Judul Buku : Senja di Chao Phraya
Penulis : Endah Raharjo
Pemerhati Aksara : F. Winiarrum & Denieka
Penerbit : LeutikaPrio
Cetakan Pertama :
2012
Tebal : 326
halaman, paperback
ISBN :
978-602-225-432-4
Akhirnya saya
mengkhatamkan buku ini. Sejak awal buku ini muncul di Goodreads, saya sudah
tertarik dengan judulnya. Well, juga covernya, yang mengundang rasa penasaran
tentang Senja di Chao Phraya.
Larasati adalah
seorang wanita berusia 44 tahun yang memiliki pekerjaan sebagai seorang
antropolog. Ia janda beranak dua, Mega dan Angka yang sudah remaja. Pekerjaan
Laras sebagai Antropolog sering mengharuskan dia pergi ke luar negeri, kali ini
ia mendapatkan kontrak kerja dengan sebuah lembaga penelitian di Bangkok selama
hampir setahun dari 2008-2009.
Sungai Chao Phraya gambar dari photos.igougo.com |
Suatu hari ia bertemu dengan Osken O’Shea, seorang sosiolog berumur 50-an keturunan Kazakhstan dan Irlandia. Pertemuan mereka berawal di restoran, sampai secara tidak sengaja bertemu lagi di boat yang akan melintasi Sungai Chao Phraya. Semenjak itu mereka sering bertemu bersama dan dari obrolan-obrolan ringan mereka, mulai terpercik benih-benih cinta. Pernah sekali Laras mencoba mengelak dari perasaan itu tepat ketika mereka akan pergi kencan, tapi ternyata sia-sia, sekuat apapun Laras mencoba menghindar, takdir mempertemukan mereka kembali. Dan rasa cinta itu makin kuat.
Pun setelah Laras
kembali ke Jogja, rumah tempatnya berteduh dan tempat dua mata hatinya berada,
rasa rindu sering mengentak dada Laras untuk kembali menemui Osken. Tapi
pelan-pelan Laras sadar masa depan cintanya dengan Osken terancam berjalan
tidak mudah. Apa kata orang tua kalau ia akan menikahi seorang bule? Perbedaan
ras, perbedaan adat, perbedaan budaya, terutama lagi perbedaan agama yang jelas
jelas ada. Serta kebiasaan yang berbeda, anak-anaknya yang telah 5 tahun ini
terbiasa hidup bersandar hanya dengan Laras seorang, maukah mereka membuka
kesempatan bagi Osken untuk masuk ke keluarga mereka?
Mampukah Laras
mempertahankan cintanya? Atau ia harus memilih Osken atau orang-orang
terkasihnya?
Rasanya ada yang
kurang saat saya menutup lembar terakhir buku ini. Kenapa? Pada dasarnya ide cerita di buku ini bisa
kita temukan di banyak novel romance (atau bahkan di kehidupan nyata itu
sendiri) seorang wanita Indonesia jatuh cinta dengan lelaki bule. Yang
membedakan adalah bagaimana Penulis menceritakan kisah ini dengan kerumitan
hidup si Laras. Ia Janda beranak dua.
“Menjadi janda juga serba saah. Bila memilih sendiri, para istri akan mencurigainya sementara para suami sembunyi-sembunyi mengganggunya. Bila memutuskan berpacaran, orang-orang akan menuduhnya gatal. Bila berniat menikah lagi, tak sedikit yang menudingnya tega menelantarkan anak-anaknya dan melupakan suaminya. Suami yang telah tahunan terkubur di perut bumi dan tak mungkin bangkit lagi.”-Hal.199
Miris ya? Mereka
itu kan juga manusia, butuh kebutuhan batin maupun fisik seperti halnya yang
masih memiliki pasangan. Mereka butuh tempat bercerita, berkeluh kesah,
bersandar, menangis dan banyak hal lainnya yang tidak bisa sembarangan dipinta
kepada orang lain.
Secara garis
besar, saya suka ide buku ini hanya saja alurnya.. cukup.. lambat, dan sedikit
memusingkan karena maju mundur maju mundur, tapi dalam kapasitas mengenang. Saya
baru menemukan ketegangan ketika masuk di Bab Merapi mulai meletus, akhir tahun
2011. Bab 32 dari total 55 bab. Osken yang memutuskan berkunjung ke Jogja mulai
mengenal orang tua dan anak anak Laras, dan sedikit demi sedikit pertentangan
mulai terjadi. Nah sebelum bab itu, rasanya percintaan mereka biasa-biasa aja.
Iya sih, memang ada kekhawatiran Laras yang sudah sejak jauh hari dimunculkan,
tapi tetep gregetnya kurang. :D
Lalu konflik
kemanusiaan yang bertebaran di buku ini. Tak hanya di Bangkok, yang manjadi
sebagian besar latar cerita, tapi di Jogja saat terjadi erupsi Merapi juga
dikisahkan sedikit tentang korban-korban benacana alam ini. Lalu Osken yang
juga sering mengurusi misi kemanusiaan membuka pengetahuan saya akan negara-negara
dunia ketiga lainnya yang kondisi rakyatnya masih memprihatinkan, terutama wanita
dan anak-anak.
Untuk tokoh yang
saya suka dari cerita ini? Saya suka Osken daripada Laras. Hihi, mungkin karena
Laras lebih sering galau ya daripada Osken (ya iyakali, Laras kan cewek, lebih
sensitif. :D). Osken adalah tipe lelaki yang pantang menyerah, ketika ia sayang
dengan seorang wanita ia benar-benar memberikan semuanya untuk wanita itu
(dalam hal ini Laras, tentu saja), waktu, perhatian, kasih sayang, anything.
Osken juga tipe lelaki langka (saya harus mengakui ini saudara-saudara), Ia
tipe lelaki yang sangat menghormati wanita, semua wanita. Suatu sikap yang saya
rasa makin sulit kita temukan saat ini, karena banyak laki-laki yang tidak
menghargai wanita sebagai manusia.
Singkat kata,
semua yang ada di buku ini cukup untuk membuat saya memberikan tiga bintang
bagi buku ini. :)
Satu quote yang saya suka di buku ini.
Satu quote yang saya suka di buku ini.
Ini hidupku, aku punya hak untuk bahagia dengan caraku.
Sedikit tentang
Penulis :
Latar belakang Endah
Raharjo adalah arsitek dan pernah belajar mengenai Urban Studies and
Planning. Studinya diselesaikan pada tahun 1987. Tapi selama ini ia tidak
pernah serius berkarya sebagai artistek. Semua proyek yang ia kerjakan sejak
tahun 1988, berhubungan dengan kepenulisan.
Anda bisa
membaca proses penulisan buku ini di http://sosok.kompasiana.com/2012/07/08/sepenggal-kesaksian-proses-kreatif-endah-raharjo/
Atau Anda juga
bisa menikmati tulisan tulisan Endah lainnya di http://endahraharjo.blogspot.com/
Silakan berkunjung
:)