Judul Buku : Salt to The Sea
Penulis : Ruta Sepetys
ISBN : 978-0-698-17262-3
Penerbit : Philomel Books
The sound of children screaming, wood splintering, and life departing roared from behind.
Di tengah-tengah perang, harapan
sekecil apapun pasti akan dicari dan dipegang sebagai tempat bertumpunya
kekuatan untuk hidup. Begitu pula dengan kelompok kecil yang dipimpin Joana,
seorang perawat di usia awal dua puluhan. Bersama seorang lelaki pembuat sepatu,
seorang anak lelaki berusia 6 tahun yang yatim piatu, seorang gadis buta, dan
seorang wanita yang bertubuh besar bernama Eva, mereka berjalan di tengah hutan
yang penuh salju menuju pelabuhan, tempat kapal-kapal harapan akan membawa
mereka pergi dari kekejaman perang.
Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seorang gadis muda bernama Emilia dan seorang anak muda Jerman bernama Florian. Awalnya Eva menolak dua orang tersebut bergabung di kelompok mereka. Tetapi Florian terluka, dan naluri kemanusiaan Joana terdesak untuk merawat pemuda itu bersama Emilia. Singkat cerita, mereka berhasil mencapai pelabuhan yang penuh sesak manusia dan barang. Mereka masih harus mengurus administrasi dan pemeriksaan bawaan sebelum diperbolehkan naik ke kapal.
Joana memiliki surat rekomendasi dari dokter tempatnya belajar dulu sebelum perang meletus, sehingga ia dengan mudah mendapatkan akses masuk ke kapal. Demikian pula dengan Florian yang diam diam menyimpan misi penting dalam perjalanannya. Sesuatu yang berhubungan dengan harta karun, bahkan mungkin berhubungan dengan Hitler sendiri.
Karena ini berdasarkan fakta, mau tidak mau saya sebagai pembaca tentu sudah tahu seperti apa akhir ceritanya. Yang tidak terbayangkan adalah betapa besar perjuangan yang harus mereka lalui, berapa banyak kehilangan yang harus mereka rasakan saat menuju kapal tersebut. MV Wilhelm Gustloff memiliki panjang 208 meter, setinggi 56 meter dan baru berumur delapan tahun. Kapal ini adalah kapal pesiar, sehingga ketika akan digunakan untuk mengangkut pengungsi, banyak barang-barang berharga yang diungsikan ke luar kapal. Seharusnya kapal ini hanya dapat memuat 1400-1800 penumpang, tetapi pada keberangkatannya di akhir Januari 1945 itu, ia membawa pengungsi dan para tentara sejumlah 10ribuan orang.
Novel ini
memiliki cara penceritaan yang tak jauh beda dari novel Ruta sebelumnya, PoV
dari orang pertama. Uniknya, kali ini diceritakan dari PoV empat orang secara
bergantian, Joana, Florian, Emilia, dan Alfred. Tunggu, saya belum bercerita
tentang Alfred, ya? Alfred adalah pasukan muda Jerman yang bertugas di
pelabuhan dan kapal Wilhelm Gustloff, dari PoV dialah kita akan mendapat
gambaran jelas tentang kapal tersebut. Nah, diceritakan secara bergantian
membuat penggalan kisahnya malah membuat makin penasaran. Rahasia apa yang
disembunyikan masing-masing tokoh, serta kejutan kejutan yang diberikan penulis
di sela sela cerita. Terlebih lagi karena diceritakan dari berbagai PoV,
alurnya jadi cepat dan membantu pembaca memahami apa yang ada di pikiran tiap
tokoh.
Dari banyak tokoh di buku ini, saya suka Emilia. Sosoknya yang rapuh sekaligus kuat benar benar menggambarkan keadaan para pengungsi saat itu. Ketakutan serta harapan palsu yang terus menerus diyakini membuat saya kasihan padanya. Tapi di lain hal, saya kagum dengan keberanian serta pengendalian diri yang ia miliki. Sejatinya ia adalah orang Polandia yang terbuang, seharusnya dia tidak diperbolehkan naik ke kapal pengungsi Jerman sebab orang orang Polandia, menurut Hitler, harus dimusnahkan.
Membaca novel ini, mirip mirip lah perasaannya sama kayak baca Between shadesof gray, nyesek, kaget sekaligus pilu membayangkan hal-hal yang harus dialami para pengungsi.
Sebenarnya yang lebih nyesek lagi karena sebelum saya membaca buku ini, saya ngga pernah dengar kapal pengungsi yang tenggelam di cerita ini. Bayangkan saja, dengan peningkatan jumlah penumpang lebih dari 80%, kapal ini bisa saja sewaktu waktu tenggelam. Maka ketika misil tentara Rusia ditembakkan, sudah jelas limbunglah kapal megah tersebut. Penumpangnya kocar-kacir, semua mencari jaket pelampung dan berebutan naik ke sekoci penyelamat. Sayngnya sekoci yang seharusnya berjumlah 22 buah hanya ada 12, sedangkan 10 di antaranya hilang tak dibawa berlayar. Adegan ini benar-benar mengingatkan saya dengan film Titanic, yang tentu saja miris jika diingat-ingat. Bayangkan saja, yang satu perahu pesiar sedangkan satunya lagi perahu pembebasan bagi para korban perang.
She lay blue and lifeless at our
feet. How would the Nazis report the news of the sinking? But then I realized.
They wouldn’t report it at all.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar