Judul buku : Mencari Simetri
Penulis : Annisa Ihsani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 240 halaman, baca di GD
ISBN : 978602 062 9353
Cetakan Pertama : 2019
Di usia yang mendekati kepala tiga, April mulai mengasihani hidupnya sendiri. Selain karirnya pas-pasan, kehidupan asmaranya pun tak bisa dibanggakan.
Namanya Armin, salah seorang teman kerja April, yang diam diam ditaksirnya. Sudah bertahun tahun mereka berteman, dan April mulai lelah dengan ketidakjelasan hubungan mereka. April berharap suatu hari nanti Armin melamarnya, paling nggak ya jadi pacar dulu gitu. Tapi Arminnya ngga peka dan Aprilnya kepala batu banget saking sukanya sama Armin.
Di sisi lain ada Papa yang mulai menua dan makin menjadi pelupa. Sementara Mama merawat nenek di Semarang, dan kakak yang telah berkeluarga, April terpaksa membagi bagi waktunya untuk pekerjaan dan mengurus Papa. April kehilangan waktu untuk dirinya sendiri, serta perlahan menyadari kehidupan sosialnya yang memprihatinkan membuatnya kesepian dan tak memiliki seorang teman untuk dijadikan keranjang curhat.
Mungkin April harus membetulkan jalan hidupnya, tapi bagaimana caranya?
Awalnya sih saya baca ini karena penasaran dengan kisah April dan Armin. Tapi ternyata saya lebih tertarik dengan interaksi April dengan Papanya, serta bagaimana ia menggambarkan kehidupan berkeluarga berkaca dari orang orang di sekitarnya.
Mungkin ada banyak April lain di luar sana, yang merasa insecure karena di saat kawan-kawan seumurannya sudah mulai memamerkan foto pernikahan bahkan anak anak mereka, April bahkan tak memiliki pacar untuk dipamerkan.
Tapi di sisi lain, April memiliki ketakutannya sendiri untuk menikah. Bagaimana jika ia menikah dengan orang yang cukup baik untuknya tetapi jika ia lebih sabar, mungkin akan ada orang yang jauh lebih baik untuknya? Bagaimana bisa seseorang hidup puluhan tahun bersama sama jika tidak saling mencintai? Dan yang lebih mengkhawatirkannya adalah, bagaimana jika ia tidak cukup baik untuk menjadi seorang ibu?
Dari sini konflik batin berubah menjadi bumbu yang membuat kisah biasa biasa saja di buku ini jadi lebih menarik buat saya. Saya rasa sudah menjadi kebiasaan melihat rumput tetangga lebih ijo dibandingin rumput kita sendiri. Demikian dengan April yang melihat betapa sempurnanya sang Kakak dengan keluarga mungilnya, juga Sita, temannya yang baru saja memiliki anak. Dengan adanya tokoh tokoh sampingan ini April mulai memikirkan langkah langkah yang akan ia ambil sambil berharap jalan hidupnya jadi lebih baik.
Ada satu kutipan yang saya suka di buku ini.
Memiliki anak adalah komitmen yang sangat permanen. Zaman sekarang kau bisa mengubah apa saja dalam hidupmu. Tidak suka pekerjaanmu? Berhenti, cari yang baru. Tidak suka pasanganmu? Kau bisa bercerai. Tidak suka warna rambutmu? Potong, luruskan, warnai biru. Namun, jika kau tidak suka menjadi orang tua, tidak ada jalan mundur.
Ya memang betul sih. Orang tua bisa memilih untuk tidak memiliki anak, tetapi anak tidak bisa memilih, di keluarga mana mereka dilahirkan. Entah di mana saya membaca kalimat itu, tapi terus terngiang ngiang di benak saya. Dan membuat saya ribuan kali menanyakan, menguatkan diri saya sendiri, apakah saya sanggup menjadi orang tua.
Karena seperti cerita dalam buku ini, menjadi orang tua adalah tanggungan seumur hidup, terus sampai tua, sampai tak lagi bernyawa.
Buku yang bagus sih, terutama buat dibaca sebagai selingan ringan. :)
Be First to Post Comment !
Posting Komentar