Judul
Buku : Pasung Jiwa
Penulis
: Okky Madasari
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan
Pertama (ganti cover) : Mei 2013
Tebal
: 328 halaman, paperback
ISBN
: 978-979-22-9669-3
Sasana
merasa ada yang salah dengan dirinya. Meski dia memiliki orang tua yang sukses,
adik perempuan yang cantik, prestasi akademis yang memuaskan dan kemampuan
bermain piano yang mengagumkan, ia merasa tak puas dengan hidupnya. Sampai
ketika ia melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Malang, bertemu dengan Cak
Jek. Bersama Cak Jek Sasana menemukan kebebasan dari 'penjara jiwa' yang selama
ini mengurungnya. Mereka mengamen, menyanyikan lagu lagu dangdut sambil
berjoget berani. Sasana berubah, menjelma menjadi sosok Sasa yang berani dan
penuh sensasi.
Lama kelamaan Sasa dan Cak Jek dikenal oleh banyak orang, mereka diminta pentas di hajatan-hajatan. Bernyanyi dan menghibur, uang yang diperoleh cukuplah untuk makan dan menyewa sebuah rumah kontrakan dan memenuhi kebutuhan sehari hari. Mereka menjadi partner yang profesional dalam pekerjaan.
Suatu hari, mereka menjalankan suatu aksi yang mengakibatkan Sasana dan Cak Jek masuk penjara. Di penjara ini Sasana disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi, ketika kemudian ia dibebaskan, ia putus asa dan kembali ke rumahnya di Jakarta. Di Jakarta keadaannya tak sama lagi, keluarganya merasakan kejanggalan pada Sasana. Ada yang tidak lazim, tidak umum pada jiwanya. Kemudian Sasana dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa.
"Aku ini penyanyi. Penari. Seniman. Aku menjual hiburan, orang membayar dengan uang. Apa yang salah dengan penampilanku?"- Hal. 98
Di sisi lain, Cak Jek yang telah dibebaskan dari penjara kemudian memutuskan untuk berkerja di pabrik di Batam. Di sana ia merasa seperti mesin, hidup berdasar rutinitas tanpa jiwa bahagianya seperti dulu. Sesekali ia memikirkan bagaimana kabar Sasa, yang sejak penangkapan belum pernah dijumpainya lagi. Tidak juga dalam sel, sebab mereka dikurung dalam tempat yang berbeda.
Di Batam ia bertemu dengan Elis, seorang pelacur yang membuat Cak Jek merasa menemukan tempat bercerita keluh kesahnya menjadi buruh. Bersama Elis ia menemukan keberanian yang ditularkan Elis, sampai kemudian sebuah tragedi membuat Elis digiring oleh masyarakat sekitar yang merasa terancam oleh keberadaannya sebagai pelacur. Saat penggrebekan itu, Cak Jek tak mampu berbuat apa-apa, perasaannya jadi kacau. Ditambah kesialannya saat dipecat dari pabrik, ia marah, memutuskan memberontak dengan mengumpulkan massa untuk berdemonstrasi.
Kisah di buku ini diceritakan dari dua sudut pandang yang bergantian. Setiap tiga atau empat bab, kita diajak menyelami keberadaan Sasana dan Cak Jek yang masing-masing berkembang dalam cerita. Saya selalu mengagumi karya Okky yang selalu mencuatkan isu isu sosial dalam bukunya. Tapi dalam Pasung jiwa ini saya merasakan sesuatu yang berbeda dari buku sebelumnya yang pernah saya baca, baik Entrok maupun 86.
Dalam entrok dan 86, masing-masing memiliki fokus isu yang individual, maksud saya tidak bertumpang tindih dengan isu isu lainnya. Entrok di era orde baru, dengan segala tetek bengek perpolitikannya. Sedangkan 86 berfokus pada suap menyuap di peradilan. Nah, pada Pasung Jiwa ini, saya merasa topik yang diangkat agak melebar, ada isu transgender, kasus Marsinah, reformasi ’98, serta laskar berjubah putih. Meski tokoh utama dalam cerita ini terlibat dalam isu-isu tersebut, tapi kompleksnya malah menjadikan isu tersebut kurang tertempel kuat seperti buku-buku sebelumnya.
Tapi
toh saya tetap menyukai cerita yang dibawakan apik oleh Okky ini, terutama
karena isu sosial yang diangkatnya. Melalui Sasana dan Cak Jek, kita disuguhi
bagaimana rasanya terbelenggu oleh norma, oleh dominasi kelompok dan bagaimana
perjuangan orang-orang yang berjuang membebaskan diri dari belenggu itu.
Sebenarnya tidak hanya lewat Cak Jek dan Sasana, bahkan tokoh-tokoh pendamping
di buku ini pun menjejali kita dengan setumpuk pertanyaan terpendam.
Sudah
merdekakah jiwa dan raga kita?
Beranikah
kita melepaskan diri dari keseragaman dan kungkungan yang ada di sekitar kita?
Tak ada jiwa yang bermasalah. Yang bermasalah adalah hal-hal yang ada di luar jiwa itu. Yang bermasalah itu kebiasaan, aturan, orang-orang yang mau menjaga tatanan. Kalian semua harus dikeluarkan dari lingkungan mereka, hanya karena kalian berbeda. -Masita
Lho, Vin, belum baca Maryam to? Kayaknya si Okky ini topik novelnya selalu sosial ya? Bagus sih, cuma yah, you know my reason, belum berniat baca lagi karyanya setelah Maryam en 86 :))
BalasHapusKayaknya isinya ga beda ya dengan cetakan pertama yang ditarik dari peredaran itu.
BalasHapusPenasaran sama alesan lila yang nggak mau lagi baca Okky :D
BalasHapus