Judul
Buku : Pre Wedding Rush
Penulis
: Okke ‘Sepatumerah’
Editor
: Herlina P. Dewi
Penerbit
: Stiletto Book
Tebal
: 204 halaman, paperback
ISBN
: 978-602-7572-21-8
Ketika
kamu dilamar pacar yg baru berhubungan sepuluh bulan, kira kira akan kamu jawab
apa? Tidak? Ya? atau.. mikir mikir dulu?
Beruntung bukan, seorang wanita yg dilamar oleh pacarnya? Mungkin sebagian besar akan menjawab "iya!", sama seperti Nina yg dilamar oleh Dewo, kekasihnya.
Sayangnya setelah menjawab iya, Nina malah ragu dengan keputusan itu. Sampai kemudian ia membagi perasaannya kepada Lanang, mantan pacar yang pergi meninggalkannya. Ternyata bertemu Lanang malah membawa Nina ke tingkat kegalauan maksimal. Tidak bisa dipungkiri bahwa ia masih mencintai Lanang. Nina yang berencana pergi ke Surabaya untuk bertemu keluarga Dewo, malah singgah di Yogyakarta, mengekor Lanang.
Di kota ini ia mengalami kemelut batin yang sangat, apa ia harus memilih Lanang, lelaki liar yang senang berpetualang. Atau Dewo, pria mapan yang bertanggung jawab dan memiliki perencanaan masa depan yang matang?
Membaca buku ini ternyata tak butuh waktu lama, bahasanya ringan dan asyik diikuti. Temanya juga dekat dengan kehidupan sehari hari, dan tentu saja cinta bukan hal usang untuk dibahas setiap waktu. Pernikahan, yang menjadi tema utama buku ini, adalah konflik yang sering menjadi dilema banyak manusia.
Pingin nikah, tapi belum ada calon. Udah ada calon, tapi tak kunjung dilamar.
Apa iya nikah itu sebuah kewajiban? Jangan jangan ia hanya tuntutan dari masyarakat?
Awalnya saya kurang setuju dengan pendapat Nina yang seperti itu, kenapa sih harus menikah? Kenapa sih ngga bisa seorang jomblo hidup aman sejahtera tanpa sindiran orang orang di dekatnya?
“Apa
karena semua orang punya jalan hidup : Lahir, remaja, dewasa, nikah, punya
anak, menua, punya cucu, mati, kita juga harus gitu?”
Buat saya, Nina adalah contoh wanita yang belum merasa memiliki kebebasan untuk memilih. Padahal kan hidup isinya hanya pilihan pilihan yang harus diambil, kita cuma perlu tegas terhadap pilihan itu.
Nah kalo tentang menikah, saya jadi inget kuliah kuantum yang diberikan guru saya. Menikah itu, katanya, seperti elektron di posisi groundstate. Stabil. Nyaman. Ngga butuh energi banyak. Tapi kalo di posisi tereksitasi, elektron kayak manusia labil, dia sibuk nyari pasangan dan butuh energi besar dalam posisi ini.
Mungkin ini mengaminkan percakapan dalam novel kali ya, seperti percakapan Nina dan Agnes, kalau menikah itu wajib mungkin karena manusia diciptakan berpasang-pasangan.
~kok jadi mbahas elektron~
Saya sedikit ngga suka dengan Nina, sih, habis dia sulit menentukan putusan, gampang kepengaruh pacar lama, agak egois pula. Sedangkan Dewo sosok lelaki yang mapan, perhatian, bijak, sabar, yah lempeng lempeng aja gitu, beda dengan Lanang yang begajulan. Eh tapi tokoh favorit saya Lanang sih, meski dia egois, spontan dalam mengambil keputusan dan pandai berbicara, tapi kayaknya asyik punya temen kayak Lanang. Yup, Lanang emang tipe yang asyik buat temenan aja sih, daripada dijadiin suami XD
Konflik dalam cerita ini juga disusun apik, meski endingnya udah bisa ditebak, tapi tetep aja bikin penasaran, pengen tahu bagaimana cara Nina mengambil keputusan. Sayangnya secara editorial ada ketidakkonsistenan dalam penggunaan huruf, entah bagaimana ini bisa kelewat sama editornya.
Oh iya, latar kisah ini yang mengambil peristiwa gempa Jogja (mungkin di tahun 2006 ya), cukup detil, dan membuat saya teringat juga gempa itu karena kerasa di Solo. Itu kali pertama dan semoga terakhir saya mengalami gempa yang luar biasa kencang. Secara keseluruhan, saya suka cerita di buku ini, untungnya saya telah melalui kegalauan pre wedding, jadi cengar cengir aja baca buku ini X)
Be First to Post Comment !
Posting Komentar