Judul Buku : Garis Batas
Penulis : Agustinus Wibowo
Editor : Hetih Rusli
Tebal : 510 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan ketiga : Juli 2011
ISBN : 978-979-22-6884-3
Anda pasti sudah lama tahu apa itu garis batas. Kalau dulu sewaktu saya ikut kelas menggambar di SD, biasanya terlebih dulu saya membuat garis batas di pinggir kertas gambar saya, garis itu menandai bahwa diluar garis batas tersebut adalah daerah yang tidak boleh saya gambari atau saya warnai.
Tadinya saya pikir seperti itu garis batas yang dimaksud penulis di buku ini, garis batas yang nyata, real, bisa disentuh. Kenyataannya, penulis menyodorkan fakta-fakta kecil di sekeliling saya sendiri tentang makna garis batas sebenarnya. Setiap individu memiliki garis batasnya sendiri, zona aman yang jika ia tinggalkan, maka rasa kerinduan akan menghujam seperti kehilangan bagian badan.
Adalah Agustinus, Sang Penulis buku ini yang mencari makna diri dengan menyeberangi banyak garis batas. Negara, suku, ras, kebudayaan, agama, jenis kelamin, bahasa, ia jelajahi keanekaragamannya yang unik di negeri-negeri Asia Tengah.
Di buku ini, ia bercerita tentang perjalanannya di 5 negara Asia Tengah, bekas Uni Soviet yang kini telah berdiri sendiri-sendiri. Memproklamirkan kemerdekaan Negara mereka yang baru. Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan dan Turkmenistan.
Tapi sungguhkah kemerdekaan mereka itu membawa mereka menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya?
Kemiskinan masih terlihat jelas di beberapa negeri yang baru “merdeka” tersebut, tapi di sisi lain kota akan terlihat banyak warga yang hidup mewah berlimpah. Beberapa orang tua masih mengenyangkan kenangan mereka akan masa lalu yang katanya lebih baik, semua dapat pekerjaan, harga barang tidak meroket, kebutuhan tercukupi. Tapi pertanyaan cerdas kembali ditanyakan, adakah lebih baik perut kenyang tetapi terjajah dan dibatasi, atau lebih baik perut lapar tapi merdeka?
Di buku ini, Agustinus bercerita bagaimana susahnya menembus perbatasan Negara Tajikistan, yang dibatasi sungai dengan negara Afghanistan, mengurus visa bahkan untuk mengunjungi sebuah provinsi di Tajikistan pun harus ada “surat sakti” yang tentu saja harus dibayar lebih mahal lagi. Tajikistan adalah Negara yang terkecil dan termiskin disbanding Negara stan-stan lainnya. Penghasilan penduduk rata-rata per bulan adalah 20 dolar. (Hal. 29)
Afghanistan dilihat dari seberang sungai (sumber : travel.kompas.com)
Kirgizstan adalah Negara yang berikutnya ia kunjungi, Negara ini masih memiliki keganasan korupsi dan polisi seperti di Tajikistan. Sayangnya di Negara ini juga banyak orang miskin, tapi orang Kirgiz adlaah orang yang tangguh. Sebuah pepatah Kirgiz yang saya suka
“Kami Bangsa Kirgiz, Sudah mengalami ribuan kematian, tetapi kami menjalani ribuan kehidupan.” (Hal. 185)
Selanjutnya, Kazakhstan, seperti biasa, petugas perbatasan menyulitkan dan meminta sogokan.. Tapi di negara ini prosedur imigrasinya sudah modern tidak seperti Kirgizstan. Segala sesuatu di Kazakhstan harganya sangat mahal, contohnya harga dua pisang dan 1 apel senilai 3 dolar. Booming minyak di Negara ini menghasilkan kaum kaya, tetapi juga mencekik yang miskin menjadi semakin miskin. Bahkan ibukotanya juga dipindah ke tengah padang kosong dan perencanaan kotanya dimulai dari awal.
Shakhimardan, desa Uzbekistan yang dikelilingi banyak gunung
Uzbekistan adalah bukan Negara yang normal, di sini semuanya bisa terjadi. (Hal. 313). Harga mata uang Sum terus jatuh sampai-sampai kalau ingin membeli tiket pesawat pun harus membawa dua kantung plastik berisi uang sum. Ini karena pecahan terbesar tidak sampai senilai 1 dolar amerika, itu juga susah mendapatkannya.
Sedangkan Turkmenistan adalah Negara utopian. Seluruh rakyatnya merasa cukup akan apa yang dimiliki di negaranya, karena mengurus pasport dan visa sulit maka jarang ada warga yang keluar dari negeri bekas komunis tersebut. Saat penulis mengunjungi Negara ini, dimana-mana bisa dilihat foto atau patung emas Turkmenbashi, Sang Pemimpin Agung. Di Negara ini segala sesuatunya serba tercukupi dan serba murah. Ongkos bis hanya 20 rupiah, air, listrik, gas, pelayanan kesehatan semuanya gratis. Sangat utopian bukan?
Tapi tak hanya garis batas antara Negara itu yang dibahas Agustinus, ia juga membahas garis batas yang ada di Indonesia. Yang dulu membuat ia dan keluarganya yang keturunan Tionghoa memperoleh banyak ejekan, ketidakadilan dan perjalanan yang menyakitkan karena garis batas itu.
Pembaca akan menikmati dan memperoleh banyak hal dalam buku ini, belum lagi foto-foto berwarna yang diselipkan di tiap bagian Negara. 5 bintang untuk buku Garis Batas ini. :)