmati tulisannya. Sungguh pun sebenarnya saya sempat iri terhadap kebebasan dan perjalanan yang dilakukan Windy, saya sangat berterima kasih karena setidaknya ia mau berbagi pengalaman bahkan tips-tips dan tempat-tempat penting yang bisa kunjungi dalam cerita yang ia tuangkan di buku ini. Bukan sebuah panduan perjalanan biasa, sebab ia mengajarkan kita memaknai lebih dalam sebuah perjalanan hidup. Berhenti sejenak untuk melirik kejadian-kejadian sederhana yang mungkin selama ini terlewatkan. Cerdas menangkap momen-momen indah dan menyenangkan untuk dibagi dengan orang lain.

Seperti sebuah quote dari Dewi Lestari yang saya ingat.
"Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?”
Maka diperlukanlah sebuah perjalanan itu. Setidaknya untuk memberikan jarak dan menciptakan kerinduan terhadap sesuatu.

5 bintang untuk buku ini. Semoga terberkatilah engkau Windy. Atas cerita dan pengalamanmu yang menginspirasi. :)

Judul Buku : Life Traveler
Penulis :Windy Ariestanty
Editor : Alit T. Palupi
Penerbit : Gagas Media
Cetakan Pertama : 2011
ISBN : 978-780-444-5
Desember 29, 2011

Garis Batas




Judul Buku : Garis Batas
Penulis : Agustinus Wibowo
Editor : Hetih Rusli
Tebal : 510 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan ketiga : Juli 2011
ISBN : 978-979-22-6884-3

Anda pasti sudah lama tahu apa itu garis batas. Kalau dulu sewaktu saya ikut kelas menggambar di SD, biasanya terlebih dulu saya membuat garis batas di pinggir kertas gambar saya, garis itu menandai bahwa diluar garis batas tersebut adalah daerah yang tidak boleh saya gambari atau saya warnai.

Tadinya saya pikir seperti itu garis batas yang dimaksud penulis di buku ini, garis batas yang nyata, real, bisa disentuh. Kenyataannya, penulis menyodorkan fakta-fakta kecil di sekeliling saya sendiri tentang makna garis batas sebenarnya. Setiap individu memiliki garis batasnya sendiri, zona aman yang jika ia tinggalkan, maka rasa kerinduan akan menghujam seperti kehilangan bagian badan.

Adalah Agustinus, Sang Penulis buku ini yang mencari makna diri dengan menyeberangi banyak garis batas. Negara, suku, ras, kebudayaan, agama, jenis kelamin, bahasa, ia jelajahi keanekaragamannya yang unik di negeri-negeri Asia Tengah.

Di buku ini, ia bercerita tentang perjalanannya di 5 negara Asia Tengah, bekas Uni Soviet yang kini telah berdiri sendiri-sendiri. Memproklamirkan kemerdekaan Negara mereka yang baru. Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan dan Turkmenistan.
Tapi sungguhkah kemerdekaan mereka itu membawa mereka menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya?

Kemiskinan masih terlihat jelas di beberapa negeri yang baru “merdeka” tersebut, tapi di sisi lain kota akan terlihat banyak warga yang hidup mewah berlimpah. Beberapa orang tua masih mengenyangkan kenangan mereka akan masa lalu yang katanya lebih baik, semua dapat pekerjaan, harga barang tidak meroket, kebutuhan tercukupi. Tapi pertanyaan cerdas kembali ditanyakan, adakah lebih baik perut kenyang tetapi terjajah dan dibatasi, atau lebih baik perut lapar tapi merdeka?

Di buku ini, Agustinus bercerita bagaimana susahnya menembus perbatasan Negara Tajikistan, yang dibatasi sungai dengan negara Afghanistan, mengurus visa bahkan untuk mengunjungi sebuah provinsi di Tajikistan pun harus ada “surat sakti” yang tentu saja harus dibayar lebih mahal lagi. Tajikistan adalah Negara yang terkecil dan termiskin disbanding Negara stan-stan lainnya. Penghasilan penduduk rata-rata per bulan adalah 20 dolar. (Hal. 29)


Afghanistan dilihat dari seberang sungai (sumber : travel.kompas.com)

Kirgizstan adalah Negara yang berikutnya ia kunjungi, Negara ini masih memiliki keganasan korupsi dan polisi seperti di Tajikistan. Sayangnya di Negara ini juga banyak orang miskin, tapi orang Kirgiz adlaah orang yang tangguh. Sebuah pepatah Kirgiz yang saya suka

“Kami Bangsa Kirgiz, Sudah mengalami ribuan kematian, tetapi kami menjalani ribuan kehidupan.” (Hal. 185)


Selanjutnya, Kazakhstan, seperti biasa, petugas perbatasan menyulitkan dan meminta sogokan.. Tapi di negara ini prosedur imigrasinya sudah modern tidak seperti Kirgizstan. Segala sesuatu di Kazakhstan harganya sangat mahal, contohnya harga dua pisang dan 1 apel senilai 3 dolar. Booming minyak di Negara ini menghasilkan kaum kaya, tetapi juga mencekik yang miskin menjadi semakin miskin. Bahkan ibukotanya juga dipindah ke tengah padang kosong dan perencanaan kotanya dimulai dari awal.



Shakhimardan, desa Uzbekistan yang dikelilingi banyak gunung


Uzbekistan adalah bukan Negara yang normal, di sini semuanya bisa terjadi. (Hal. 313). Harga mata uang Sum terus jatuh sampai-sampai kalau ingin membeli tiket pesawat pun harus membawa dua kantung plastik berisi uang sum. Ini karena pecahan terbesar tidak sampai senilai 1 dolar amerika, itu juga susah mendapatkannya.

Sedangkan Turkmenistan adalah Negara utopian. Seluruh rakyatnya merasa cukup akan apa yang dimiliki di negaranya, karena mengurus pasport dan visa sulit maka jarang ada warga yang keluar dari negeri bekas komunis tersebut. Saat penulis mengunjungi Negara ini, dimana-mana bisa dilihat foto atau patung emas Turkmenbashi, Sang Pemimpin Agung. Di Negara ini segala sesuatunya serba tercukupi dan serba murah. Ongkos bis hanya 20 rupiah, air, listrik, gas, pelayanan kesehatan semuanya gratis. Sangat utopian bukan?

Tapi tak hanya garis batas antara Negara itu yang dibahas Agustinus, ia juga membahas garis batas yang ada di Indonesia. Yang dulu membuat ia dan keluarganya yang keturunan Tionghoa memperoleh banyak ejekan, ketidakadilan dan perjalanan yang menyakitkan karena garis batas itu.

Pembaca akan menikmati dan memperoleh banyak hal dalam buku ini, belum lagi foto-foto berwarna yang diselipkan di tiap bagian Negara. 5 bintang untuk buku Garis Batas ini. :)
September 01, 2011

99 Cahaya di Langit Eropa


Penulis : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Tebal : 414 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-979-22-7274-1
Buku traveling yang tidak biasa. Itu kesan saya setelah membaca keseluruhan buku ini. Cara penyampaian penulis terhadap kota-kota istimewa di Eropa begitu memikat. Terlebih keluasan sejarah, rekam jejak yang cukup detail, dan bahasa yang sederhana membuat saya bersemangat untuk segera menuntaskan baca buku ini.
  
Penulis mengajak kita berjalan-jalan dulu di Wina, mengunjungi Restoran spesial, karena menjungkirbalikkan konsep ekonomi di dunia. Lalu berjalan-jalan ke Museum Kota Wina untuk bertemu Kara Mustafa Pasha, seorang pemimpin penaklukan Islam Ottoman yang gagal menaklukan kota Wina. Sebuah potret yang mengabadikan warisan pengetahuan, bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu, penyebaran Islam pun perlu dilakukan secara baik-baik, dengan cinta dan kasih sayang, bukan dengan pedang dan meriam yang akhirnya berujung kekalahan. 
 
    Kara Mustafa Pasha

Perjalanan kedua dalam mencari jejak-jejak Islam di Eropa, adalah ke Paris. Pusat peradaban paling maju di dunia. Di Museum Louvre, kita diperkenalkan dengan Kaligrafi Arab Kuno, Pseudo Kufic di sebuah lukisan terkenal, The Virgin and The Child. Sebuah kalimat tauhid  bertahta di pinggir hijab Bunda Maria. Penasaran? Anda perlu membaca buku ini untuk mengorek keterangannya. :) Di Paris, ada pemandangan satu garis yang indah. Air mancur besar, Monumen Obelisk Mesir, Jalan Champs-Elysees dan Monumen Arc de Triomphe semua membentuk garis lurus sempurna. Yang kalau dipanjangkan jauh ke timur tenggara, berujung ke Mekkah. 

 
        The Virgin and The Child

Pada bagian ketiga perjalanan, kita menuju Cordoba dan Granada. Di sini ada Mezquita yang terkenal, bangunan Masjid yang berubah fungsi menjadi gereja. Bangunan seluas 24.000 m2 itu beraksen merah dan putih. Kaligrafi arab masih menghiasi atap, meski penuh ”luka” karena dicongkel dan dihapus jejaknya. Mihrab yang dijeruji menambah kedukaan yang timbul karena  menjadi refleksi kejayaan Islam sekaligus kejatuhannya.

 
                        Mezquita

Di Granada, ada Al-Hambra, sebuah benteng pertahanan yang menorehkan jejak penaklukan Kristen Spanyol yang terus menggusur wilayah Kesultanan Islam. Benteng yang akhirnya menjadi saksi bisu kekalahan Islam lainnya, dengan diserahkannya Granada dari Sultan terakhir ke tangan Isabella dan Ferdinand yang akhirnya membaptis seluruh warga Granada untuk memeluk agama Kristen. Tindakan yang sebenarnya ditentang oleh semua golongan, termasuk Kaum Kristen asli penduduk Granada.
 
                    Al Hambra
Bagian Empat buku ini adalah perjalanan ke Istanbul, Turki. Negara yang begitu bangga akan dualitas identitasnya. Satu kaki menjejak Eropa, dan Kaki satunya menjejak Asia. Di Istanbul, kita diajak mengunjungi Hagia Sophia, bangunan yang sempat menjadi Gereja, sempat menjadi masjid. Dengan keanggunan kaligrafi Islam raksasa, motif lukisan Yesus dan Bunda Maria, kini bangunan itu diwakafkan untuk menjadi museum demi kepentingan negara. Perjalanan ini Juga mengunjungi keindahan Masjid Biru dan Istana Sultan Topkapi.

 
                    Hagia Sophia

Buku ini memperkaya saya akan keindahan Islam di Eropa. Ketika perbedaan agama hidup dengan selaras, tapi akhirnya juga agama yang dibawa- bawa demi memenuhi ego manusia untuk berkuasa. Buku ini buku traveling yang juga mengingatkan saya untuk menjadi agen Islam yang baik, yang menyebar damai, keteduhan dan keindahan di komunitas nonmuslim. Apalagi ketika Islam menjadi agama minoritas. Buku ini membawa kita kembali ke abad-abad bangkitnya Eropa setelah melewati Masa Kegelapan.
  
” Islam pernah bersinar sebagai peradaban paling maju di dunia, ketika dakwah bisa bersatu dengan pengetahuan dan kedamaian, bukan dengan teror atau kekerasan.”  Hal.8
 
Buku yang penuh dengan percakapan-percakapan tentang indahnya Islam, keteduhan dan kegigihan orang-orang yang too good to be true but they are really true dalam mendakwahkan Islam yang rahmat bagi seluruh Alam, bukan hanya rahmat bagi orang Islam saja.  :)
Juli 10, 2011

Kedai 1001 Mimpi


Penulis : Valiant Budi

Penerbit : Gagas Media

Cetakan Pertama : 2011

Tebal : 443 halaman

ISBN 979-780-497-6


Akhirnya kelar juga baca kedai 1001 mimpi nya Vabyo. Jarang-jarang kan seorang penulis sampe rela jadi TKI di negeri Arab sana? Vabyo adalah orang yang berani mengambil keputusan itu *pada awalnya kali ya..*

Buku ini menceritakan pengalaman Vabyo di Salah satu kota di KSA, Berawal dari keberangkatannya di Mei 2009 sampai kepulangannya ke Indonesia di Agustus 2010. Dengan unik, Vabyo menceritakan pengalamannya sebagai Barista di salah satu kedai kopi di Kota Dammam. Ya.. selain menceritakan nasibnya sebagai TKI yang konyol-miris-miris waktu baca, Vabyo juga menceritakan tabiat ”oknum-oknum” Para Orang Arab yang seringkali semena-mena sama para tenaga kerja yang dikirim ke negara mereka.

Ow juga ada peraturan dan cerita-cerita khas mereka yang sebelumnya saya nggak tahu.

Seperti libur dokter di akhir pekan (Jumat) yang menyakitkan, mengelus jenggot orang untuk meredam napsu amarahnya, kebiasaan berlalu lintas yang nggak punya attitude, yaa.. dan banyak keunikan yang bikin saya kadang berapi api waktu baca ini buku. Antara sedih, marah, kecewa, mau murka.. dan ya mau apa lagi. Teruskan saja baca.. :D

Tapi tentu saja, di antara para manusia yang bermoral bejat itu, masih ada orang-orang Arab yang ramah, lalu kenapa mereka terkenal dengan kebejatan dan ketidaksopanannya di dunia?

” Some of saudi tourist behaviour reflects the bad image people have about Saudi. Most of them don’t respect the other country’s law and not to mention their shameful behaviour!”, kata salah seorang warga Saudi sendiri.

Ya, Vabyo bilang it because world Loves bad attitude more. Jadi yang baik-baik tertutup kejelekan yang dilakukan sesama mereka sendiri.

Buku yang kereen!! Wajib dibaca buat yang mau ke KSA, Biar shock culture nya ngga parah waktu kesana. Empat bintang buat Vabyo!! Bravo :p

Juni 26, 2011

The Journeys


Nggak nyangka, ternyata kebanyakan isinya penuh dengan humor. Mulai dari masalah keyakinan yang dihubungin ama minyak wangi Arab, Kisah putus cinta yang dihabiskan di sekitar kolam hiu di Karimunjawa, Perjalanan sama Mertua ke negeri Paman Sam dan berbagai kisah perjalanan lain yang inspiratif dan amazing.

Tempat yang dikunjungin juga beragam, ada NTT dan Karimunjawa, di Indonesia!! Juga ada Afrika yang berwarna, Taiwan dengan desa airnya, Swiss, Spanyol.. banyak sekali kota dan tempat serta pengalaman. Selain harus dibaca bagi yang mau travelling, buku kayak gini juga pas buat orang-orang kaya saya, yang baru punya niat travelling lagi kayak masih single dulu.

Ini cuma masalah waktu, uang dan... ups.. ijin suami :D
Nggak perlu jauh jauh deh, ke luar zona nyaman aja, juga udah travelling. :D

Salam,

Salam,