Judul Buku
: Perfect Pain
Penulis :
Anggun Prameswari
Editor : Jia Effendie
Penerbit :
Gagas Media
Tebal : 316
halaman, paperback
Cetakan
pertama : 2015
ISBN : 978-979-780-840-2
Karena menikah itu untuk bahagia. Dua orang yang saling cinta, pasti akhirnya akan menikah. Dengan begitu, mereka akan lebih bahagia.
Perfect Pain
menceritakan rumah tangga Bi dan Bram serta anak lelaki mereka, Karel. Bi
sering dipukuli suaminya, tetapi suaminya juga sering berlutut meminta maaf dan
berjanji akan mengubah sikapnya yang kasar terhadap Bi. Dan Bi menerima
permintaan maaf lelaki itu berkali kali. Namun siklus KDRT itu terulang lagi,
dan lagi.
Sampai
suatu siang, Karel meninggalkan pelajaran ekstrakulikulernya tapi ia juga tidak
pulang ke rumah. Dalam panik, Bi datang ke sekolah Karel dan bertemu Miss El
yang merupakan wali kelas Karel. Rupanya Karel pergi ke kantor pengacara Sindhu,
kekasih Miss El.
Akhir
pertemuan mereka kali itu dibasuh pertanyaan yang panjang dan tak terungkap
mengenai kekerasan domestik yang menimpa Bi.
Selama ini
Bi bertahan karena Bram tidak pernah menyakiti Karel. Tetapi ketika kemudian
Bram menyakiti Karel, Bi melawan dan melarikan diri dari rumah bersama anak
lelakinya itu.
Perjalanan Bi dan Karel masihlah panjang dan rumit untuk ditempuh. Ada banyak ketakutan dan keraguan yang bersemayam di hati Bi. Mana yang harus ia pilih? Kebahagiaan dirinya atau jaminan keluarga utuh bagi anaknya?
Membaca
perfect pain membuat saya merinding ketakutan sekaligus gemas. Saya
membayangkan bagaimana setiap detik yang kamu lalui bersama orang yang
seharusnya melindungi kamu malah menjadi teror yang mengancam sewaktu waktu
untuk meledak. Bagaimana rasanya ketika setiap sentuhan yang terjadi membuatmu
berjengit ketakutan? Jangan jangan ia akan menjambakmu? Menampar pipimu?
Mendorongmu hingga terjerembab dan luka luka? Lalu ia meninggalkanmu begitu
saja, seakan semua yang ia lakukan adalah hal biasa. Menghajar istri adalah
perbuatan yang wajar dilakukan suami, begitukah?
Dan saat
kamu mencoba meninggalkan suamimu, ia akan bertekuk lutut dan bersikap manis.
Mengobral janji-janji bahwa ia akan berubah. Bahwa keluarga kalian akan selalu
utuh sampai mati, bahwa perceraian adalah hal terburuk bagi anak kalian.
Benarkah?
Saya sempat
mewek sih liat betapa rapuhnya Bi. Serta betapa kelak ada orang orang yang
menyayangi Bi apa adanya, yang membuat Bi belajar menerima dan mencintai dirinya
sendiri. Sebab kita sendiri yang menentukan kebahagiaan apa yang kita dapatkan. Suka juga sama pembangunan karakter Bi yang makin lama makin matang. Setelah membaca Kedai Bianglala, saya makin suka dengan cerita yang ditulis Anggun. Pilihan diksinya apik dan terjalin dengan rapi. Alurnya luwes, tak lambat tapi juga tak terburu-buru diselesaikan. Pembaca dibikin penasaran sekaligus harap-harap cemas dengan keputusan apa yang akan diambil Bi terhadap hidupnya dan hidup anaknya.
Semoga tak ada
lagi Bi-Bi maupun Bram-Bram di luar sana. Sebab cinta seharusnya melindungi dan
mengasihi, bukan?
Be First to Post Comment !
Posting Komentar