Judul
Buku : Negeri Para Roh
Penulis :
Rosi L Simamora
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Cetakan
pertama : 2015
Tebal : 288
halaman, ebook (beli di scoop)
ISBN :
978-602-03-2113-4
Kadang-kadang
yang perlu kita lakukan adalah menyerah pada apa yang diinginkan hati kita.
Berani melepaskan luka-luka masa lalu supaya kita bisa hidup lagi.
Pertama
tahu judul buku dan cover buku ini, saya langsung jatuh cinta. Terasa suasana
magis yang ditegaskan dengan sinopsisnya, bahwa buku ini berdasarkan kisah
nyata dari empat orang yang selamat dari tragedi.
Sepuluh
tahun lalu tepatnya tanggal 6 Juni 2006, lima orang kru Jejak Petualang bersama
tiga orang kru longboat yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan di Laut
Arafuru. Empat orang selamat, empat orang lainnya hilang ditelan samudra
termasuk di dalamnya seorang juru kamera yang bernama Bagus Dwi. Di dalam buku
ini, semua nama tokoh dibuat beda dari aslinya, kecuali nama Bagus Dwi.
Cerita
berawal dari perjalanan Senna dalam mengenang rasa kehilangannya atas Bagus
Dwi. Terdesak perasaan bersalah, mimpi buruk yang menghantui, serta logika yang
terus mengkalkulasi besarnya kemungkinan Bagus untuk selamat, rupanya meski
sudah sembilan tahun Senna masih belum dapat merelakan kepergian salah satu kru
terbaiknya itu. Maka Senna memutuskan untuk kembali dari awal segalanya
bermula, kembali ke pedalaman Suku Asmat nun di timur Indonesia. Mungkin dengan
demikian ia dapat melepaskan kesedihan yang terus menggerogotinya. Dalam
perjalanan itulah kita diajak Senna menyimak kembali apa yang terjadi sebelum,
saat dan setelah musibah itu terjadi sampai bagaimana mereka kelak
diselamatkan.
Selama
sepuluh hari, para kru Petualang mendokumentasikan kehidupan Suku Asmat. Kru
itu terdiri dari Senna sang pemimpin, Sambudi dan Bagus Dwi sebagai cameraman, Totopras tangan kanan
sekaligus asisten sekaligus reporter dan Hara sang reporter wanita yang
benar-benar baru memulai kariernya langsung di medan pedalaman Papua tersebut.
Tentu saja
sepuluh hari bukanlah waktu yang singkat untuk tinggal jauh dari peradaban dan
tinggal bersama kebudayaan yang masih amat primitif. Maka ketika ada kesempatan
untuk pulang, tentu saja mereka memutuskan untuk mengiyakan perjalanan
tersebut. Meski ada tanggal keramat dan petuah tetua yang menyarankan agar
mereka tidak berangkat.
Semua
perjalanan selalu ditutup dengan pulang.
Awalnya,
perjalanan itu begitu meyakinkan. Cuaca mendukung, ombak masih teratasi, semua penumpang
longboat mulai membayangkan apa yang akan mereka lakukan setelah sampai di kota
kelak. Tapi secepat apa perubahan langit dan ombak, siapa pula yang bisa tahu?
Seketika ombak makin mengganas hingga membalikkan longboat dan penumpangnya ke lautan.
Semua orang
ketakutan, hingga empat orang berhasil berkumpul terkatung-katung sambil berpegangan
di sebuah dry box berukuran 50 cm yang
dijadikan pelampung. Tiga kru longboat bersama Bagus terlihat berhasil
mempertahankan longboat dan mencoba untuk memberi pertolongan agar mereka yang
terjatuh di laut bisa naik kembali ke kapal.
Anehnya,
seakan ada tangan tak kasat mata yang terus-menerus memisahkan mereka,
mendorong kedua pihak ke arah yang berlawanan. Hingga longboat dan penumpangnya
hilang dari pandangan Senna dan kawan-kawan.
Terkatung-katung
selama puluhan jam, termasuk melewati malam, membuat keempatnya sangat
bersyukur ketika berhasil menemukan pulau kecil. Meski dalam hati begitu
ketakutan dan pesimis, mereka terus menggenjot keyakinan hati bahwa Bagus pasti
akan berhasil sampai ke daratan dan meminta pertolongan.
Sayangnya
harapan tak selalu sejalan dengan kenyataan. Senna dan tiga kawannya harus
berhari-hari tinggal di pulau itu, bertahan hidup sebelum akhirnya berhasil
ditemukan dan diselamatkan. Itupun mereka masih harus menelan pil pahit bahwa
Bagus tidak berhasil ditemukan. Jangankan Bagus ataupun ketiga kru kapal,
longboat yang mereka tumpangi, puluhan jeriken yang mereka bawa, taka da satupun
yang berhasil ditemukan. Seakan-akan semuanya lenyap ditangkup tangan-tangan
lembut lautan.
Buku ini
semakin apik karena di dalamnya juga diceritakan tentang kisah-kisah dari Suku
Asmat. Mungkin karena itulah saya bisa merasakan betapa sakral sekaligus cantiknya
gambaran Suku Asmat di dalam cerita. Belum banyak kan novel yang mengambil
latar sebuah suku di Indonesia, diceritakan dan dilibatkan dalam berbagai
adegan, sehingga menghasilkan cerita yang modern diimbangi dengan adat yang
kuat.
Apalagi
buku ini berkisah tentang para penyintas, tentang pengalaman bertahan dan
berserah diri mereka kepada Tuhan. Jujur saja, saat dan setelah membaca buku
ini, saya jadi makin mensyukuri hal-hal sederhana yang ada di sekitar saya.
Saya semakin percaya bahwa Tuhan memelihara kita, sama seperti Tuhan memelihara
para penyintas di cerita.
Saat berputus
asa, kebutuhan mereka selalu dicukupkan Tuhan. Saat haus, ada botol berisi air
mineral yang mereka temukan. Saat kelaparan, ada siput dan ikan yang berhasil
mereka pancing. Yang mereka lakukan hanyalah berusaha lalu memasrahkan segala
sesuatunya kepada Tuhan.
Buku yang
berisi cerita yang bagus dan bahasa yang memesona. Kalau kalian suka dengan
petualangan dan keindahan alam, saya akan sangat merekomendasikan buku ini
untuk dibaca.
Sampulnya keren, abstrak-abstrak gitu
BalasHapushttp://artikelmashamdan.blogspot.co.id/2016/07/daftar-ga-buku-di-website-dan-blog.html
Keren sampulnya, abstrak-abstrak gitu
BalasHapusKunjung balik ya...
http://artikelmashamdan.blogspot.co.id/2016/07/daftar-ga-buku-di-website-dan-blog.html