Judul Buku : Entrok
Penulis : Okky Madasari
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Pertama :
April, 2010
Tebal : 288
halaman, paperback
ISBN :
978-979-22-5589-8
Membaca beberapa
review buku ini di berbagai blog atau di situs goodreads membuat saya tertarik
membeli buku ini saat ada diskon yang diberikan Gramedia. Ini buku tentang
perjuangan dua orang, ibu dan anak. Perjuangan mereka sebagai manusia dan
sebagai wanita, pada era yang bertautan tapi dalam sudut pandang yang berbeda.
Cerita dimulai
dari keinginan Marni, seorang gadis desa yang mulai beranjak dewasa, untuk
memiliki sebuah entrok (Bra/BH) seperti punya sepupunya. Kehidupan saat itu sangat sulit, terutama untuk
Marni dan ibunya. Jangankan untuk membeli entrok, untuk makan saja sudah
pas-pasan. Karena niat dan keinginan Marni sangat besar, maka ia memutuskan
untuk ikut membantu ibunya menjadi buruh pengupas kulit singkong di pasar.
Tetapi lazimnya saat itu, buruh wanita tidak pernah diupah dengan uang, mereka
selalu diupah dengan bahan makanan, yaitu singkong. Berputarlah otak Marni
untuk mencari akal, bagaimana cara ia mendapatkan upah berupa uang, bukan
melulu singkong. Ide didapat, ia akan bekerja menjadi buruh panggul, yang
membantu membawakan belanjaan orang-orang dari dalam pasar ke dokar. Dari
pekerjaan itu, Marni mulai mengumpulkan uang dan berhasil membeli entrok
pertamanya. Bahagianya bertambah karena ternyata simpanannya masih sisa, yang
kemudian ia gunakan sebagai modal dagang sayur-sayuran ke rumah penduduk
sehingga mereka tidak perlu repot-repot ke pasar untuk berbelanja.
Marni kemudian
dinikahkan dengan Teja, seorang kenalannya di pasar yang juga buruh panggul.
Bersama Teja mereka memiliki seorang putri yang diberi nama Rahayu. Semakin
dewasanya Rahayu, kehidupan Marni pun makin sukses. Marni yang semula hanya
berjualan sayur mayur menjadi tukang kredit perkakas rumah tangga hingga ia
mulai meminjamkan uang kepada orang-orang. Pengetahuan Rahayu yang semakin luas
terutama tentang agama membuat Rahayu sering berselisih paham dengan Ibunya,
entah karena kebiasaan ibunya memuja Eyang Bumi atau karena cap ’lintah darat’
yang diberikan orang-orang, atau karena Ibunya yang tak mengenal Allah.
Tekad kuat Rahayu
untuk menjauh dari kehidupan Ibunya dibuktikan dengan meneruskan studi di Jogja,
meninggalkan kampung halaman (suatu daerah di Magetan) berharap menemukan
kebebasan di sana. Sementara Rahayu kuliah, kehidupan Marni semakin penuh
liku-liku. Marni mampu membesarkan rumahnya, membeli televisi, bahkan mobil
pick up, tapi tetangga-tetangganya menganggap Marni sukses karena pesugihan
bukan karena Marni pandai mengolah modal. Sedangkan aparat Tentara dan
pemerintah tak juga membiarkan Marni bernafas lega, setiap dua minggu harus ada
’upeti’ yang dibayar untuk keamanan. Setiap akan ada pemilu, Marni harus
menyumbang uang dalam jumlah banyak untuk kampanye partai beringin jika tidak
ingin dicap sebagai PKI.
Sementara itu di
Jogja, Rahayu semakin mempelajari agama Islam dengan mendalam. Ia juga jatuh
cinta dengan Amri, dosen agamanya yang kemudian kelak menjadi suaminya. Mereka
menikah di kampung halaman Rahayu, acaranya sederhana, meski sebenarnya Marni
sempat melarang Rahayu menikah dengan Amri, karena ternyata Rahayu hanya akan
menjadi istri kedua.
”Menjadi anak sekolahan juga makin membuatnya tidak tersentuh. Dia merasa paling pintar sendiri, paling benar. Kok menikah sama suami orang bisa dianggap benar?”-Hal.166
Setelah
menikah, Rahayu dan Amri mengabdikan diri di sebuah pondok pesantren milik
seorang Kyai. Semangat
keislaman yang mereka punya ditularkan kepada anak-anak yang bersekolah di
sana. Seakan tak peduli dengan dunia luar, sampai suatu hari mereka ’dituntut’
kembali terjun ke masyarakat. Hidup dengan tragedi, demikian pula dengan Marni
yang hidupnya makin tak tentu.
Sampai salah satu
di antara ibu dan anak itu putus asa dan hampir menjadi gila...
Sebuah cerita yang
secara keseluruhan menurut saya, diceritakan dengan apik. Dua tokoh utama dalam
cerita ini diceritakan secara bergantian dengan peralihan peran yang halus dan
jelas. Terutama karena diberi batasan bab-babnya dengan dituliskan tahun
kejadian dalam cerita tersebut.
Membaca kisah
Marni dalam buku ini membuat saya kagum bagaimana pola pikir Marni sedemikian
teratur sehingga ia mampu mengubah dirinya yang hanya anak seorang melarat
berubah menjadi seorang wanita yang paling kaya dan disegani di kampungnya. Pun
meski ia dituduh mencari pesugihan, menjadi lintah darat, bahkan oleh anaknya
sendiri, ia tetap mempertahankan apa yang selama ini ia lakukan. Saat Marni
dipalak oleh aparat tentara dan dari pemerintahan pun ia melawan, hanya
suaminya saja yang seperti kerbau dicocok hidungnya, mengiyakan semua kemauan
tentara tersebut. Marni di kisah ini diceritakan sebagai wanita yang
mempertahankan dan memperjuangkan keinginannya. Kekuatannya ini tidak lantas
menjadikan Marni seorang wanita ’super’, di bab lain juga diceritakan bagaimana
ia sebagai wanita dan manusia biasa berkeluh kesah dengan keadaannya saat itu.
Sedangkan Rahayu,
lahir dalam keadaan yang berkecukupan dan dilimpahi pendidikan menjadikannya wanita
yang lebih modern. Sayang, ia malah menjelek-jelekkan ibunya sendiri alih-alih
pelan-pelan memberitahu ibunya secara baik-baik. Yang menjadi kelemahan buku
ini menurut saya ada di kisah cinta Rahayu dengan Amri, dengan ending yang
seakan dipaksakan agar tetap berkesesuaian dengan masa saat itu. Penggunaan entrok
sebagai judul buku ini juga kurang sesuai karena entrok hanya diceritakan di awal-awal
cerita, tidak secara keseluruhan. Kecuali bila entrok dijadikan ’simbolisme’
wanita sebagai tokoh utama dalam buku ini.
Membaca buku ini
mengingatkan saya akan Magetan, ya, kebetulan kampung halaman penulis sama
dengan kampung halaman saya. Lokasi-lokasi khusus seperti Pasar Gede, jembatan
Madiun, Koramil Sukomoro, markas tentara di Magetan, meski saya mengenalnya
dalam versi ’modern’ tapi toh tempatnya tetap sama. Sehingga saya tidak terlalu
kesulitan membayangkan isi cerita, kebiasaan penduduknya, juga adat
masyarakatnya.
Ini memang bukan
salah satu buku dengan genre favorit saya, tapi buku ini menarik untuk dibaca
terutama mengenai kehidupan masyarakat kita yang lalu. Selamat membaca :)
Posting ini dalam rangka Baca bareng BBI Bulan April dengan tema perempuan :D
kalau dibandingkan dengn Maryam gimana Vin?
BalasHapusbaru tahu 'entrok' itu kata lain dari 'bra' ... mestinya paham dengan melihat covernya ya.
BalasHapusOalahhh baru tau entrok itu artinya bra :D aku belum pernah baca okky madasari nih vin...tadinya tertarik yang maryam sih..
BalasHapusJadi ceritanya sampai dua generasi ya Mbak? Dari Marni sampai berkeluarga trus melahirkan Rahayu. Dan akhirnya sampai Rahayu berkeluarga juga.. Belum pernah baca bukunya Okky ni..
BalasHapusOh Mbak Vina aslinya Magetan? Aku dulu KKN di sana! Jadi kangen... #OOT
penasaran jadinya ama buku ini
BalasHapus