Slide Show

Tampilkan postingan dengan label Mahaka. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mahaka. Tampilkan semua postingan
Agustus 14, 2012

Sunset Bersama Rosie


Judul Buku : Sunset Bersama Rosie
Penulis : Tere-Liye
Editor : Andriyati
Penerbit : Mahaka
Cetakan Pertama : November 2011
ISBN : 978-602-9888-36-2


Tragedi Bom Bali di Jimbaran, Bali tujuh tahun silam masih terasa menyesakkan jika dikenang. Banyak yang menjadi korban dari peristiwa tersebut, sampai-sampai beberapa negara sempat kehilangan kepercayaan terhadap negara Indonesia. Ada banyak nyawa yang hilang, mereka yang luka dan lebih banyak lagi yang kehilangan. Keluarga, saudara, tetangga, rekan kerja, sahabat, mereka yang sebagian besar kisahnya tak tercecap media massa, mereka yang memiliki lebih banyak luka.

Salah satunya adalah keluarga Nathan dan Rosie.

Sore itu, mereka dan keempat anak perempuannya menghabiskan waktu di sebuah kafe pinggir pantai di Jimbaran dalam rangka merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke-13 tahun. Sebuah tele-conference sedang dilakukan bersama seorang teman keluarga, Tegar, nama lelaki itu. Paman, Om, Uncle, adalah sebutan yang diberikan dari tiga anak Nathan dan Rosie kepada Tegar. Lelaki itu telah menjadi paman yang sangat dekat dan akrab dengan keluarga mereka, oleh karena itu Tegar dirasa perlu ikut merayakan pesta pernikahan meski melalui streaming.

Sesaat sebelum matahari terbenam, koneksi sinyal video streaming terputus. Tegar yang bingung, khawatir dan kalap langsung naik penerbangan selanjutnya ke Bali, di saat dunia belum tahu sesuatu telah terjadi di Bali, Tegar lebih dulu mengetahuinya. Sesampai di Bali, suasana di sekitar Jimbaran sangat kacau, untungnya Tegar memiliki kenalan yang membantu mencari tahu kondisi keluarga Nathan saat itu. Setiba di rumah sakit, syukurlah keadaan tiga anak Nathan baik-baik saja, meski tangan tangan kiri Sakura, anak kedua mereka, remuk dan ia masih belum sadarkan diri. Tapi tidak demikian dengan Nathan, Sang kepala keluarga itu meninggal dunia.

Inilah awal yang menyebabkan keluarga Nathan tak sama lagi seperti dulu. Ayah meninggal, Ibu yang depresi akut membuat keempat anak Nathan dan Rosie terancam kehilangan pijakan. Sekembalinya mereka ke Gili Trawangan, Tegar memutuskan untuk terus menemani mereka sampai Rosie sembuh. Awalnya memang anak-anak berat melepas Ibu mereka rehabilitasi di salah satu tempat di Bali, tapi Rosie makin mengancam keselamatan anak-anak, sehingga keputusan ini harus dibuat.

Tegar sendiri memiliki kehidupan yang mapan di Jakarta, karirnya sedang gemilang bahkan ia berencana tunangan dengan Sekar, seorang gadis cantik yang amat setia mencintai Tegar. Dengan adanya tragedi di keluarga Rosie, Tegar memilih untuk melepaskan pekerjaannya sementara ia mengurusi anak-anak Rosie. Ia berusaha untuk menjadi paman mereka yang super, memang tak bisa menggantikan posisi Rosie dan Nathan. Tapi semoga anak-anak tetap bisa melanjutkan kehidupannya tanpa perlu dibebani perasaan kehilangan yang menyakitkan.

Apakah Rosie kelak akan sembuh dari depresinya dan kembali kepada anak-anak? Lalu bagaimana dengan Sekar, akankah ia setia menunggu Tegar?

Saya hanya perlu menghabiskan waktu 4 jam membaca buku ini dari awal sampai akhir. Alur ceritanya cepat dan kisah tentang anak-anak itu membuat saya tak rela jika harus berhenti menikmatinya. Selain itu, penulis juga dengan cakap menceritakan kisah ini dari PoV Tegar, yang kadang membuat saya bersimpati tapi kadang juga sebel dengan sikapnya yang plin-plan terutama pada Sekar.

Satu kalimat yang sering diulang Tegar, yang saya suka :

”Hanya waktu yang selalu berbaik hati mengobati kesedihan.”

Untuk tokoh anak-anak, ah.. tidak bisa tidak, saya jatuh cinta dengan karakter mereka. Anggrek yang kalem, Sakura yang meledak-ledak, Jasmine yang jauh lebih dewasa daripada seusianya dan Lili, gadis paling kecil yang polos, imut dan bener-bener love-able.  Hanya saja terkadang dialog dan sikap yang ditunjukkan mereka amat dewasa, padahal umur mereka masih kecil. Mungkin penulis beranggapan setelah mengalami suatu guncangan psikologis, hal itu dapat seketika mempengaruhi psikologis mereka. Tetapi sebenarnya saya berharap kalau mereka tumbuh menjadi anak yang biasa-biasa saja. Tidak harus spesial, tidak harus super bijak, hanya tumbuh menjadi anak kecil yang normal. Tapi toh saya tak tahu perihal psikologi, jadi mungkin saja hal yang terjadi pada mereka memang bisa terjadi.

Adegan yang paling saya suka adalah ketika Jasmine memberikan bunga mawar biru kepada pelaku pemboman, saat sidang. Momen inilah yang membuat saya mengerti apa sebenarnya isi dari keseluruhan cerita dalam buku ini. Penerimaan, pengikhlasan, memaafkan, semuanya terangkum dalam kejadian itu. Tidak bisa tidak, saya sempat meneteskan air mata haru akan besarnya rasa hormat Jasmine kepada Tegar sampai-sampai ia bersedia memaafkan pelaku pemboman yang menjadi penyebab kematian Ayah mereka, lalu ibu mereka yang delusional. Ah, saya harus belajar lebih banyak dari peristiwa ini.

Jadi saya rasa empat bintang layak bersanding dengan Senja bersama Rosie. :)

Salam,

Salam,