Judul Buku : Xar & Vichattan buku dua : Prahara
Penulis : Bonmedo Tambunan
Penyunting : Arie Prabowo dan Leony Siregar
Penerbit : Adhika
Pustaka
Cetakan Pertama :
Juli 2010
Tebal : 428
halaman, paperback
ISBN :
978-979-19991-3-7
Sebelumnya saya
mau wanti wanti dulu, buat yang belum membaca buku pertama, ada baiknya berhati
hati membaca review saya. Soalnya kalo dianggap spoiler buku pertama ya...
begitulah.. secara kan ini buku kedua :D
....
....
"Tetapi sesungguhnya dua adalah satu. Satu yang saling menjelaskan. Satu yang saling mencipta. Tak ada dua tanpa satu, karena dua adalah satu. Satu yang sama, tetapi bertolak belakang." -Niota. Waktu, Terang dan Gelap
Setelah Kuil
Cahaya berdiri, ternyata masih ada bahaya yang mengintai dunia. Dimulai dari
Frigus Acerbus, Sang Ratu Peri, yang mencoba mengimbuhi Kristal Utama dengan
kegelapan. Ratu Peri yang memilih jalan kegelapan ini bertujuan untuk membuat
energi utama alam yang kekuatan sihirnya luar biasa itu bisa digunakan oleh
para pasukan kegelapan. Yang bila terjadi dan berhasil, maka akan membuat
mereka akan dengan mudah menggunakan kekuatan alam untuk melakukan kejahatan.
Selain itu,
aktivitas kegelapan di seputar Desa Cimea mulai meningkat. Anehnya, kekuatan
kegelapan tersebut menyebar dengan cepat sekali. Padahal jarak antara Desa
Cimea dengan Kuil Kegelapan cukuplah jauh sehingga seharusnya penambahan jumlah
pasukan kegelapan agak mustahil dilakukan dengan cepat dan terus bertambah
banyak tanpa adanya pergerakan aktivitas kegelapan dari Kuil Kegelapan ke Desa
Cimea.
Hal ini membuat
petinggi Xar dan Vichattan kebingungan, mereka curiga jangan-jangan kegelapan
memiliki kekuatan untuk mendatangkan pasukannya dari alam lain yang bisa
langsung dihadirkan di sekitar Desa Cimea.
Karena itulah
dilakukan pembagian tugas bagi para pemegang kekuatan cahaya. Kara ke Vichattan
untuk mencari referensi buku-buku di Ruang terlarang yang sekiranya dapat
memberi titik terang tentang kehadiran pasukan kegelapan yang sangat cepat,
Antessa pergi ke Kristal Utama untuk mencegah Ratu Peri melakukan pengimbuhan
kegelapan. Amor dan Gerome pergi ke Desa Galad untuk membantu pasukan Xar
Vichattan melawan pasukan kegelapan, Pietas bertugas menjaga Kuil Cahaya,
sedangkan Dalrin kembali ke Xar.
Setelah kehilangan
Ayahnya, Dalrin merasa kehilangan kepercayaaan kepada kekuatan Cahaya. Padahal
syarat utama bagi pemegang kekuatan cahaya adalah percaya pada cahaya itu
sendiri. Kehilangan sumber utama membuat Dalrin belum mampu mengendalikan
kemampuan cahayanya dengan baik, tidak seperti sebelumnya. Ia berubah menjadi
pendiam, emosional dan tidak percaya diri, karena itulah ia ingin belajar
mengendalikan kemampuannya di Kuil Xar, tempat ia tumbuh dan dibesarkan selama
ini.
Banyaknya tugas
yang harus diselesaikan oleh pemegang kekuatan cahaya membuat buku ini padat
berisi tentang kisah-kisah seru mereka. Seperti Gerome yang akhirnya tahu siapa
yang membunuh orang tuanya, lalu Kara yang menghilang ketika membaca buku hitam
di Ruang terlarang perpustakaan. Antessa bersama para pimpinan peri yang harus menemukan
jalan menuju Kristal Utama sebelum terlambat, lalu Dalrin yang menemukan
kembali Ayahnya melalui Pedang Al Kamra.
Ide yang muncul
dari penulis tentang lempengan yang menandakan perbedaan dunia mau tak mau membuat
saya kagum. Meski agak sulit juga pada awalnya membayangkan perbedaan lempeng
ini, terlebih saat jiwa seorang wanita gila meluncur di antara lempeng-lempeng
demi mencari tahu keberadaan seorang pewaris cahaya.
Penokohan keempat pewaris
cahaya makin kuat, mungkin karena mereka diceritakan secara terpisah dan
berjuang dengan misi yang masing-masing emban. Antessa yang sensitif, setia
kawan lalu Kara yang kutubuku, pencetus ide-ide berani dan tidak mudah menyerah
bersama Gerome yang emosional, tidak sabaran, cuek dan Dalrin yang cenderung
kalem, masing-masing menjadikan cerita di buku ini makin berwarna.
Sayangnya karena
terlalu padat, saya agak lelah membaca buku ini. Mungkin karena isinya
pertarungan dan lebih sering tokoh-tokoh utamanya agak ’nelangsa’. Untuk typo
dan penulisan nama tokoh yang keliru, sama seperti yang dibahas beberapa
reviewer di Goodreads, muncul terutama di beberapa bagian akhir cerita. Seperti
kekeliruan penulisan Kara yang seharusnya Antessa, dan nama Pietas yang
berali-kali disebut Amor.
Bagaimana kisah
para pewaris cahaya di buku ini? Sanggupkah mereka mengerjakan tugas mereka sendiri-sendiri? Siapa yang pergi, siapa yang datang dan
siapa yang berkhianat?
Baca buku ini dan
temukan sendiri jawabannya :)
jadi pembacanya "diijinkan" menghembuskan napas tidak ketika membaca buku ini? Kalau disuguhi pertempuran mulu, takutnya, jadi bosan dan unsur kejutannya jadi hambar, heheh.
BalasHapusnah itu dia. agak megap megap waktu baca ceritanya yang banyak tentang pertempuran.. meski unsur kejutan di akhir cerita sudah bisa ditebak sih. cuma yang bikin mengejutkan adalah Si Pengkhianat itu..
BalasHapus