Judul Buku : 86
Penulis : Okky
Madasari
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Pertama :
Maret 2011
Tebal : 256
halaman, paperback
ISBN :
978-979-22-6769-3
Orang-orang sedang
ramai membicarakan korupsi, uang sogok, pelicin atau apalah namanya, sudah akrab
di telinga kita. Macamnya juga banyak, dari memasukkan anak ke sekolah, sampai
ke tingkat pejabat yang notabene seharusnya bekerja untuk rakyat, bukannya
malah memakai uang rakyat seenak udelnya
sendiri.
Salah satu tempat
yang sering sekali korupsinya terungkap, adalah Pengadilan. Di tempat
seharusnya hukum benar-benar ditegakkan seadil-adilnya ini, korupsi ternyata
juga bermukim. Siapa bilang hukum tidak bisa dibeli?
Namanya Arimbi,
seorang gadis dari desa di Ponorogo. Ia anak tunggal, yang setelah lulus kuliah
di Solo melanjutkan hidupnya di Jakarta. Orang-orang di kampung mengira Arimbi
telah menjadi sukses, kerja di Jakarta, di Pengadilan, bersama Hakim-Jaksa,
yang seringpula wajahnya muncul di televisi. Mereka tak tahu bahwa Arimbi
‘hanya’ menjadi juru catat, yang bertugas mencatat hasil sidang, mengetik
kembali laporan sidang. Bagi Arimbi, pekerjaannya hanya pekerjaan bawahan
biasa. Gajinya juga ia pakai irit-irit, tinggal di kontrakan kecil, hidup
seadanya, lalu sisa uangnya ia kirimkan untuk orang tua di kampung.
Suatu hari, Arimbi
yang polos ini mendapat kiriman AC dari seorang tergugat. Karena takut ada
apa-apa, maka ia memberitahu atasannya, Bu Danti, yang ternyata malah menyuruh
Arimbi menerima ‘rejeki’ tersebut.
Itu adalah kali
pertama, Arimbi mulai merasakan nikmatnya ’rejeki’ dari 86.
Ia bercerita
kepada teman kantornya, Anisa, yang ternyata malah sudah lama bermain api
dengan hal begituan. Tidak hanya bonus dari Bu Danti yang diterima, ternyata
Anisa juga sering ‘meminta’ dari para pengacara untuk memuluskan urusan mereka.
Arimbi kemudian berpikir, pantas saja Bu Danti sering jalan-jalan ke luar
negeri, liburan bersama anak-anaknya, atau pantas saja Anisa punya mobil,
rumah, jam tangan mahal, padahal suaminya juga seorang pegawai biasa.
Nasib membawa
Arimbi pindah dari rumah kontrakan ke sebuah kamar kos dekat kantornya. Di sini ia berkenalan dengan Ananta,
lelaki yang kemudian menjadi suaminya. Semenjak berkenalan dengan Ananta,
Arimbi juga makin mengasah ’kemampuan’nya mengeruk keuntungan dari uang suap,
perkara-perkara yang harus ia ketik, yang ia kerjakan dengan lembur. Uang itu
demi masa depan, kilah Arimbi. Ananta seorang pegawai survey kredit motor yang
penghasilannya hanya cukup untuk membayar uang kos dan mengirim sisa ke keluarganya
di kampung. Sedangkan gaji Arimbi paling-paling habis buat makan, padahal
mereka butuh hiburan, butuh foya-foya, berbelanja, menikmati hidup seperti
orang kaya.
Sepandai-pandainya
tupai meloncat, pasti akan jatuh juga.
Begitu pula nasib
Arimbi. Apakah ia akan selamat dari tuduhan tersebut berbekal 86 juga?
Secara
keseluruhan, novel ini memiliki alur yang runut dan mengasyikkan untuk
ditelusuri. Saya bahkan menghabiskannya hanya dalam semalam (jarang loh emak
kaya saya rela melek malam hari buat namatin buku). Tokoh Arimbi diceritakan
dengan baik, yang asyiknya, dibuat berkembang sesuai alur cerita. Arimbi yang
awalnya polos, lugu dan tak mau tahu apapun berubah menjadi Arimbi yang
berkuasa, meski kepolosannya masih tersisa. Jelas dalam kisah ini Arimbi adalah
wanita yang mencintai keluarganya, juga suaminya. Ia juga memiliki harapan yang
besar sampai-sampai ’imannya’ goyah dengan godaan jaminan kenyamanan di masa
depan.
Arimbi mungkin
merasakan kemerdekaan yang ia dapatkan ketika ia mulai mencecap kenikmatan
dunia dari hasil 86-nya. Padahal nyatanya ia membangun penjaranya sendiri
pelan-pelan. Ia tertipu kemerdekaan yang sekejap, alih-alih kemerdekaan abadi
yang dapat diperoleh jika Arimbi dan suaminya mau meraihnya lewat cara yang
halal. Buat saya, buku ini jelas memiliki pesan moral bahwa kemerdekaan,
kebebasan, tidak dapat dilihat secara instan. Kebebasan adalah proses,
bagaimana ia diraih tanpa harus mengkhawatirkan darimana ia berasal.
Membaca buku ini,
dan menulis reviewnya di malam HUT kemerdekaan RI yang ke-68 merupakan cara
lain saya merayakan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Apakah kita sebenarnya sudah
benar merdeka? Bebas dengan adanya jaminan masa depan, bebas tanpa khawatir
dililit hutang. Bebas tanpa beban memikirkan pejabat yang terus menerus
diberitakan korupsi, di televisi.
Dari Sosok Ananta,
saya juga mendapat pelajaran. Bahwa ketika kita menduplikasikan hidup kita dengan
orang lain yang telah berikrar di penghulu. Kita turut bertanggung jawab atas
keselamatan pasangan kita tersebut, menegurnya dengan jelas saat salah, dan mencegah
ia melakukan kejelekan serupa yang dulu. Dengan demikian, kita dapat sama-sama
merdeka. Bahagia sampai akhir masa, mungkin? Siapa tahu.. :)
*86 : Ungkapan 86
awalnya digunakan di kepolisian, yang artinya sudah dibereskan, tahu sama tahu.
Tapi kemudian digunakan sebagai tanda penyelesaian berbagai hal dengan
menggunakan uang. – Hal.94
Diikutkan dalam posting bareng Blogger Buku Indonesia dengan tema #sastraIndonesia
Aq blm pernah baca karya Okky, gaya penuturannya enak tidak mbak ? Ada yang bilang banyayk singgung soal politik & kebijakan pemerintahan.
BalasHapus*blogwalking*
[ http://asian-literature.blogspot.com/2013/08/books-ronggeng-dukuh-paruk.html ]
Buku ini udah susah dicari. Penasaran dengan tulisan mbak okky ini
BalasHapusIw itu toh artinya 86 alias "tahu sama tahu" *lagi baca buku ini juga :)
BalasHapusAku lebih suka reviewnya daripada bukunyaaaa... #duh #adapenulisnyaganih? hihihi....
BalasHapuseh ternyata ada to buku tentang lingkaran setan mafia peradilan? eh gaya tutur penulisnya gimana mbak? nyaman gak dibaca? banyak yang gak masuk akal gak? atau terlalu dibuat - buat gitu.
BalasHapusPemenang KLA ya...
BalasHapusaku belum penasaran baca kenapa ya.. :(
#KilasBuku BlogWalking
@ hobby buku : yup, tema sosialnya kritis menurutku..
BalasHapus@ Keke : iyaaa.. ini suatu hari nemu di diskon gramediaa
@ dion : asyeek bacaaa
@ mba lila : ~~~\o/ *jogetrebana
@ review buku : Sukaa, maas. Rahib aja nyari buku ini juga. ngga aneh aneh sih, cerita dan alurnya..
naaah aku jadi inget istilah 86 juga banyak dipake pas aku dulu masih jadi wartawan - itu untuk menggambarkan uang yang diterima dari nara sumber - biasanya sih supaya diberitain yang bagus2 hehehe...jadi penasaran sama buku ini, kayaknya ok.
BalasHapusbanyak yg bilang buku-buku okky bagus, tpi belum pernah sekalipun baca bukunya..
BalasHapusSaya nggak ngerti 86 dan baru tau setelah baca buku ini.. :)
BalasHapusduh malah penasaran nih :)
BalasHapus