Judul Buku :
Pengantin Surga
Penulis :
Nizam Ganjavi
Penerjemah :
Ali Nur Zaman
Penyunting :
Salahuddien Gz
Penerbit :
Dolphin
Tebal : 256
halaman, paperback
ISBN :
978-979-17998-3-6
Kalau saya
disuruh menyebutkan kisah cinta yang melegenda, maka saya akan menyebut Layla
dan Majnun di antara beberapa kisah cinta lainnya. Padahal sebenarnya saya
belum tahu kisah lengkap mereka seperti apa, nah rasa penasaran itu yang
membawa saya begitu bersemangat saat membuka halaman awal buku ini. Siapa
Layla? Siapa Majnun? Seperti apa kisah cintanya?
Alkisah di
Arabia pada suatu masa hiduplah seorang anak lelaki bernama Qays, Ayahnya
bernama Sayd Omri, seorang penguasa Badui atas Suku Bani Amir. Qays jatuh cinta
kepada Layla, seorang gadis anggun berparas jelita. Mereka sering menghabiskan
waktu bersama, tetapi ternyata jalan percintaan mereka tidaklah semudah
awalnya. Ketika banyak gosip tersiar, kabar burung beredar, orang tua Layla
mengambil tindakan untuk mengurung anak mereka di dalam rumah.
Qays adalah
seorang Pencinta, terpisah dari belahan hati adalah sebuah siksaan yang
menyengsarakan perasaannya. Dengan apa ia bisa membawa rindu kepada Layla? Maka
lewat angin ia berkisah, dalam bentuk jalinan kata yang memabukkan siapa saja
yang mendengar denting indah yang keluar dari bibir Qays. Tapi kelamaan, Qays
dianggap tidak waras lagi. Ia lebih sering dipanggil ‘Majnun’ yang berarti
‘orang tidak waras’, karena rasa cintanya yang sedemikian besar terhadap Layla.
Orangtua Qays sudah mencoba melamar Layla, tetapi Ayah Layla terlalu angkuh
untuk menikahkan anak gadisnya dengan Qays. Maka tetaplah Qays menjadi si
Pujangga cinta berbekal rasa rindunya yang berkerak untuk Layla seorang.
A scene from Nizami's adaptation | of the story |
Jika Qays
sedemikian bebas mengumbar rindu untuk kekasihnya, tetapi tidak demikian dengan
Layla. Ia sebagai anak perempuan, sebagai wanita, memiliki keterbatasan dalam
menampakkan kerinduan yang ia pikul terhadap Qays. Layla membisikkan rindunya
terhadap angin, berharap Qays mendengarkan kepiluan yang juga mendera hati dan
perasaannya.
Apakah dua
kekasih ini bisa bersatu lagi?
Ah, membaca kisah
Qays dan Layla di buku ini sejak awal membuat saya tersenyum-senyum pilu sambil
kasihan membayangkan kegilaan Qays atas cintanya terhadap Layla.
Tetapi semakin
lama membaca, saya perlahan menyadari bahwa kisah Layla Majnun bukanlah
romantisme picisan antara dua orang, pertentangan orang tua, lalu kegilaan
karena cinta.
Awalnya memang
saya sempat jengkel bukan main terhadap pribadi Majnun yang nggak easy going
(ceileh), kenapa nggak putusin aja itu Layla, lalu cari cewek lain? Kenapa harus menyiksa diri di pedalaman
hutan, berteman dengan hewan, makan hanya rerumputan dan jauh dari hiruk pikuk
keduniawian? Tapi ternyata hal-hal itulah yang membuat cerita ini berkaitan
erat dengan ajaran sufi. Seperti
kata sang editor buku ini di akhir cerita, yang saya sempatkan baca duluan
karena tertarik dengan perenungan ini dan membawa saya melihat dalam sudut
pandang berbeda para pencinta.
Hasht-Bihisht Amir Khusro Walters |
Layla Majnun memang sering dianggap sebuah cerita yang
mewakili ke-sufi-an seorang Hamba terhadap Tuhannya.Berikut kutipan yang saya ambil dari artikel tentang Laila Majnun Sufism
Kita adalah Majnun, untuk dapat masuk dan larut dalam Cinta Ilahi, kita harus menghilangkan ‘kesadaran’ atas diri kita sendiri dan menemukan Diri kita dalam Sang Kekasih.Sufisme pada dasarnya adalah Jalan Cinta, dan para pencari adalah pencinta yang mencari Sang Kekasih Abadi. Ketika pencinta dan Sang Kekasih menyatukan semuanya, yang tersisa adalah Cinta. (Amat-un-Nur. 15th Sept. 2008.)
Seperti yang disarankan oleh seorang sahabat, kenikmatan
membaca buku ini terletak dari pilihan kata – katanya. Cantik, puitis-melankolis-abstrak kalau saya
simpulkan dalam tiga kata. Sedangkan kisah Majnunnya? Perlu dilihat dari
kacamata cinta yang tak biasa, kesengsaraan yang kita lihat atas dirinya
ternyata adalah kekayaan yang ia rasa dan ia miliki. Dengan membunuh
‘kerakusan’ dalam dirinya, ia merasa menemukan cinta yang sebenarnya, cinta
yang penuh, yang utuh dan suci.
Pantaslah kalau
cerita ini sangat populer, telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, telah
difilmkan dan diilustrasikan berkali-kali..
Saya setuju, seperti
yang dikatakan Damar Shashangka, penulis novel Sabda Palon. “ Kitab agung yang
diterjemah dan disunting dengan sangat indah ini sungguh mampu menembus hakikat
cinta para sufi.”
Be First to Post Comment !
Posting Komentar