Judul Buku
: Surga Retak
Penulis :
Syahmedi Dean
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 488
halaman
Cetakan
pertama : Juli 2013
ISBN : 9789792296327
Jangan pernah remehkan kata hati. Itulah kelemahan kau, meremehkan hati kau sendiri.
Suri tak
tahu kemana Bapak akan membawa pergi dia dan Fatma, saudara kembarnya. Di
tengah malam mereka meninggalkan rumah, berkendara motor bertiga meskipun Fatma
dalam keadaan demam. Bagaimanalah pula nasib mereka kelak, apakah mereka bisa
sekolah lagi? Bagaimana pula dengan Murad, anak lelaki yang akhir akhir ini
jadi satu satunya sahabat Suri? Ah hidup memang berat, meskipun di tanah Deli
yang makmur ini, hanya kaum ataslah yang kekayaannya berlimpah. Apalagi bapak
hanya senang bermain judi, jarang pulang ke rumah, dan sekarang malah entah
mereka kabur ke mana. Bapak berkendara seperti dikejar setan saja.
Rupanya Bapak mengajak mereka pindah ke kampung lain di Baturaja. Di sana mereka diperkenalkan kepada Tante Nur, wanita yang akhir akhir ini menempel terus dengan Bapak. Mungkin Bapak sedang jatuh cinta dengan wanita itu, meskipun ia sudah beranak satu, Rohana namanya. Meski awalnya Suri dan Fatma membenci Rohana dan Tante Nur, tapi lama kelamaan mereka sudah merasa menjadi keluarga.
Suatu hari setelah perkenalan Suri dengan Nek Gintung, seorang dukun terkenal di kampung tersebut, Suri mengetahui banyak rahasia dalam hidupnya dari wanita tua itu. Tentang bapak juga tentang masa depan Suri. Sampai takdir membawa Suri pergi melarikan diri dari kampung tersebut, meninggalkan orang orang tercintanya.
Kisah hidup Suri buat saya cukup menarik dan.. yah, amat memusingkan ((Mwahahah)). Saya capek mengamati hidup Suri yang jumpalitan nggak karu-karuan. Beruntung tokoh Suri adalah sosok yang ceplas-ceplos, apa adanya tapi juga lugu. Ia tak sungkan mengungkapkan pikiran atau perasaannya terhadap orang lain. Pandai bergaul dengan orang baru, dan hampir selalu mengingat nasihat nasihat kebaikan dari ibunya dulu. Paras Suri pun cantik, tapi dia tidak tinggi hati bahkan selalu merasa rendah diri. Dia menghormati sekaligus membenci kehidupannya yang susah dan keras.
Ditulis dalam memperingati 150 tahun tanah Deli, novel ini mengangkat kritik sosial yang kuat terhadap persoalan sengketa tanah yang ada di sana. Para pejabat berlomba lomba menguasai tanah yang bukan milik mereka, sedangkan rakyat kecil terus terdesak terusir dari kampung halaman mereka sendiri. Pada awalnya, cerita tentang Belanda di satu bab khusus membuat saya berkerut kening. Apa pula ada cerita tentang Belanda yang mendatangkan tenaga tenaga dari luar Deli di satu bab ini. Ternyata fungsinya sebagai pengantar bahwa tanah Deli yang subur dan makmur sejak dulu tak pernah bisa dinikmati rakyatnya. Yah, meski menurut saya sih agak dipaksain juga ini sejarah tentang Belandanya.
Udah gitu
ada cerita mistisnya pula yang entah apa maksud si penulis menuangkan di dalam
cerita ini. Mungkin menegaskan kalau latar cerita ini (tahun 87-an) masih
banyak hal-hal yang berbau ilmu hitam di tanah Deli? Atau malah mau menambah
bumbu yang menegaskan kalau orang-orang Belanda pada jaman dahulu banyak yang
datang ke Deli? Embuh yang mana yang benar.
Singkatnya
sih, saya juga bingung Surga siapa yang retak. Surganya Suri atau Tanah Deli?
Be First to Post Comment !
Posting Komentar