Judul buku : A Woman is No Man
Penulis : Etaf Rum
Narator : Ariana Delawari, Dahlia Salem, Susan Nezami
10 Jam Audiobook
Penerbit : Harper Audio
It took more than one woman to do things differently. It took a world of them
Brooklyn, 2008. Deya yang baru berusia delapan belas tahun dianggap telah cukup umur untuk menikah. Neneknya yang bernama Fareeda akhirnya berhasil menemukan calon suami yang akan dipertemukan dengan Deya. Ini tak urung membuat Deya kesal karena ia tidak mau menikah, setidaknya bukan di usianya yang baru 18 tahun, ia ingin kuliah bukannya menikah. Deya adalah anak pertama dari empat bersaudara yang kesemuanya perempuan. Ibunya bernama Isra dan ayahnya yang bernama Adam meninggal dunia dalam kecelakaan mobil ketika Deya masih berusia 11 tahun. Deya tidak ingat banyak tentang kedua orang tuanya selain ibunya yang selalu murung dan ayahnya yang ringan tangan (in a negative way).
Isra berasal dari tanah Palestina yang diboyong ke Brooklyn ketika ia telah dinikahi Adam. Tinggal di daerah pengungsian membuat Isra berharap banyak atas kepindahannya ke Amerika. Ibunya memaksa Isra bersyukur atas pernikahannya karena ada banyak wanita lain yang berharap bisa pergi dari tanah penuh konflik itu. Dengan memiliki suami seorang Amerika, Isra sendiri sudah merasakan banyak kebebasan yang sebelumnya tidak ia dapatkan sebagai warga Palestina. Bersama Adam ketika mereka baru mengurus kepindahannya, ia dengan mudah pergi ke Jerusalem mengurus administrasi dan paspor serta mengunjungi Masjid Al Aqsa yang seumur-umur -meski ia adalah rakyat Palestina- tidak pernah bisa ia datangi. Israel memperketat pengawasan dan persenjataan lengkap dalam setiap pos-pos yang mereka lewati, tetapi sekali lagi karena ia menikahi warga Amerika, ia bisa dengan mudah melewati pos-pos tersebut.
Di Brooklyn, kehidupan Isra jauh dari apa yang ia bayangkan. Fareeda terus-terusan menekannya untuk memiliki anak lelaki, dan harus tunduk pada adat budaya Palestina. Bagi Fareeda, Adam sebagai anak pertama lelaki sudah selayaknya mempunyai anak laki-laki juga yang akan meneruskan garis generasi mereka. Isra sama sekali tidak menemukan kebebasan di rumah suaminya, sedangkan suaminya jarang sekali ada di rumah karena Fareeda terus menyuruh Adam untuk bekerja keras demi menghidupi keluarga mereka juga biaya kuliah adik laki-lakinya.
Diceritakan dari tiga orang sebagai tokoh utama, yaitu Deya, Isra dan Fareeda, buku ini sungguh menguras emosi pembacanya, mungkin karena saya juga seorang wanita dan seorang muslim. Dalam alur maju mundur, pembaca menyaksikan bagaimana kehidupan wanita yang terkungkung adat secara konvensional serta penafsiran agama yang ditelan mentah-mentah membuat hidup wanita seakan bukanlah manusia.
That was the real reason abuse was so common, Isra thought for the first time. Not only because there was no government protection, but because women were raised to believe they were worthless, shameful creatures who deserved to get beaten, who were made to depend on the men who beat them.
Mereka hanya benda yang bertugas untuk menerima apa saja yang menjadi "naseeb" (nasib) mereka dan tidak boleh mengubahnya. Bagi Fareeda terutama, yang masih berpandangan kolot, tugas istri adalah berbakti pada suami (titik). Biarpun suami menghajar sampai babak belur, terima saja, sudah menjadi takdir wanita untuk selalu bersabar. Begitu juga untuk menikah, buat apa wanita belajar tinggi-tinggi karena kodratnya adalah melahirkan dan mengasuh anak. Rasanya pingin saya tabok ini ibu-ibu tiap dia muncul di cerita. *istigfar*
Tapi biar kata saya jengkel sekali membaca buku ini, saya ngga bisa tutup mata begitu saja karena mungkin memang begitu keadaan wanita di Palestina dan wanita pada umumnya yang takut untuk bersuara. Mereka tinggal jauh dari keluarga setelah menikah dan tidak punya support system yang memungkinkan mereka untuk melawan. Alih-alih mensupport, kadang keluarga sendiri adanya ya cuma nyuruh sabar-sabar, Sesungguhnya memang Allah bersama orang yang sabar. Tapi bukan berarti kita disuruh diam aja nerima nasib kita, Di QS:13:11 Allah berfirman bahwa Ia tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri.
Deya dan Sara (iparnya Isra) merupakan dua generasi lebih muda yang menunjukkan bahwa ada pilihan yang masih bisa diambil bahkan di saat tersulit sekalipun. Bahwa wanita masih bisa memilih jalan mereka sendiri meski jelas jauh akan lebih sulit dilalui dibandingkan jalan yang diambil oleh pria. Mau nggak mau kita masih memiliki masyarakat yang mayoritas masih patriarki.
Karakter tokoh di cerita ini begitu luwes dibangun, dan sesungguhnya menurut saya bukan hanya tokoh wanita saja yang diceritakan "menderita" dalam cerita ini. Adam sebagai anak lelaki pertama juga dituntut begitu banyak oleh orang tuanya, terutama oleh Fareeda. Banyak anak banyak rejeki juga sepertinya merupakan prinsip yang dipegang teguh oleh nyonya rumah satu ini. Padahal banyak anak berarti harus lebih banyak mencari rejeki, karena rejeki ngga akan turun begitu saja dari langit.
Isra yang mengalami depresi seringkali dikaitkan dengan "kerasukan", possessed by jinn kalau kata si Fareeda. Kultur Fareeda yang konvensional sangat sulit menerima perkembangan zaman sehingga ia menolak dengan keras hal-hal yang kebarat-baratan termasuk tentang kondisi psikis seseorang yang benar bisa terganggu dan tertekan tanpa harus bawa-bawa jin sebagai kambing hitam. Isra melarikan diri dari kegelapan jiwa yang merongrongnya lewat buku. Sejak dulu ia suka sekali membaca, ia juga sering membacakan cerita untuk anak-anaknya dan mereka menyukainya. Sulit untuk tidak kasihan pada Isra karena ia sudah menjadi anak perempuan, istri dan ibu yang berbakti namun orang-orang masih saja memandang rendah dirinya.
Saya sungguh berharap dan berdoa jika anak perempuan saya atau siapa saja perempuan yang membaca postingan ini kelak memiliki jalan hidup yang mereka pilih sendiri. Bukan atas paksaan atau tuntutan keadaan, apalagi demi menyenangkan hati orang lain. Cintai diri kalian dulu, kelak kalau kalian memiliki pasangan hidup ataupun anak, baru kalian bisa berbagi cinta yang lebih itu kepada mereka. You are important.
Karena buku ini sebenarnya saya baca dalam rangka Event Read Palestine yang digaungkan selama seminggu dari akhir November sampai awal Desember, saya mau sedikit bercerita tentang Palestina yang diceritakan di buku ini. Kisah Fareeda dan suaminya berawal dari peristiwa Nakba, yang menjadi latar, ketika hidup orang-orang Palestina begitu sengsara. Makanan yang terbatas, pekerjaan dan uang penghasilan yang amat sedikit membuat mereka mencari jalan untuk bisa keluar dari negeri tersebut. Seiring berlalunya waktu, dikisahkan bahwa baik Adam maupun ayahnya terkadang rindu untuk kembali ke kampung halaman mereka di Palestina. Fareedalah yang bersikukuh bahwa hidup di Amerika adalah lebih baik daripada tinggal di Palestina di mana mereka tidak memiliki kemewahan yang didapatkan di Amerika. Palestina juga diceritakan lewat sudut pandang Isra karena ia yang paling jelas berasal dari sana. Meski tempat pengungsiannya tidak seburuk yang diceritakan ayah mertuanya, Isra masih menganggap di sana wanita seakan tidak punya nilai berarti. Meski konon katanya surga berada di kaki ibu, tapi ibu-ibu mereka malah menganak tirikan mereka dan menganak emaskan anak lelaki. Bagaimana yang seperti itu bisa disebut surga?
Tell me, shouldn't a mother want her daughter to be happy? So why does mine only hurt me?
Karena saya membaca buku ini lewat mendengarkan audiobooknya dan tanpa membaca sinopsisnya, saya cukup kecele karena saya pikir Isra bernama Ezra, karena entah kenapa di telinga saya begitu kedengarannya. Sampai di tengah buku baru saya baca sinopsisnya serta beberapa review di goodreads biar ngga kagok kalau ketemu nama-nama atau istilah lainnya. Juga istilah "teta" untuk penyebutan nenek ala Palestina. Ya pokoknya gitulah ya, mungkin huruf arabicnya titah atau tita juga namanya aja panggilan.
Ada banyak lagi sebenarnya yang bisa dikupas dari buku ini, tapi nanti kepanjangan review saya. Mungkin lebih baik saya move on ke buku berikutnya. :')
Be First to Post Comment !
Posting Komentar