Judul Buku
: Bekisar Merah
Penulis :
Ahmad Tohari
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 358
halaman
ISBN : 9789792266320
Di desa
Karangsoga, mata pencaharian utama masyarakatnya adalah penyadap nira. Demikian
pula dengan suami Lasi, Darsa, yang berangkat setiap sore untuk mengumpulkan
hasil sadapannya di pagi hari. Suatu sore, hujan turun dengan derasnya bersama
petir yang menggelegar. Naluri penyadap Darsa tahu bahwa sebaiknya ia tak nekat
pergi mengumpulkan hasil sadapan. Tetapi jika ia tak pergi, bagaimana ia akan
memberi makan istrinya, sebab jika hasil sadapan itu dibiarkan semalam maka tak
akan ada gula bagus untuk dihasilkan. Beruntung seketika langit menghentikan
tumpahan airnya, diiringi doa Lasi, berangkatlah Darsa memanjat pohon pohon
yang tingginya bisa mencapai puluhan meter.
Malang tak
dapat ditolak, Darsa jatuh dari pohon. Lasi dan keluarganya bergegas mencari
kesembuhan bagi Darsa, mulai dari puskesmas sampai ke dukun, semua diusahakan
oleh keluarga miskin tersebut. Dasar Darsa, setelah kesembuhannya, ia malah
menghamili wanita lain. Tak tahan dengan rasa malu dan kemarahan yang
dihadapinya, Lasi kabur ke Jakarta dengan menumpang truk gula. Dengan
kecantikan keturunan Jepang yang ia miliki, Lasi dengan mudah menjadi sumber
perhatian lelaki.
Tapi Lasi hanyalah wanita desa yang lugu dan taat adat, ia masih punya malu dan harga diri meski akhirnya mau juga ia diperistri oleh seorang pembesar di Ibukota. Handarbeni sangat memanjakan Lasi, diberikannya sebuah rumah mewah, dibiarkannya Lasi berbelanja ini itu dan banyak hal lainnya yang memuaskan Lasi secara materi. Tapi dia merasa ada yang kurang dan hilang dalam hatinya sampai ia bertemu dengan Kanjat, Lelaki masa lalunya.
Bagaimana kemudian kisah cinta Lasi dengan Kanjat?
Membaca novel ini sebenarnya saya lebih suka dengan cara penulis mendeskripsikan latar ceritanya. Bahasa yang digunakan puitis dan indah, membuat pembacanya dengan mudah membayangkan dan merasakan kesejukan dan keasrian alam Karangsoga. Selain itu isu sosial yang diangkat juga disampaikan dengan apik dan sederhana. Meski jujur saja, saya sama sekali tak jatuh hati pada tokohnya yang biasa biasa saja. Ngga ada yang spesial, Lasi yang terlalu lugu dan banyak perhitungan, Kanjat yang terlalu nrimo dan mengalah, serta para pembesar pembesar ibukota yang serakah dan banyak tingkah.
Kehidupan penyadap nira amat diceritakan dengan gamblang di buku ini, tentang kesusahan mereka dan perjuangan yang mereka berikan demi bisa mendapatkan sekilo beras untuk dimasak, mulai dari resiko nyawa saat menyadap, menebas hutan demi memperoleh kayu bakar untuk mengolah nira, segala usaha dan kerja keras itu hanyalah dibayar dengan harga yang tak seberapa. Sementara para tengkulak dan para penguasa perdagangan tingkat atas makin kaya raya, para penyadap tetap saja hidup miskin dan berkesusahan. Tapi para rakyat kecil ini begitu nrimo sampai saya sendiri ikut gemas.
Tapi toh saya jadi penasaran, di manakah desa Karangsoga itu sebenarnya? Apakah benar di sana sekarang listrik sudah masuk desa? Sudah makmurkah masyarakat di sana? mereka menyadap nira atau malah berlomba lomba hijrah ke ibukota?
Be First to Post Comment !
Posting Komentar