Judul Buku : Warna Tanah, Warna
Air, Warna Langit (Boxset Trilogi Warna)
Penulis : Kim Dong Hwa
Alih Bahasa : Rosi L Simamora
Penerbit : Gramedia
Pustaka Utama
ISBN : 978-979-22-6692-4
Kamelia adalah satu-satunya bunga yang mekar di tengah salju.Mereka nyaris kelihatan seolah-olah begitu tak sabar menantikan sesorang.
Sebelumnya saya belum pernah
membaca novel grafis yang cerita dan pesan kehidupannya sedalam buku ini. Saya
hanya tahu bahwa banyak yang bilang kalau novel grafis ini bagus dan layak
banget buat dikoleksi, maka ketika seorang teman di BBI menawarkan buku ini di
obralan Gramdia, tentu saja saya langsung nitip buat dibelikan.
Ternyata semua ekspektasi saya
terlampaui ketika membaca trilogi ini.
Saya akan bahas sedikit sinopsis
dari buku pertama sampai buku ketiga, ya.
Trilogi ini bercerita tentang
kehidupan Ehwa dan Ibunya di sebuah desa kecil bernama Namwon. Sang Ayah sudah
lama meninggal dunia, sehingga Ehwa dan ibunya saling menopang satu sama lain.
Hal inilah yang membuat perasaan dan rasa saling memiliki mereka amat dekat.
Sehari-hari, Ibu Ehwa bekerja di kedai minum yang ia miliki di depan rumahnya,
sesekali pekerjaannya juga dibantu oleh Ehwa.
Di buku pertama, Ehwa yang masih
kecil mulai memiliki rasa ingin tahu tentang cinta, tentang perbedaan antara
wanita dan laki-laki, serta tentang hubungan keduanya. Di buku pertama, Ehwa
secara tidak sengaja berkenalan dengan seorang biksu kecil yang membuatnya
merasakan debar-debar berbeda di dalam hatinya. Ehwa juga berkenalan dengan
Sunoo, seorang pemuda yang sedang dibicarakan di seluruh desa. Kedua lelaki ini
membuatnya tersipu-sipu malu saat bertemu dan mulai memahami seperti apa
rasanya jatuh cinta. Ehwa juga beranjak dari anak perempuan kecil menjadi
seorang remaja yang pemalu.
Di buku kedua, Ehwa yang cantik
bertambah dewasa. Di buku ini juga ia mulai merasakan cinta yang sesungguhnya,
bukan cinta monyet seperti cerita sebelumnya. Ia bahkan mulai berani menyimpan
rahasia dari ibunya. Sementara itu, di desa sedang beredar kabar tentang
rencana pernikahan Chunaja. Ehwa dan sahabatnya, Bongsoon, membayangkan seperti
apa rasanya menjadi pengantin dan memasuki dunia baru bernama pernikahan.
Bukankah menikah adalah hal yang selalu diimpikan setiap wanita? Di buku ini
cerita juga menjadi kompleks dan trilogi warna mencapai klimaksnya. Ada konflik
yang terjadi dan membuat Ehwa mewarisi hal yang selama ini dimiliki oleh
Ibunya, penantian.
Di buku ketiga, cerita mencapai
penyelesaiannya. Ehwa dilamar dan pernikahan dilangsungkan. Di buku ini saya
sangat tersentuh di bagian pernikahan, sebab mungkin saya belajar dari Ibu
Ehwa, bahwa sebagai orang tua, kita juga akan memiliki saat di mana kita harus
merelakan anak perempuan kita keluar rumah dan meninggalkan kita. ((Huhuhu,
malah mewek ))
Hanya setelah melepaskan anak mereka, orangtua akan sungguh-sungguh menjadi seorang dewasa.
Ketiga buku ini benar-benar saat
bermanfat, terutama bagi anak perempuan yang beranjak remaja lalu mencapai
dewasa. Melalui percakapan-percakapan antara Ehwa dan Ibunya, kita juga belajar
makna kehidupan dari sudut pandang seorang wanita. Terlebih lagi dengan
bahasa-bahasa indah yang digunakan dalam cerita serta permisalan segala hal
kehidupan manusia dengan apa yang ada di alam sekitar, membuat saya membuka
mata lebih lebar sambil memikirkan hal-hal tersebut. Ilmu baru yang sebelumnya amat
sering saya abaikan. Di buku ini Ibu Ehwa juga mengajari Ehwa tentang
penantian, pernikahan serta tentang kehidupan seorang wanita itu sendiri. Ibu
Ehwa merupakan seorang wanita yang lembut hatinya, ia juga sangat sabar dan
menyayangi anak perempuan satu-satunya yang ia miliki. Di lain pihak, Ibu Ehwa
juga bisa menjadi sosok kuat dan penuh kerja keras terutama ketika banyak gosip
beredar tentang status janda dan kesendiriannya. Ehwa sendiri memiliki rasa
ingin tahu yang besar terhadap banyak hal. Melalui Bongsoon, sahabatnya, Ehwa
juga belajar banyak hal yang sebelumnya tidak ia ketahui dan tidak berani ia
tanyakan kepada ibunya.
Tapi sekali lagi, apa yang lebih memukau dibandingkan tangan seseorang?
Ah, ketiga buku ini benar-benar
menjadi buku favorit saya di tahun 2015 ini. Melalui goresan-goresan ilustrasi
yang apik, Kim Dong Hwa membuat saya terlarut dalam keindahan ceritanya. Saya
jadi bertanya-tanya, ada nggak ya buku yang menceritakan kisah serupa tapi dari
sudut pandang laki-laki? XD
kalau mau beli boxet buku ini dimana ya kak? :)
BalasHapus