Judul Buku
: Memoria
Penulis :
Priscila Stevanni
Penyunting
: Bonni Rambatan
Penerbit :
Kosong
Cetakan
Pertama : Oktober 2015
Tebal : 276
halaman, paperback
ISBN :
978-602-72868-6-3
Bukan ingatan fotografis yang membuatku special, tapi bagaimana aku menggunakannya. Itu yang menjadikannya berharga
Setelah
pesta ulang tahunnya, Maira kehilangan sahabatnya yang bernama Rega. Malam itu
setelah pesta, Rega masih sempat mengantar Maira pulang ke rumah sebelum Maira
melihat dengan jelas bahwa sebuah van putih melaju keras ke arah mobil Rega. Tetapi
saat Maira terbangun, ia merasa semua kejadian tadi adalah mimpi. Dengan panik
ia mencoba menghubungi Rega, tetapi tak ada nomor kontaknya di ponsel. Ketika
di sekolah pun semua temannya tak ada yang mengenal Rega.
Sumpah, Ra. Nggak ada yang namanya Rega di kelas ini!
Maira mulai
kebingungan. Apakah ini lelucon? Tapi ketika ia ke rumah Rega dan menemukan
bahwa kedua orang tua Rega bahkan tidak memiliki anak seorang pun, Maira mulai
ketakutan. Bagaimana bisa orang tua Rega juga tidak ingat siapa Rega?
Setelah
delapan bulan terapi ke psikiater, dianggap gila oleh orang-orang terdekat,
Maira masih belum paham dan hampir saja meyakini bahwa mungkin dirinya memang gila.
Sampai sebuah perjalanan antarwaktu
mengantarkan Maira ke Jakarta pada tahun 2097, dengan kondisi yang amat sangat
berbeda dari sekarang, Maira akhirnya bertemu Rega. Di tempat itu pula akhirnya
Maira mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan hilangnya Rega serta terhapusnya
memori orang-orang terdekatnya. Saat itu Maira baru sadar, dirinya memegang
peranan penting bagi dunia di masa depan.
Saya sudah
lama tidak menimati sebuah cerita perjalanan antarwaktu, apalagi diceritakan
oleh penulis lokal. Awalnya saya sempat bingung dengan cover dan judulnya,
sinopsisnya juga tidak menceritakan sama sekali tentang time travel ini, tapi
ternyata saya menyukai ceritanya. Dengan alur yang cepat dan setting yang cukup
kuat, penulis mampu membawa pembacanya masuk ke “Jakarta” yang berbeda dengan
saat ini. Bahasanya ringan, luwes dan khas obrolan anak muda. Romance yang
memoles novel ini juga diceritakan dengan kadar yang pas, nggak berlebihan.
Saya malah suka dengan adegan pertempurannya. Cukup menegangkan dan dibuat
seakan nyata ada, seakan kita ikut kejar-kejaran dan ditembaki bareng Maira dan Rega.
Karakter
favorit saya adalah Rega. Ouch, bukan berarti saya jatuh hatii yaa. Tapi Rega
beneran baik banget sama Maira, padahal mereka cuma sahabat (atau karena
sahabat makanya mereka akur banget ya?). Yang paling menonjol dari karakter
Rega adalah bagaimana dia memberikan semangat sekaligus menekan kemampuan Maira
(dalam artian positif) sampai batas. Contohnya gini, Rega dengan cueknya
memberi jawaban PR atau ulangan ke teman temannya, tapi tidak ke Maira. Rega
seakan tidak membiarkan Maira menjadi sosok wanita yang manja.
Adegan favorit? Waktu mereka akhirnya tersekap dan nggak bisa kabur sementara pipa air menyemburkan air menenggelamkan mereka perlahan. Iya emang kayak film banget sih, tapi nggak drama amat kok ceritanya.
Adegan favorit? Waktu mereka akhirnya tersekap dan nggak bisa kabur sementara pipa air menyemburkan air menenggelamkan mereka perlahan. Iya emang kayak film banget sih, tapi nggak drama amat kok ceritanya.
Buku ini juga secara tidak langsung pembacanya untuk berkontribusi bagi bumi dengan menggambarkan Jakarta di masa depan penuh peralatan mutakhir tetapi kehilangan sumber daya alam yang penting. Mungkin memang kita perlu sering diingatkan ya agar ingat bahwa bumi ini juga milik anak cucu kita kelak, bukan hanya dinikmati oleh generasi sekarang saja.
Coba deh baca bukunya, apalagi kalau kamu suka yang bergenre science fiction dengan sedikit polesan romance.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar