Judul buku : Second Chance Summer - Kesempatan Kedua
Penulis : Morgan Matson
Alih bahasa : Cindy Kristanto
Penerbit : Gramedia pustaka Utama
Tebal.: 456 halaman, baca di SCOOP
Katakan, Taylor-ku. Kapan kau merasa paling bahagia?
Musim panas kali ini terasa berbeda bagi Taylor dan keluarganya. Selain rencana untuk menghabiskan waktu di rumah musim panas,ini juga jadi musim panas terakhir bagi sang ayah yang divonis bahwa hidupnya tingal empat bulan lagi. Rumah musim panas itu sebenarnya tidak terlalu buruk, dulu tiap tahun mereka menghabiskan musim panas di sana. Berlibur sebagai keluarga di pinggir danau dan sibuk dengan kegiatan ala anak anak umumnya. Tetapi semenjak lima tahun lalu, rutinitas itu berubah. Mereka mulai sibuk dengan kegiatannya masing masing sehingga tak lagi memiliki kesempatan untuk berlibur bersama.
Maka itu sang ayah memutuskan untuk menikmati liburan terakhirnya dengan dikelilingi oleh orang orang yang ia cintai. Meski sebenarnya Taylor dan dua saudaranya tidak menyukai rencana tersebut, tapi mereka tahu bahwa mereka harus memanfaatkan waktu terakhir sang ayah dengan sebaik mungkin.
Taylor sendiri meninggalkan pengalaman tak menyenangkan dalam musim panas lima tahun lalu di rumah musim panas mereka. Ia memendam rasa bersalah atas sebuah kejadian yang merusak persahabatannya dengan Lucy dan Henry, dan Taylor tahu kedatangannya kali ini tidak akan disambut baik oleh mereka. Taylor bahkan tidak tahu bagaimana cara menghadapi mereka kelak.
Tetapi ia akan melakukan apapun untuk ayahnya. Orang yang selama ini cukup dekat dengannya dibanding anggota keluarga lainnya. Dan siapa tahu ada keajaiban yang terjadi, kelak ayahnya akan pulih dan sehat lagi. Bukankah itu yang sering terjadi di cerita cerita?
Maka inilah cerita tentang Taylor dan musim panasnya yang spesial, ketika ia mendapatkan kesempatan kedua untuk lebih mencintai dan menghargai kehadiran orang orang terdekatnya.
Sebenarnya saya sudah diperingatkan oleh Mbak Lila kalau membaca buku ini mungkin akan menguras air mata. Awalnya sih saya nggak begitu percaya, seberapa melankolis sih ceritanya, pikir saya. Tapi ternyata saya salah besar. Bagian atas kaos saya basah karena dipake buat ngelap air mata selama membaca ceritanya, apalagi bagian bagian terakhirnya.
Secara emosional, pembaca diajak untuk mengupas perasaan yang dirasakan Taylor tentang ayahnya. Keluarga mereka bukanlah tipe keluarga terbuka, sehingga rasa takut kehilangan itu ditekan kuat kuat sampai akhirnya meledak. Tak ada seorang pun, tidak juga sang ibu, yang mau bercerita seberapa parah penyakit sang ayah. Sampai mereka melihat sendiri penyakit itu menggerogoti dan mengubah ayah mereka menjadi sosok Yang menyedihkan dan berbeda.
Sebenarnya saya sudah menimbun buku ini cukup lama mengingat saya suka dengan karya penulis sebelumnya, yaitu Amy & Roger's Epic Detour. Tema yang diambil juga serupa, sama sama tentang keluarga, hanya saja kali ini lebih sedih dan lebih menyentuh. Atau mungkin ini hanya kesubyektifan saya saja karena saya punya ketertarikan terhadap cerita bertema kanker.
Sama seperti Taylor, ketika membaca buku ini saya jadi seakan diingatkan kembali seberapa dekat dan seberapa kenal kita terhadap orang orang yang kita cintai. Selama ini kita mencintai mereka, tapi tahukah kita apa makanan kesukaannya? Film favoritnya? Pengalaman cintanya? Atau yang lebih sederhana, pernahkah kita mengungkapkan rasa sayang kita terhadap mereka?
Mungkin antara penyesalan atau kelegaan yang dirasakan Taylor karena ia masih punya waktu untuk mengenal ayahnya lebih dekat meskipun hanya sebentar.
Selain tentang keluarga, novel ini juga mengambil tema persahabatan dan cinta sehingga ada banyak jalinan konflik di dalamnya. Yang mana menurut saya sesuai banget untuk pembaca di usia akhir belasan, seperti Taylor, dengan kecenderungan punya pemikiran yang kompleks dan kesensitifan perasaan yang tinggi.
Bagi saya novel ini bagus, karena menunjukkan betapa berharganya keluarga yang kita miliki, persahabatan yang kita jalani, serta kekasih yang kita cintai, dalam kehidupan kita terutama saat kita menghadapi hal hal sulit. Kalau kamu tertarik pada novel bertema hal hal di atas, saya rasa kamu harus membaca novel ini.
Jangan lupa siapkan tisu, kalik aja kamu juga mewek kayak saya.
Mwahahaha... Kok pake kaos, Vin, ngelap airmata nya. Pake slendang kan lebih afdol. Eh, baru liat tampilan blogmu, cwaanteeeqqq...
BalasHapusYa kan benda terdekaat itu kaooss
HapusMau banget baca buku ini. Jadi inget novel Sabtu Bersama Bapak. Tipe-tipe cerita keluarga memang selalu berhasil bikin saya nangis.
BalasHapusIyaa jadi sensitip gitu perasaannya ya :(
HapusHalo mbak, boleh kah bertanya, desainer cover untuk versi indonesia ini siapa ya? Terima kasih.
BalasHapus