Judul Buku : Messenger (The Giver
Quartet #3)
Penulis : Lois Lowry
Matt, anak kecil yang dulu kita temui
di buku kedua sekarang tumbuh dewasa. Ia tinggal di Desa di mana semua
penghuninya ramah dan baik hati. Bersama Seer, Lelaki buta dari buku kedua,
mereka tinggal di sebuah rumah sederhana dan nyaman dengan kehidupannya. Sampai
suatu ketika, terjadi perubahan di desa mereka. Perubahan itu tak terlihat
mata, tetapi Seer adalah seorang yang sangat sensitif, ia dapat merasakan
perubahan itu dan memastikannya lewat Matty. Pada awalnya Matty merasa tidak
ada yang aneh dengan Desa mereka dan orang orangnya, tapi setelah mengobrol
dengan Seer, Matty mulai merasakan dan mengetahuinya.
Penduduk desa tak lagi sabar ataupun
ramah, beberapa orang mulai menarik diri beberapa lainnya mulai menampakkan
kesombongan. Hal ini terlihat jelas pada Mentor, sang guru yang bertugas
membimbing anak anak di sekolah. Kelakuan lelaki yang biasanya sabar itu
berubah drastis, bahkan setelah diamati tak hanya kelakuan tetapi fisik Mentor
juga berubah. Ia tambah tinggi, warna kulitnya makin cerah, serta tanda
kemerahan di sekitar leher dan wajahnya mulai memudar.
Hal ini mungkin ada hubungannya
dengan Pasar Gelap yang dilakukan pada malam tertentu di desa mereka. Diiringi
rasa penasaran yang besar, Matty mengunjungi pasar itu di suatu malam. Ternyata
apa yang terjadi di sana menyimpan kunci jawaban dari perubahan yang terjadi di
desa mereka.
Makin hari, kelakuan penduduk semakin
parah, mereka bahkan mulai membangun dinding untuk mencegah datangnya penduduk
baru ke desa. Leader, sang pemimpin komunitas, meminta Matty untuk mengabarkan
ke komunitas tetangga perihal penutupan ini. Diam diam, Seer meminta Matty
untuk datang ke tempat Kira tinggal terlebih dulu dan mengajaknya pindah,
sebelum tembok selesai dibangun dan tak ada lagi pendatang yang boleh masuk...
Sementara itu, hutan di sekeliling desa mulai berubah pula, semakin gelap, jalannya semakin susah diikuti dan tanamannya semakin lebat dan muncul tumbuhan tumbuhan berbahaya...
Sanggupkah Matty menjadi Sang
pengantar pesan dan kembali tepat waktu?
Membaca buku ini jelas terasa lebih seru dibanding buku kedua, alurnya lebih cepat dan konfliknya lebih kerasa. Tokoh tokoh di buku ini yang sudah kita kenal sebelumnya juga menjadikan pengantar menuju konflik tak bertele-tele. Tokoh Matty masih menjadi favorit saya, sikapnya yang cuek, ogah ogahan dan kadang semaunya sendiri sangat mencirikan remaja belasan tahun. Yang membuat Matty spesial adalah ternyata dia juga memiliki keistimewaan, kau tahu, seperti Kira dengan sulamannya atau Thomas dengan ukirannya, Matty memiliki kelebihannya sendiri yang baru akhir akhir ini ia sadari. Sebenarnya ini sudah bisa ditebak sih, tapi tetap saja membuat ceritanya tambah seru.
That's why we have the Museum, Matty, to remind us of how we came, and why: to start fresh, and begin a new place from what we had learned and carried from the old.
Keadaan masyarakat di Desa tempat Matty dan Seer tinggal mungkin merupakan cara lain penulis mengumpamakan penyakit hati yang bisa mengancam sebuah komunitas. Egoisme, terutama, adalah sumber kedengkian yang diceritakan melalui tokoh tokoh di buku ini. Mereka yang egois mungkin tak sadar bahwa mereka meracuni lingkungan sekitarnya, termasuk orang orang yang dekat dan mencintai mereka. Keegoisan ini tumbuh pelan pelan seperti benalu tetapi secara pasti mengubah seluruh sifat baik yang ada pada orang tersebut.
“now he knew that there were communities everywhere, sprinkled across the vast landscape of the known world, in which people suffered. Not always from beatings and hunger, the way he had. But from ignorance. From not knowing. From being kept from knowledge.
Sebuah buku yang apik, bahasanya sederhana tetapi sebenarnya kaya makna. Dan endingnyaa…. Huwaaa, bikin makin penasaran bagaimana kisah di buku terakhir ^^
Aku paling suka yg iniii dari 4 buku Giver Quartett xD Buku terakhir jg bagus bangett ;))
BalasHapus