Judul buku : Wiji Thukul - Seri buku Tempo
Penulis : Tim Buku Tempo
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal : 160 halaman
Baca di Ipusnas dan Gramedia Digital
Tahun terbit : Juni 2013
ISBN13: 9789799105929
Hanya ada satu kata: Lawan!
Wiji Thukul adalah nama yang akrab bagi mereka pembaca sejarah penggulingan Orde Baru. Sosoknya yang amat sederhana membuatnya mudah bergaul dengan kaum kecil, terutama kaum buruh. Diawali dengan bab berjudul Dari Kota ke Kota, buku ini mengajak pembacanya mengikuti jejak Thukul dalam pelarian. Sosoknya pandai menyamar, berpindah dari kota kecil ke kota besar, Solo, Jakarta, sampai ke pelosok Kalimantan menjadi tempat persembunyiannya.
Dari tuturan saksi saksi mata, Thukul adalah sosok yang teliti dan hati-hati. Ia juga tidak mau merepotkan orang lain dan ramah terhadap siapa saja. Komunikasi terakhir Thukul dengan istrinya ada di saat pergolakan Mei 1998. Saat itu Sipon -istri Thukul- mengkhawatirkan suaminya yang memang sejak lama sudah diburu pemerintah karena terkait dengan Partai Rakyat Demokratik.
Jaker -Jaringan Kesenian- yang diasuh Thukul adalah underbow dari bagian seni PRD. Pemerintah saat itu menganggap Jaker seperti Lekra yang condong dengan sayap kiri. Bukan hanya Thukul yang diburu, tapi berdasar cerita hanya dia yang terus terusan ditanyai keberadaannya kepada para aktivis yang ditangkap aparat dan disiksa habis habisan. Thukul dituduh menjadi dalang kerusuhan pada bulan Juli 1996 di Jakarta.
Sejumlah aktivis lain yang diculik pada 1997-1998 tak jelas nasibnya hingga kini. Mereka adalah Yani Afri, Sonny, Herman Hendrawan, Deddy Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Petrus Bima Anugerah, dan Wiji Thukul
Bukan hanya Tim Mawar bentukan Kopassus yang ketika itu dipimpin Mayor Jenderal Prabowo Subianto, Kepolisian, Badan Intelijen ABRI, dan Komando Distrik Militer Jakarta Timur dianggap bertanggung jawab atas penculikan aktivis tersebut.
Pada tahun 2000, Sipon melaporkan hilangnya Thukul ke KONTRAS yang sampai sekarang masih belum menemukan titik terang. Beberapa informasi menyebutkan bahwa Thukul terlihat di sana sini, tetapi setelah didatangi, hasilnya tetap nihil. Hingga kini kartu keluarga Sipon masih menyantumkan nama Wiji Widodo sebagai kepala keluarganya. Ia tidak mau disebut janda selama ia belum dapat kepastian di mana Thukul sekarang ini.
Buku ini tak hanya memuat cerita Thukul saat menjadi penggerak perlawanan rakyat, namun juga bercerita mengenai masa kecilnya. Tinggal di Solo, Thukul tidak menamatkan SMK nya. Ia memilih untuk bekerja agar bisa membantu biaya sekolah dan jajan adik-adiknya. Saat inilah Thukul mulai aktif di teater dan makin aktif menulis. Ada juga puisi romantis Thukul untuk Sipon, yang meski lelaki ini ngga romantis tetapi sangat bertanggung jawab sebagai suami dan seorang ayah.
Wiji Thukul adalah seorang dari yang hilang akibat kesewenangan pemerintah dan kroninya. Membaca buku ini seperti tamparan keras akan kondisi politik saat ini. Tokoh yang berpindah haluan politik, tokoh yang dipuji padahal terbukti bersalah, dan tokoh-tokoh lain yang membuat saya berpikir apa yang Wiji Thukul pikirkan ketika ia melihat bangsa ini sekarang?
Sungguh tepat jika Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1992 tentang Perlindungan Semua Orang dari Tindak Penghilangan Paksa menyebutkan bahwa penghilangan paksa adalah kejahatan yang berkelanjutan. Maka ia tidak dibatasi oleh waktu, ia tidak bisa kedaluwarsa. Selama belum diungkap dan diakui, selama itu pula ia tetap sebagai kejahatan dan pelakunya setiap saat tetap bisa diancam untuk dipidanakan. - Robertus Robert, Dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta
Be First to Post Comment !
Posting Komentar