Judul Buku : Dua Ibu
Penulis : Arswendo Atmowiloto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Pertama : Juni 2009
Tebal : 304 halaman, e-book (getscoop.com)
ISBN : 978-979-22-4684-1
Bagaimana rasanya punya dua
ibu? Dikisahkan, seorang wanita mengurus sembilan anak seorang diri.
Suaminya telah meninggal, sedangkan anak anak itu kebanyakan adalah anak
'titipan' yg sengaja diasuh olehnya. Satu persatu, anaknya meninggalkan rumah,
ada yang karena menikah, ada pula yang kembali ke rumah orang tua kandung.
Tetapi meski kemudian jauh dari sang Ibu, mereka masih saja memujanya.
“Tiba tiba aku rindu Ibu. Kalau
rindu, aku bisa berkaca pada tempat penyimpanan beras. Berkaca di situ, sambil
berkata Ibu, aku rindu dan Ibu pasti
mendengar dan membalasnya.” – Hal. 122
Meski ada sembilan anak, tapi cerita cerita di novel ini dikisahkan dari beberapa orang saja, seperti Solemah, Mujanah, Mamid, Ratsih, Jamil dan Adam. Dari mereka kita bisa tahu betapa kasih sayang Sang Ibu amatlah besar, meskipun mereka bukan anak kandungnya. Saat anak perempuannya mantu, pesta besar diadakan, uangnya didapat dari barang barang yang digadaikan. Nama baik Ibu memang jadi jaminan dari penggadaian itu, mungkin karena Ibu memang sudah terkenal baik, sering diminta nasihat penduduk desa pula sehingga cukup dipercaya. Sampai satu demi satu barang habis digadai, yang tersisa hanya rumah dan luas ruangan yang melompong. Mereka sering merasa kelaparan, apalagi kalau ada makanan harus adil dibagi bagi. Itu pun mereka jarang sekali melihat Ibu makan.
“Semuanya sama. Semua anak Ibu sama.
Sederhana atau sangan sederhana, itu tergantung kemampuan saja.” – Hal. 194
Sebagian besar cerita memang berfokus pada sosok Ibu yang luar biasa, ia bahkan sampai tirakat puasa demi kelancaran hajatan anaknya. Misalnya ketika Mamid sunat ataupun ketika anak perempuannya menikah. Tapi Ibu sangat keras kepala, ia lebih memikirkan orang lain daripada utangnya yang semakin lama semakin tertumpuk di mana mana. Ia menyelenggarakan hajatan mewah, padahal setelah itu sebagian besar hadiah pernikahan harus digadai untuk menutup utang. Belum lagi bunga bunganya, yang makin lama besarnya mengalahkan besaran utang itu sendiri. Tapi Ibu sangatlah sabar, ia selalu berpesan hal hal sederhana tetapi mengena kepada anak anaknya. Ini yang mungkin membuat mereka amat menghormati dan menyanjung Wanita itu.
Menjadi sosok Ibu seperti di buku ini saya rasa amatlah sulit, meski sudah fitrah bahwa seorang Ibu akan mengusahakan yang terbaik bagi anak anaknya, tetapi mengurus dan berperilaku adil terhadap banyak anak (dan bukan anak kandungnya), mungkin bukan hal yang mudah. Bagi Ibu, kebahagiaan anaknya adalah kebahagiaannya juga.
Konflik utama di buku ini adalah ketika Sang Ibu makin miskin dan satu persatu melepas anak anaknya pergi meninggalkan rumah. Tapi meninggalkan Ibu bukan berarti melupakan dan melepaskan komunikasi dengan Ibu (semacam mengingatkan kita juga nih, apakah kita yg tinggal jauh dari Ibu masih sering menelepon mengabarinya?), kalau anak anak Sang Ibu di sini selalu menuliskan surat untuk Ibu. Berhubung latarnya pada saat orde baru, alhasil yang bisa dilakukan ya mengirim surat bukan telpon telponan canggih kaya sekarang.
Buat saya, novel ini berisikan banyak pesan moral bagi kehidupan sosial kita. Bahasanya ringan meski sebenarnya disisipi pula beberapa konflik "berat" ttg politik yang dialami beberapa tokohnya. Oh dan yang membuat saya tambah suka sama novel ini karena settingnya di Solo! (Hidup Kota Solo!) ;))
Selamat membaca, jangan lupa segera telpon ibumu, tanyakan bagaimana kabarnya :D
Bikin kangen sama ibu. :')
BalasHapusTapi maksud judul Dua Ibu itu apa ya?
ah makasih reviewnya vin..
BalasHapusaku cari deh...tetiba saya kangen emak