Judul Buku : Burial Rites –
Ritus-Ritus Pemakaman
Penulis : Hannah Kent
Alih Bahasa : Tanti Lesmana
Penerbit : Gramedia Pustaka
Utama
Cetakan Pertama : November 2014
Tebal : 416 halaman, paperback
ISBN : 9786020309064
“Kau masih beruntung aku tidak melaporkan insiden ini.”“Aku bukan pencuri,” kataku.“Bukan, kau pembunuh.”
Agnes Magnusdottir divonis
bersalah atas pembunuhan Natan Ketilsson dan Petur Jonsson. Menjelang
hukuman matinya, Agnes dipindahkan ke Kornsà, ke rumah keluarga Jón yang
seorang petugas wilayah dan istrinya Margrét. Keluarga itu pada awalnya menolak
penempatan Agnes dengan keras. Bagaimana bisa mereka tinggal dengan seorang
pembunuh? Apalagi ada dua anak gadis dan para pembantu, siapa yang akan
menjamin keselamatan mereka?
Di awal kedatangan Agnes, suasana rumah terasa tegang. Margret sebagai nyonya rumah menyuruh Agnes untuk membantu apapun yang bisa dilakukan Agnes sebagai imbalan telah menampungnya di sana. Ternyata Agnes adalah seorang yang patuh dan pendiam. Ia amat jarang berbicara dan jika diajak berbicara, biasanya tak banyak yang terucap dari bibirnya. Satu satunya orang yang bisa membuat Agnes bercerita banyak adalah Toti, pendeta yang ditugaskan mendampingi Agnes dalam mempersiapkan hari kematiannya.
Tetapi meskipun Agnes pendiam, ia merupakan wanita yang terampil. Ia bisa melakukan banyak hal, mulai dari menyabit rumput hingga membuat sosis. Karena itu Margret benar benar terbantu oleh kehadiran Agnes apalagi kesehatan Margret memang sedang tidak bagus, batuknya parah dan berdarah, terlebih kedua anak Margret, Lauga dan Steina, belum sepatuh dan secekatan Agnes.
Hari-hari Agnes menunggu
panggilan algojo selain diisi dengan melakukan pekerjaan rumah tangga, juga
diisi dengan kenangan masa lalu yang ia ceritakan kepada Pendetanya, Toti.
Untuk setiap terdakwa yang akan dieksekusi, memang disediakan seorang Pendeta
agar membawa mereka ke jalan Tuhan. Tetapi alih-alih mencekoki Agnes dengan
ayat-ayat, Toti menjadi seorang pendengar yang baik bagi Agnes. Dari
cerita-cerita wanita itu, Toti serta keluarga Jon mengetahui bahwa masa lalu
Agnes amat suram, menyesakkan serta menyedihkan. Mereka juga kelak tahu, apa
yang sebenarnya terjadi pada malam kematian Natan dan Petur…
The Grave (source) |
Sejak awal, saya sudah terpikat
dengan suasana suram serta kehampaan yang pekat dalam ceritanya. Betapa
pandainya penulis mengisahkan seorang Agnes, pembaca dibuat penasaran, takut
sekaligus kasihan dengan apa yang telah dialami Agnes. Terlebih karena Agnes
dan tokoh-tokoh dalam cerita ini betul nyata ada, bukan fiksi, sehingga
membayangkan seseorang benar-benar melalui kehidupan yang dialami Agnes, hati
saya jadi benar-benar tersentuh. Well, tertohok sebenarnya.
Sosok Agnes yang cerdas tetapi
tidak supel dalam bergaul, membuatnya dijauhi oleh orang-orang. Kehidupannya
yang berpindah-pindah, membuat orang lain menyangka ia wanita nakal, padahal
mereka hanya melihat apa yang nampak di luarnya. Bahwa manusia cenderung
melihat sisi luar seseorang, alih-alih mencoba mengenal perangainya lebih
dalam.
Selain Agnes, Margret adalah
tokoh yang saya suka di dalam cerita ini. Margret bukanlah seorang wanita yangs
enang bergosip atau membeberkan keburukan orang lain. Meski tentu saja dia
khawatir akan keselamatan keluarganya atas kedatangan Agnes ke rumah mereka,
pada akhirnya Margret bersikap adil terhadap Agnes, bahkan menepis rumor-rumor
buruk yang sering diceritakan tetangga-tetangganya tentang Agnes.
Selain tokoh, pilihan sudut
pandnag pencerita juga ditampilkan dengan apik. Selain menggunakan PoV 1 dari
Agnes, penulis juga menggunakan PoV 3 sebagai seorang serba tahu, dan ternyata
saya tidak kesulitan mengikuti jalan ceritanya. Bahasa yang digunakan dalam
cerita ini begitu deskriptif sekaligus indah. Di awal cerita, kita akan bertemu
dengan Agnes yang dipenjara sampai kumal dan kotor, begitu jelasnya gambaran
itu sampai saya agak mual saat membacanya, tanpa perlu susah –susah membayangkannya,
sosok Agnes dengan mudahnya hadir dalam bayangan saya.
Penanda tempat eksekusi Agnes dan Fridirik (source) |
Novel ini ditulis berdasar kisah
nyata yaitu hukuman penggal terakhir yang dilakukan di Islandia pada tahun 1829
dengan terdakwa Agnes Magnusdottir. Hannah Kent mendengar kisah Agnes pertama
kali ketika ia tinggal di Islandia dan dua hal membuatnya bertekad menyelesaikan
satu novel yang mengungkap sisi manusiawi serta kehidupan Agnes. Alasan pertama
adalah hilang dan diabaikannya sejarah tentang kehidupan Agnes sebelum
terjadinya peristiwa pembunuhan. Alasan kedua adalah penggambaran Agnes yang
selama ini dikisahkan sebagai wanita jahat dan manipulative, padahal saat Hannah
melakukan riset, semakin dalam ia mengetahui karakter Agnes lainnya yang
berbeda. Buku ini ditulis sebagai pengingat bahwa ada sisi lain yang bisa
diceritakan tentang seorang pembunuh yang
tak pernah kita ketahui sebelumnya.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar