Kumpulan cerita : Yudhi Herwibowo
Penerbit : KATTA
Tebal : 140 halaman, soft cover
Cetakan I, 2010
ISBN : 978-979-1032-41-4
Mata Air Air Mata Kumari berisikan 14 cerita pendek yang sebagian besar berkesan agak “seram”. Beberapa ceritanya mengambil latar belakang kisah di Nusa Tenggara Timur, seperti pada Cerpen berjudul “Kofa” yang menceritakan sebuah dusun kecil di utara Larantuka. Kemudian pada cerpen “Lama Fa”, kisah tentang seorang pemburu paus di Lamalera, sebuah kampung di pulau Lembata. Pada cerpen dengan judul “Ana Bakka”, cerita berlatar belakang sebuah desa bernama Mafat-to, 3 jam dari Kupang.
Meski sebagian berlatar belakang di Nusa Tenggara Timur, Penulis juga menyertakan cerita yang berlatar belakang di Nepal, dengan judul sama seperti buku ini, “Mata Air Air Mata Kumari”, tentang seorang Kumari, seorang gadis kecil yang dipilih berdasarkan waktu kelahiran oleh pihak Isatana Nepal, Kumari adalah Dewi Perawan, yang bertugas memberi berkah pada masyarakat setempat, dengan tanda berupa Agni Chakcuu yang dilukis di keningnya.
Kisah-kisah di buku ini diceritakan dengan latar budaya dan tradisi yang kuat, pada ”Keris Kiai Setan Kober”, kita seakan turut serta menyaksikan bagaimana kekuatan keris terbentuk, bahkan ketika membacanya saya sedikit merinding merasakan hausnya keris yang meminta jatuhnya korban.
Pada “Lama Fa”, penulis mengambil latar cerita tentang pantangan yang harus dilakukan oleh Lama Fa ketika musim berburu paus tiba. Sedang pada “Anak Nemang Kawi”, adanya unsur pertentangan antar suku turut disisipkan di situ.
“Dari mana kau?” teriak salah seorang dari mereka dengan golok di tangan, sementara orang-orang yang ada di belakangnya membidikkan anak pada ke arah beta. “ Dani, Damal atau Amungbe?”
Bahasa yang digunakan penulis juga penuh pilihan kata, halus seperti puisi padahal bagian dari cerita.
“Kini setiap hari, aku menulis sajak-sajakku dalam gelap, di dinding-dinding rumahku yang selama ini selalu putih.” - Bayang pada tempayan penuh air, cermin retak, langit-langit kamar, rumah kosong penuh debu, dan epitaf yang patah-
“Hari ini kuputuskan bersekutu dengan angin lainnya, melupakan jadi diriku, memunculkan sosok yang aku sendiri seakan tak mengenalinya. Aku tak lagi ingin mengalun pelan. Tak juga ingin membuai ramah.” – Mata Air Air Mata Kumari.
Meski banyak jalan cerita seremnya yang nggantung, tapi malah bikin penasaran untuk segera menamatkan seluruh cerita di buku ini. Kekurangannya adalah typonya cukup..mengganggu..
wah ini baru yah cerpen pengarang indonesia berlatar horror, hehehe
BalasHapusiya.. horornya untung bukan pocong, kuntilanak dll. horornya lebih "berbudaya" hehehh
BalasHapus