Judul Buku : Seri Buku Tempo - Lekra dan Geger 1965
Penyusun : Tim Liputan Khusus Tempo
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tebal : 155 halaman, baca di Gramedia Digital dan Ipusnas
Cetakan pertama : 2014
ISBN : 978-602-424-640-2 (Digital)
Sebab, tak satu pun yang berhasil mem-PKI-kan Lekra kecuali Soeharto. Bahkan Aidit tak bisa. – Putu Oka Sukanta
Lembaga Kebudayaan Rakyat atau yang lebih sering kita dengar dengan sebutan Lekra didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950, lima tahun setelah Indonesia merdeka. Sebagai sebuah Lembaga, Lekra memiliki anak cabang yang bermunculan di berbagai daerah di Indonesia yang kemudian berkembang dengan pesat. Kemajuan ini sebagian besar dikarenakan seni yang diangkat adalah seni yang merakyat, sehingga setiap ada pertunjukkan seni yang dibawakan Lekra, rakyat berbondong-bondong hadir untuk menyaksikannya.
Turba (turun ke bawah) adalah semboyan yang dipegang teguh oleh seniman-seniman Lekra, yang tua membimbing yang muda, yang muda juga dengan semangatnya menjadikan seni sebagai sarana untuk membela buruh dan petani. Berkat jalin-jemalin koneksi bahkan ada seniman seniman yang mendapatkan beasiswa untuk belajar ke luar negeri.
Tahun 1960-an adalah tahun kejayaan Lekra, selain karena struktur organisasi yang kuat dan menaungi banyak seni tradisional, Lekra juga menjadi alat propaganda politik para seniman.
Drama-drama dibuat berdasar dari pengalaman turba para seniman yang langsung mengalami peristiwa Bersama rakyat.
Mereka menggunakan seni sebagai media perlawanan terhadap ideologi kapitalisme – hal.16
Selain menceritakan sejarah Lekra dari awal terbentuk hingga tragedi G30SPKI yang mengambil banyak korban dari anggotanya, tapi juga bercerita tentang tokoh-tokoh yang pernah bersinggungan maupun mengambil peran dalam aktivitas Lekra. Tetapi jumlah pasti anggota Lekra tidak pernah tercatat secara pasti dan resmi, Lekra tidak memiliki kartu anggota dan sering gagal meregistrasi anggotanya.
Aidit dan Njoto adalah dua orang yang berperan penting dalam lahir dan berkembangnya Lekra. Meski keduanya berbeda haluan, Aidit merasa perlu menjadikan Lekra sebagai onderbouw PKI sedangkan Njoto dengan tegas menolak peleburan Lekra ke dalam PKI.
Buku ini menceritakan perjalanan Lekra dari lahir hingga diburunya para seniman terkait karena isu PKI dari berbagai sudut pandang. Paling banyak adalah wawancara dengan tokoh-tokoh yang terlibat langsung maupun dengan anak-anak mereka. Setelah peristiwa G30SPKI, seniman-seniman diburu dan dibunuh. Seni pertunjukan seperti Ludruk dan Ketoprak yang sebelumnya tajam dalam mengkritik pemerintah kini menjadi kelu karena corong Orde Baru.
Selain mengupas Lekra, buku ini juga membahas tentang Manifes Kebudayaan yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1963. Beberapa pelopornya adalah H.B. Jassin, Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, juga Sapardi Djoko Damono yang beranggapan bahwa ada yang tidak beres dengan berkesenian saat itu karena adanya tekanan dari kanan kiri. Mereka berpendapat bahwa seni itu seharusnya bebas. Sayangnya Presiden Sukarno resmi melarang Manifes ini di tahun 1964. Anggotanya diintimidasi, dipecat dari pekerjaan dan dicaci maki.
Sejatinya bagi saya pribadi, buku ini menjadi pengingat yang amat penting betapa politik bisa menjadi ular yang berbisa. Mengikat seniman dan seni itu sendiri adalah hal yang pernah terjadi dan kita seharusnya mengambil pelajaran agar hal ini tidak terjadi lagi.
Tapi saya penasaran, Seni lukis termasuk seni yang elite pada masa Lekra sehingga lukisan lukisannya masih bisa kita lihat di situs web pencarian, lalu bagaimana dengan seni yang lain? Apa pernah ada dokumentasi tentang penampilan Ludruk, misalnya. Atau ketoprak atau naskah naskah drama?
Mungkin kalau suatu saat saya nemu, saya bakal update di postingan ini xD
Be First to Post Comment !
Posting Komentar