Kurasa itulah yang terjadi kalau ada orang yang meninggalkan kita. Saat mereka pergi, kau tidak perlu diingatkan tentang semua hal buruk. Kau bisa mengenang orang itu sekehendakmu. Selamanya. Sempurna.
Tapi sampai kapan Evan mau berbohong? Jauh di lubuk hatinya ia tahu bahwa ia harus segera memberitahu kenyataannya kepada keluarga Connor, terutama kepada Zoe, adik Connor yang hubungannya makin hari semakin dekat dengan Evan.
Sebuah buku dengan cerita yang ringan, mungkin karena berdasar dari theater Broadway, makanya konflik yang diceritakan tidak rumit rumit amat.
Diceritakan dari dua sudut pandang, Evan dan Connor (yang sudah mati), buku ini mengambil tema bunuh diri dan persahabatan yang amat akrab bagi para remaja dan young adult.
Evan Hansen diceritakan sebagai seorang murid yang "tak kasat mata" di sekolah. Dia penyendiri, punya gangguan cemas, dan orang tua yang bercerai. Hidupnya hanya berkisar antara rumah, klinik dokter, sekolah. Ia mengkhawatirkan banyak hal, yang membuatnya tidak berani mengerjakan hal-hal baru.
Connor tidak diceritakan dengan banyak di awal cerita, tetapi setelah kematiannya, ia mulai bercerit tentang banyak hal. Tentang anggapan orang orang bahwa ia anak yang bermasalah, orang orang yang tidak percaya padanya. Juga tentang sahabat yang pernah ia punya, tapi terlepas dari genggamannya. Ia membenci tapi juga menyayangi keluarganya. Ia yang dalam pencarian jati diri, tergelincir dan memutuskan untuk mengakhiri saja hidupnya.
Saya sebagai seorang emak, sebenarnya cemas sih setelah membaca buku ini. Bagaimana seharusnya cara orang tua menunjukkan kepada anaknya bahwa apapun yang terjadi sama anaknya, ia akan selalu mencintainya? Bagaimana meyakinkan si anak bahwa ia begitu berarti?
Tiga bintang untuk Evan Hansen, kabarnya filmnya akan liris akhir tahun nanti. Semoga sama bagusnya seperti ceritanya.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar